Dewi Saraswati di dalam Sastra Hindu. Dewi saraswati memiliki peranan penting dalam keberlangsungan kehidupan di jagat raya ini. Berikut adalah kedudukan Dewi Saraswati dalam kitab-
kitab Hindu, yaitu antara lain:
Dalam Kitab Weda dijelaskan bahwa Saraswati adalah nama Dewi Sungai dan Dewi Ucap (pengetahuan atau kebijaksanaan). Kitab Weda menyebutkan adanya 10 buah sungai, yang terdiri dari: Sungai Gangga, Yamuna, Saraswati, Sutudri, Purushi, Asikni, Marudvrdha, Susoma, Narmada, dan Arjikiya. Tujuh diantaranya dikenal dengan nama Sapta Sindhu atau Sapta Gangga.
Di dalam Kitab Weda terdapat penjelasan mengenai Sungai Sindu yang sudah mengalir lebih dari tiga ribu tahun silam, hal ini dikatakan dalam Reg Weda yaitu Catur Weda, sudah ada pada tahun 1.200 sebelum Tarikh Masehi. Sungai Sindu mendapat aliran air dari percampuran dua batang sungai, yaitu: Sungai Saraswati dan Sungai Drsadwati. Diantara kedua aliran tersebut terdapat tanah yang bernama: Brahmaputra atau Kurukshetra, sebagaimana yang disebutkan dalam sloka-sloka Hindu antara lain:
Daksina Na Saraswatya,
Drsadwatyutturena Ca,
Ye Wasanti Kurukshetra,
Te Wasanti Triwistape.
Artinya: penduduk yang tinggal pada tanah Kurukshetra atau Brahmaputra, terletak di sebelah selatan Sungai Saraswati dan di sebelah utara Sungai Drsadwati, dianggap tinggal di Indraloka.
Demikian pula di dalam buku Manawa Dharmasastra, jilid II, sloka 17 yang berbunyi:
Saraswati Drsadwatyar,
Dewanadyor yad antaram,
Tam Dewa airmitam decam,
Brahmawartem prucaksate.
Artinya: Di antara Sungai Saraswati dan Sungai Drsadwati, yang kedua batang sungai itu disebut “Dewanadi” (Sungai Dewa) terletak tanah yang bernama Brahmawarta.
Di dalam Weda ini, Dewi Saraswati sangat berjasa karena beliau dapat mengobati Sang Hyang Indra, seperti yang disebut dalam pustaka Yajur Weda (Weda yang ketiga). Diceritakan bahwa Dewa Indra pernah mabuk, kemudian Dewi Saraswati Lah yang menyembuhkan Dewa Indra dari mabuknya dengan memberikan obat yang dicampurkan dengan Soma (air suci) atau sura (nira).
Kemudian berselah beberapa abad, Dewi Saraswati dianggap sebagai saktinya Bhatara Brahma (Dewa Pencipta). Dan juga dianggap sebagai Dewa Kesusastraan (sastra) atau Dewa Ilmu Pengetahuan (Wagiswari).
Di dalam Kitab Weda juga terdapat penamaan lain dari Dewi Saraswati yang disebutkan dalam sloka-sloka, yaitu sebagai berikut:
a. Suyama yang artinya sangat cantik.
b. Pawaka artinya yang menyucikan penyembahnya.
c. Dhiyavasu artinya yang kaya di dalam kebaktian.
d. Cetanti-sumatinam artinya yang memberi inspirasi untuk berpikir luhur.
e. Codayitri-sunutanam artinya yang mendorong untuk berbicara benar.
f. Abhitama artinya ibu yang sangat baik.
g. Sindhunata artinya ibu bagi segala air.
h. Virapatni artinya istri pahlawan.
i. Paviravi artinya yang mensucikan.
j. Citrayu artinya yang mengaruniakan anugerah kebahagiaan.
Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja juga dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Sraswati. Dijelaskan pula bahwa Dewi Saraswati diyakini sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa, yaitu sebagai berikut:
Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi yang ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, lembah sungai Saraswati dalam keadaan kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga bahan makananpun menjadi sulit untuk didapat. Karena keadaan alam yang gersang, Sapta Resi pun pindah ke tempat lain. Sedangkan Putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal ditempat tersebut, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya yang mana Saraswata tetap mendapatkan bahan makanan dari lembah sungai tersebut.
(Dokumentasi Pribadi)
Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati tersebut, lambat laun mulai tidak tahan dengan keadaan yang dialaminya karena di tempat persinggahan barunya mereka mengalami kesulitan dalam mengubah nasib. Selain itu, para resi tersebut telah melupakan segala isi dari Weda, padahal memahami isi dari Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna jikalau sampai melupakan isi Weda. Keadaan tersebut akhirnya menyadarkan pikiran para Resi, sehingga para Resi tersebut memutuskun untuk kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati tersebut para resi memohon kesediaan Dewi Saraswati agar membantu menyadarkan kesadarannya untuk dapat kembali mamahami isi Weda yang menjadi tugas pokoknya. Dewi Saraswati akan memberikan anugerahnya apabila para resi bersedia untuk menjadi siswanya.
