Pada jaman dahulu Desa Balinuraga adalah lahan milik pemerintah yang kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan Transmigrasi pada tahun 1963 dan pada tahun itu juga diberi nama Desa Balinuraga di bawah wilayah Kecamatan Kalianda. Pada tanggal 27 September 1967 Dinas Transmigrasi menempatkan 4 empat roambongan peserta Transmigrasi yang ditempatkan di Balinuraga. Rombongan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250 KK 2 Sukanadi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 KK 3 Pandearge diketuai oleh Made Gedah yang berjumlah 175 KK 4 Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 KK Dan tahun 1963-1965 wilayah ini belum mempunyai struktur Pemerintah Desa.
Segala administrasi masih ditangani oleh Jawatan transmigrasi. Mangku Siman, untuk mengordinir rombongan-rombongan trasnmigrasi Mangku Siman sebagai ketua rombongan seluruhnya. Pada tahun 1965 barulah perangkat Desa Balinuraga mulai dirintis dan terpilihlah Pemerintahan Sementara, yaitu: Kepala Desa : Aji Regeg Kamitua : Sudiartana Bayan : 1. Sudiartana 2. Pan Kedas 3. Made Gedah 4. Oyok Dan pada pertengahan tahun 1973 diadakan pemilihan Kepala Desa, pada pemilihan tersebut terpilih Wayan Getem sebagai Kepala Desa satu priode dari 1973 sampai 1981. Dan setelah itu diadakan pemilihan lagi yang dimenangkan oleh Nyoman Harun selama 2 dua priode.
Pada akhir tahun 1998 dilaksanakan kembali pemilihan kepala desa dan terpilih Made Kelas yang menjabat selama 6 enam n\bulan dan dilanjutkan oleh Wayan Rawuh sebagai PJS sampai dengan tahun 2006. Pada tahun 2006 Wayan Rawuh mengikuti seleksi bakal calon kepala desa, maka PJS Kepala Desa Balinuraga dipegang oleh Komang Widiana sampai dengan April 2007. Pada tanggal 27 Juli 2007 wilayah Desa Balinuraga dari wilayah kecamatan Sidomulyo menjadi daerah pemekaran baru yakni Kecamatan Way Panji. Pada tahun 2007 diadakan pemilihan kepala desa kembali dan terpilih Ketut Wardana sebagai kepala desa untuk masa bakti 2007-2013.
Nama kepala desa dan masa bakti No Nama Kepala Desa Masa Bakti Memerintah;
1. Mangku SIman 1963-1965
2. Aji Regeg 1965-1973
3. Wayan Getem 1973-1981
4. Nyoman Harun 1981-1998
5. Made Kelas 1998-1998
6. Wayan Ruwah 1998-2006
7. Komang Widana 2006-2007 8 Ketut Wardana 2007-2013 Sumber : (Sumber: RPJM Des Balinuraga 2010)
Heterogenitas budaya, suku dan agama di Provinsi Lampung tersebut merupakan produk dari kebijakan transmigrasi yang dimulai dari masa kolonialisasi (1905-1942), pra-Pelita (1950-1969), Pelita I-IV/Masa Orde Baru (1969/1970-1998/1999), dan pasca Orde Baru (1999/2000-2009). Lebih dari satu abad arus transmigrasi telah digalakan oleh pemerintah saat itu, transmigran dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan Bali datang dan bertempat tinggal di daerah Lampung. Selain transmigran dari beberapa daerah di atas, terdapat beberapa transmigran dari daerah Banten dan pulau Sumatera yang juga ikut bertransmigrasi ke daerah Lampung.
Sejarah masuknya orang Bali ke Lampung Selatan tidak akan pernah lepas dari semangat seorang tokoh adat Lampung, Intas Mas Jahidin, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Negari Kalianda (sekarang bupati) periode 1957-1968, untuk mempraktikkan nilai-nilai moral suku Lampung, Nemui Nyimah yaitu terbuka dan menerima tamu dengan baik. Dikutip dari catatan Pengantar Budisantoso, dalam buku, “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung”, bahwa Intan Mas yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Negari Kalianda sekaligus sebagai penyimbang adat kedatangan lima orang warga Bali ke rumahnya.
