Om swastyastu
Kepada yang disucikan pandita lanang istri
Kepada yang disucikan para pinandita
Kepada yang saya hormati sesepuh pinisepuh umat
Kepada yang saya hormati umat sedharma sekalian.
Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya, Pada kesempatan yang baik ini saya akan menyampaikan pesan dharma, semoga pesan dharma ini dapat menambah wawasan dan tentunya bermanfaat bagi kita semua. Pertama-tama marilah kita senantiasa menghaturkan puja Asthungkare kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Ashungkerta waranugraha beliaulah kita dapat berkumpul bersama-sama di Pura Segara Cilincing yang suci ini dalam keadaan yang sehat, selamat, serta tanpa kekurangan suatu apapun. Yang kedua tidak lupa juga kita marilah haturkan puja Astuti bhakti kita kehadapan para leluhur, maha Rsi serta para guru yang telah membimbing kita hingga pada kesempatan ini.
Sebelumnya pada penyampaian pesan dharma ini saya tidak menggurui umat sedharma, melainkan saya menjadikan kesempatan ini untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dalam kesempatan ini saya mengambil judul Pembebasan Melalui Persembahan.
Umat sedharma yang saya muliakan.
Dewasa ini kita sering dihadapkan dengan fenomena alam yang tak terduga seperti bencana alam yang baru-baru ini terjadi di wilayah Sulawesi sekitar palu dan dongala, musibah jatuhnya pesawat yang terjadi akibat kesalahan teknis yang menewasakan banyak orang. Berkaca pada peristiwa tersebut, kita harus senantiasa mawas diri untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Fenomena yang terjadi adalah salah satu bentuk dari bahasa alam yang menjadi teguran bagi kita sebagai manusia, tentang apa yang telah kita berikan selama ini kepada alam ini. untuk hal itulah kita sebagai umat Hindu yang memiliki banyak konsep yang menjadi pedoman dalam kehidupan kita. Salah satunya dalah dengan melaksanakan yajna atau persembahan yang tulus iklas, seperti yang ditegaskan dalam weda bahwa dunia ini tercipta dari hasil yajna. Melalui pelaksanaan bhuta yajna kita dapat mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam semesta atau disebut dalam konsep tri hitakarana adalah palemahan dengan cara melaksanakan upacara nangluk mrana.
Dalam penyampaian pesan dharma ini saya akan menyampaikan beberapa hal terkait dengan nangluk mrana yakni:
- Bagaimana pengertian Nangluk Mrana?
- Bagaimana upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam semesta melalui Bhuta yadnya?
Upacara Nangluk Merana biasanya dilaksanakan pada sasih kanem oleh umat Hindu di Bali. Secara faktual, Sasih Kanem merupakan musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan yang turun pada Sasih Kanem lebih lebat dari pada hujan saat Sasih Kalima. Musim pancaroba tentu saja berdampak pada kondisi alam dan merebaknya aneka penyakit atau pun hama. Sehingga dengan adanya Upacara Nagluk Merana inilah diharapkan dapat memberikan keselamatan lahir dan batin. Nangluk Mrana berasal dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa sansekerta. Nangluk berarti empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan mrana berarti hama atau bala penyakit. Mrana adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit yang merusak tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak tanaman.
Jadi “nangluk mrana” berarti mencegah atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak bala. Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben Tikus” sekilas dijelaskan bila tikus telah menjadi hama ganas yang menyerang sawah petani, maka sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai orang mati biasa. Dan upacara hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara dibakar. Semua itu ada dalam sastra Lontar Purwaka Bumi. Di samping itu tujuan ritual tersebut juga untuk memohon berkah kesuburan. Terlebih lagi, dalam pergantian sasih ini harus dimaknai dengan baik, dilaksanakan dengan lascarya, ngaturan bakti dan banten, memohon keselamatan agar terjadi penetralan kesimbangan sesuai dengan ajaran dan Lontar Cuda Mani.
Pelaksanaan Nangkluk Merana yang dilakukan masyarakat ini telah ada sejak zaman Rsi Markandya.Upacara nangluk merana umumnya dilaksanakan krama subak di seluruh Bali. Upacara dilaksanakan di pura-pura yang berstatus sebagai pura subak, terletak di tepi pantai. Pelaksanaan upacara nangluk ini disesuaikan dengan desa kala patra, tempat, waktu dan tradisi yang sudah berjalan di masing-masing daerah.