Para resipun bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang lebih muda, karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Dengan pertanyaan tersebut, Dewi Saraswati menjelaskan bahwa seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada usianya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari sejauh mana kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Dari penjelasan tersebut, akhirnya para Resi memutuskan untuk tetap berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah kejadian tersebut, datanglah enam puluh ribu orang menghadap pada Dewi Saraswati agar diterima sebagai muridnya karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Akhirnya telah kejadian tersebut Dewi Saraswati berniat untuk menghidupkan dan menyebarkan isi Weda ke seluruh pelosok dunia agar dapat dipelajari oleh umat manusia.
Dalam kitab ini Dewi Saraswati disebutkan sebagai Dewi Sungai karena merujuk dari kata “Sr” yang berarti mengalir. Selain itu Dewi Saraswati dikenal sebagai sakti dari Dewa Brahma, yang digambarkan bahwa Dewi Saraswati ini sangat cantik, berbusana putih yang melambangkan kesucian dan memiliki kepribadian yang lemah lembut. Kemudian duduk tegak di atas keropak atau padmasana, memiliki empat tangan yang masing-masing memegang: Pustaka, Genitri dan alat musik Wina/Rebab. Terdapat pula seekor angsa dan burung merak yang digunakan sebagai simbol dari kebijaksanaan.
Dalam kitab ini Dewi Saraswati digambarkan sebagai Dewanya kata-kata. Penggambaran ini merujuk kepada seluruh kata-kata dalam bentuk ilmu pengetahuan sudah digenggam dalam tangannya.
Dalam kitab ini Dewi Saraswati disebutkan sebagai Dewa Kebijaksanaan. Penyebutan ini digunakan karena dilihat dari sifatnya, Tuhan dalam manifestasi Dewi Saraswati ini sangatlah bijaksana dalam menurunkan suatu ilmu pengetahuan kepada manusia agar tidak disalahgunakan.
Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam Kitab Aitareya Brahmana, yang mana dalam kitab ini menjelaskan tentang sebuah kisah dari seorang Rsi yang diberi anugerah ilmu pengetahuan oleh Dewi Saraswati. Diceritakan bahwa terdapat seorang Pandita dari keturunan Sudra Wangsa yang bernama Resi Kawasa. Pada suatu hari ketika perayaan yadnya, Resi Kawasa menjadi pemimpin sebuah upacara tersebut. Tetapi setelah diketahui bahwa Resi Kawasa berasal dari Keturunan Sudra Wangsa, maka Resi Kawasapun diusir dan dibuang ke padang pasir agar Resi Kawasa mati di tengah gurun pasir tersebut. Nasib baik menyertai perjalanan Resi Kawasa, setelah beberapa waktu di padang pasir, Resi Kawasa masih tetap hidup.
Akhirnya Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Resi melakukan pemujaan dengan sangat sungguh-sungguh sehingga membuat Dewi Saraswati turun ke muka bumi dengan penuh rasa sayang dan mengajarkan Weda kepada Resi Kawasa sampai Resi Kawasa mampu menguasai segala yang telah diajarkan. Ketika dirasa kemampuan dari Resi Kawasa sudah sempurna, maka Dewi Saraswati mengizinkan Resi Kawasa untuk dapat kembali tempat asalnya. Setelah sampai di sana, Pandita dari keturunan Wangsa Brahmana sangat bangga dan kagum atas keberhasilan yang telah dicapai oleh Resi Kawasa, karena Resi Kawasa sangat mahir dalam segala teori dan praktek yang ada pada ajaran Weda. Dengan hal tersebut membuat Resi Kawasa diakui sebagai Brahmana sejati. Begitulah cara dan kekuasaan Tuhan untuk dapat membimbing umatnya agar dapat dipandang secara sama sebagai makhluk hidup.
Terdapat dalam Kitab Ramayana yang menceritakan bahwa Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di dalam lidah Kumbhakarna sehingga alam semesta ini dapat terhindar dari kekacauan. Diceritakan bahwa Resi Wisrawa memiliki seorang istri yang bernama Dewi Sukesi. Pasangan Resi ini memiliki tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan. Putra pertama bernama Rahwana, yang kedua yaitu Kumbhakarna, yang ketiga adalah seorang putri bernama Dewi Surphanaka, dan terakhir adalah Gunawan Wibhisana. Ketiga putranya tersebut memiliki kebiasaan bertapa, sehingga mereka bertiga membangun sebuah tempat bertapa di Gunung Gokarna, tetapi mereka membangun tempat bertapa di titik yang berbeda atau dalam arti lain berjauhan.