Kelima orang tersebut menceritakan bahwa rumahnya telah hancur akibat terkena dampak letusan Gunung Agung tahun 1963 silam. Mereka menyampaikan niatnya untuk melanjutkan kehidupannya di tanah Lampung. Tidak sekedar memberikan tempat menumpang, namun Intan Mas juga menjanjikan akan memberikan tanah seluas dua hektare bagi setiap kepala keluarga. Setidaknya seluas 15.000 hektare tanah telah dihibahkan kepada sekitar 7.000 kepala keluarga dari Bali yang memutuskan untuk hidup di Lampung saat itu. Masyarakat Bali yang ada di Balinuraga sebagian besar berasal dari Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, yang lebih dikenal dengan sebutan Bali Nusa karena letaknya di sebelah Timur Pulau Bali. Pulau Nusa Penida merupakan daerah gersang, dan secara geografis letaknya “terasingkan”. Penulis juga pernah bertemu salah satu pinandita di Jakarta, dimana beliau mengungkapkan bahwa balinuraga merupakan singkatan dari masyarakat transmigrasi spontan yang berasal dari Bali, Nusa Penida, Negare dan Amlapura. Kemudian ketika penulis masih SMA pernah mendengar salah satu masyarakat menuturkan Nama Bali Nuraga berarti Bali (Masyarakat Bali) Nu (Masih) Raga ( di dalam jiwa) jadi artinya Bali Nuraga itu adalah dimanapun masyarakat bali berada maka akan selalu membawa tradisi dan budaya yang dijadikan bekal dan akan diimplementasikan sebagai bentuk aktivitas sosial maupun ritual keagamaan.
Jika diperhatikan secara saksama, struktur dan dimensi kehidupan sosial yang terbangun di Provinsi Lampung cenderung berbentuk enklaf-enklaf kesukuan. Terbukti dengan adanya perkampungan Lampung, Bali, Sunda dan suku lainnya. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi salah satu faktor penyumbang terjadinya konflik identitas antar kelompok di Lampung Selatan. Lampung dikenal dengan julukannya sebagai, “Indonesia Mini”, karena dengan komposisi masyarakatnya yang heterogen, mulai dari suku Lampung, Bali, Jawa, Sunda, Padang, Semendo, Komering, Batak, Bugis, Tionghoa, Madura dan suku lainnya, mereka tetap dapat hidup berdampingan secara harmonis. Namun julukan tersebut kemudian dipertanyakan kembali setelah munculnya konflik kekerasan pada tanggal 28-29 Oktober 2012, di Balinuraga, Way Panji, Lampung Selatan. Berkat kerjasama antara aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat setempat dapat mengambail satu keputusan perdamaian. Dengan adanya keputusan tersebut kehidupan pasca konflik tahun 2012 membawa dampak positif bagi masyarakat Hindu yang ada di desa balinuraga.
Penulis sebagai salah satu bagian masyarakat balinuraga merasakan pengaruh positif dari tragedi lampau yang hadir untuk menyadarkan kembali untuk memperbaiki sistem kehidupan dari sisi ekonomi, peningkatan pendidikan dan mengedepankan toleransi dari sosial keagamaan. Secara obyektif penulis dapat melihat begitu besar peluang kemajuan bagi para pemuda yang ada di desa balinuraga, belajar dari kesalahan masa silam pentingnya untuk mengembangkan potensi diri untuk lebih percaya diri dalam mencari pengalaman dan menggali potensi diri diluar desa. Namun langkah tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar dalam mengembangkan dan mengimplementasi segala aspek pengetahuan yang telah diperoleh selama belajar di luar desa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa desa balinuraga memiliki kompleksitas masyarakat yang memiliki kompetensi yang luar biasa misalnya, seniman ukir, seniman tari, pendidik, pengusaha dan lain sebagainya. Hal ini seyogyanya dapat di manfaatkan sebagai potensi desa bagi para pejabat desa khususnya. Bersandar pada potensi tersebut dapat dimaknai bahwa sebagai desa yang telah melewati berbagai proses untuk berbenah, harus mempersiapkan regenerasi agar masyarakat desa lebih memahami keadaan rumah sendiri artinya pejabat desa harus meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat, menata tata ruang desa, mendorong kesejahteraan masyarakat.
Referensi:
- Kajian Perdamaian dan Kebijakan, “Peta Kekerasan Indonesia (September-Desember 2013) dan Konflik Antarkelompok di Indonesia”, The Habibie Center, Edisi 06 Maret 2014, hlm. 13.
- Budiman, Budisantoso & Saroso, Oyos HN. Pengantar Penyunting: Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. Bandar Lampung: AJI Bandar Lampung, 2012, hlm. xv-xvii.
Komentar
Posting Komentar