Mengacu pada sumber sastra lainnya, dalam hubungan dengan upacara nangluk merana di antaranya bersumber dari Purana Bali Dwipa. Pada intinya sumber itu mengatakan, ketika Raja Sri Aji Jayakasunu mendapat petunjuk dari Hyang Maha Kuasa berbunyi sebagai berikut :
Malih aja lali ring tatawur ring sagara, manca sanak, nista Madhya, uttama, nangken sasih kanem, kapitu, kaulu, pilih tunggil wenang maka panangluk mrana aranya. Yan sampun nangluk mrana, gring tatumpur tikus, walang sangit, mwah salwiring mrana ring desa, mwang ring sawah tan pa wisya, apan sampun hana labanya, wetning salwiring mrana saking samudra datengnya.
Terjemahan :
Dan jangan lupa melaksanakan kurban (tawur) di laut manca sanak, tingkat kecil, sedang, utama, tiap-tiap bulan Desember, Januari, Februari salah satu di antaranya dapat dipilih untuk dilaksanakan sebagai penolak hama dan bencana. Bilamana sudah melaksanakan upacara nangluk merana, penolak hama dan penyakit di sawah, maka tikus walang sangit, segala bentuk hama di tingkat desa maupun sawah tidak akan berbahaya, karena sudah dibuatkan upacara. Oleh karena segala wabah dari laut sumbernya.
Upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam semesta melalui Bhuta yadnya
Dalam ajaran agama Hindu kita memiliki konsep panca yajna yang merupakan lima jenis persembahan yang tulus iklas yang kita haturkan kepada Dewa, Pitra, Rsi, Manusa dan Bhuta. yang diwujudkan dalam ritual yang ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur ke hadapan Tuhan adalah Dewa yadnya, ritual yang bertujuan memberikan penghormatan kepada leluhur adalah Pitra Yadnya, yang bertujuan memberikan penghormatan kepada orang suci adalah Rsi Yadnya, yang bertujuan untuk menyempurnakan manusia adalah Manusya Yadnya, dan ritual yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan lingkungan alam semesta dari pengaruh vibrasi gelombang energi -energi negatif adalah Bhuta yadnya.
Hidup dan kehidupan semua makhluk hidup tidak dapat dipisahkan dari keberadaan alam semesta. Alam, tempat makhluk hidup melangsungkan kehidupan. Makhluk hidup dan Alam menjadi dua unsur yang saling membutuhkan. Alam memberikan apa yang makhluk hidup butuhkan, karena itu ia berkewajiban menjaga alam agar tidak rusak, sehingga terciptalah hubungan harmonis antara makhluk hidup dan alam. Dalam KBBI (2005: 390), harmonisasi mengandung pengertian pengharmonisan; upaya mencari keselarasan dan Alam berarti segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan).
Dari pengertian itu, semua unsur baik di langit maupun di bumi memerlukan keharmonisan. Keharmonisan membuat setiap unsur mampu menjalankan aktivitasnya sesuai dengan kodratnya masing-masing. Menurut pandangan Agama Hindu alam semesta yang maha luas ini disebut Bhuwana Agung (makrokosmos), sedangkan manusia disebut Bhuwana Alit (mikrokosmos). Tuhanlah yang menjadi sumber awal tengah dan akhir dari asensi dimaksud. Alam dan isinya ini akan selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan suatu ekosistem. Diperlukan kebajikan dari manusia agar mampu mempertahankan keharmonisan bhuwana agung dengan bhuwana alit.
Dengan demikian maka pelaksanaan nangluk mrana ini adalah sebuah upaya yang dilakukan melalui upacara bhuta yajna yang tujuannya adalah untuk menetralisir alam semesta dari hal-hal yang negatif baik itu yang disebabkan oleh perilaku manusia maupun reaksi alami dari alam semesta.
Mari bersama-sama melalui persembahyangan ini kita bersihkan segala hama, segala penyakit yang ada dalam diri kita agar kita dapat harmonis dengan diri senantiasa terhindar dari mala petaka.
Saya akhiri pesan dharma ini dengan menghaturkan puja parama santih,
Om Santih, Santi, Santih Om
Komentar
Posting Komentar