Dilihat bahwa ketiga anak laki-laki itu bertapa dengan tekun, maka Dewa Brahma turun ke bumi untuk mendatangi mereka untuk menanyakan apa yang sebenarnya mereka inginkan dari tapa ini dan memberikan anugerahNya. Anugerah yang akan diberikan yaitu sesuai dengan permintaan dari ketiga anak laki-laki tersebut. Permintaan dari Rahwana yaitu memohon kepada Dewa Brahma agar seluruh manusia dan makhluk lainnya yang ada di dunia ini tunduk kepadanya. Selanjutnya permintaan dari Gunawan Wibhisana adalah semoga Tuhan (Dewa Brahma) dapat menganugerahkan selalu kesehatan dan ketenangan rohani, serta memiliki sifat- sifat utama dan senantiasa taat dalam pemujaan kepada Tuhan. Kedua permintaan dari Rahwana dan Gunawan Wibhisana dapat dikabulkan oleh Dewa Brahma.
Kemudian ketika hendak mendatangi tempat bertapa Kumbhakarna, Para Dewa memohon kepada Dewa Brahma untuk tidak mengabulkan apa yang menjadi keinginan Kumbhakarna, karena Kumbhakarna memiliki postur tubuh yang amat besar seperti raksasa sehingga menjadikannya amat hebat. Jika Kumbhakarna memohon untuk ditambah lagi kesaktiannya, maka akan sangat berbahaya bagi keselamatan umat manusia di dunia. Tetapi walaupun begitu, Dewa Brahma akan tetap mengabulkan apa yang menjadi keinginan dari Kumbhakarna, karena Kumbhakarna Lah yang paling tekun dalam melakukan tapa tersebut. Oleh karena itu Dewa Brahma merasa tidak ada salahnya untuk mengabulkan permintaan dari Kumbhakarna dan juga Dewa Brahma tidak ingin dianggap tidak adil dalam hal ini.
Walaupun Dewa Brahma tidak mengabulkan permintaan dari para dewa tersebut, namun Dewa Brahma memiliki suatu rencana untuk mengutus saktiNya yaitu Dewi Saraswati agar singgah di lidah Kumbhakarna dengan tujuan membuat lidah dari Kumbhakarna salah ucap. Setelah Dewi Saraswati berhasil berstana di lidah Kumbhakarna, Dewa Brahma kemudian datang ke hadapan Kumbhakarna dan bertanya apa yang sebenarnya dicari dalam tapanya? Kumbhakarna memohon agar dalam hidupnya selalu senang “Sukasada”, namun karena Dewi Saraswati membelokkan ucapannya, maka ucapan yang keluar dari mulut Kumbhakarna adalah memohon “Suptasada”, yang artinya selalu tidur. Andaikata Kumbhakarna mendapatkan anugerah Sukasada, kemungkinan besar dunia ini akan dikuasai dengan angkuhnya, karena watak yang dimiliki oleh Kumbhakarna layaknya seorang raksasa yang rakus dan buas, sehingga mengumbar hawa nafsunya. Jadi dalam kisah ini, Dewi Saraswati berperan untuk menyaring, memilah, dan memilih mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak.
Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan dalam manifestasi sebagai Dewi Saraswati (Sang Hyang Aji Saraswati) adalah bentuk kebaikan dan kesucian yang tulus ikhlas karena telah telah memberi, menuntun dan menunjukkan segala ilmu pengetahuan dalam keadaan apapun, kapanpun dan dimanapun sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Setelah dirasa bahwa Dewi Saraswati sangat berjasa dalam menuntun seluruh umat Hindu di jagat raya ini, maka sangatlah diperlukan suatu perayaan untuk memuja Sang Hyang Aji Saraswati sebagai rasa syukur dan terimakasih karena telah berkenan memberikan pertolongan dengan menurunkan segala ilmu pengetahuan suci untuk dijadikan pokok yang harus dipelajari, dihayati dan diamalkan agar berguna bagi kehidupan. Oleh sebab itu, umat Hindu menjadikan Dewi Saraswati sebagai tokoh penting yang harus selalu diingat dan diperingati dalam sebuah perayaan yang sekarang dikenal dengan Upacara Hari Raya Saraswati pada Hari Saniscara Umanis Wuku Watugunung.
Referensi:
- Maswinara, I Wayan. Deva-Devi Hindu. Surabaya: Paramita, 2007.
- Suratmini, Ni Wayan. Hari Raya Saraswati. Surabaya: Paramita, 2010.
- Denny. Hari Raya Saraswati. Diakses pada tanggal 14 Desember 2021 dari https://ceritahindu.blogspot.com/2009/08/hari-raya-saraswati.html
- I Komang Karbawa. Hari Raya Saraswati. Diakses pada tanggal 14 Desember 2021 https://hinduresearchcenter.blogspot.com/2013/02/dharma-wacana- hari-raya-saraswati.html
Komentar
Posting Komentar