Langsung ke konten utama

Makna Filosofis dari Klangsah atau kelabang yang selalu digunakan dalam Upacara Yajna

 Om Swastyastu,....

         Dalam rangka piodalan pura parahyangan agung jagatkarta, di gunung salak jawa barat. Umat Hindu yang ada di DKI Jakarta dan sekitarnya melakukan ngayah untuk mempersiapkan piodalan pada hari purnama ke tiga, pada hari sabtu 10 september 2022 yang akan datang. Mulai dari organisasi masyarakat, mahasiswa dan siswa pasraman turut hadir dalam persiapan piodalan tersebut. Pada kesempatan ngayah tersebut kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk belajar menganyam daun kelapa, atau sering disebut dengan menganyam klangsah. 
(Ngayah di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Gunung Salak Jawa Barat)

    Pada saat ngayah berlangsung saya melihat antusias generasi muda dalam mempelajari budaya sangat tinggi, terlihat bahwa tidak hanya generasi yang berasal dari bali saja yang belajar namun juga ada yang berasal dari jawa, lampung Palembang dan sebagainya, hal itu menurut saya menjadi satu momentum yang ideal bagi generasi tua untuk menularkan keahliannya dalam menurunkan tradisi dan budaya. Mengingat bahwa sebuah tradisi atau budaya seyogyanya diwariskan dengan cara melibatkan generasi muda secara langsung. Pengalaman pribadi saya memang seringkali melihat dan ikut menganyamnya. Namun untuk makna dan filosofis mendalamnya belum saya ketahui. Sehingga saya punya ketertarikan tersebdiri dalam merangkai tulisan ini.
        Terkait dengan upakara tersebut, juga ada unsur sarana pemujaan dalam agama Hindu, khususnya di Bali yang kita kenal dengan uparengga yang berupa kelabang/ klangsah. Kelabang adalah sebuah anyaman dari daun kelapa tua yag pelepahnya masih utuh, sehingga kelihatan seperti sebidang dinding. Kelabang berasal dari suku kata yaitu: ”Kala dan Abang”, di mana kata Kala dapat diartikan suatu kekuatan Sang Hyang Widhi yang bermutu ”Asuri Sampad” (keraksasaan).  Dengan  adanya kekuatan kala, akan menimbulkan kesidian, karena kala tersebut adalah merupakan manifestasi Tri Guna yaitu Rajasika sehingga hal tersebut akan menjadi kekuatan gaib tertentu. 
(Ngayah di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Gunung Salak Jawa Barat)

    Sedangkan kata ”Abang” diilustrasikan sebagai Brahma, sedangkan Brahma adalah merupakan kekuatan pencipta, dalam menciptakan perlindungan sebagai proteksi dan menciptakan suatu kehidupan secara spiritual. Pada beberapa daerah. kelabang lebih dikenal dengan klangsah. Secara bentuk dan maknanya pada dasarnya sama. Secara etimologis, klangsah berasal dari kata kala dan pasah. Kala berarti kekuatan negatif, dan pasah berarti terpisah. Jadi secara semantik dapat kita maknai klangsah ini adalah uparengga yang digunakan sebagai sarana untuk memisahkan kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan manusia dalam beryadnya.
    Mengingat begitu penting dan luhurnya makna filosofis dalam uparengga tersebut, maka sudah selayaknya umat hindu khususnya yang ada di Bali, mampu membuatnya. Klangsah/ kelabang ini biasanya digunakan sebagai tembok pembatas dalam sebuah areal pelaksanaan yadnya, sebagai atap dalam bangunan adat, tetaring, dan juga biasanya sebagai alas dari tempat meletakkan upakara yadnya. Hal itu terjadi karena secara filosofis, klabang dipercaya mampu memisahkan unsur-unsur negatif di lingkungan sekitar agar tidak dapat mengganggu kesucian dari sarana persembahan yadnya tersebut.
       Pada intinya, masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu sebaiknya bijak dalam memakai dan memanfaatkan sarana upacara dan simbol keagamaannya. Bentuk dari upakara/ uparengga boleh berbeda, akan tetapi spirit dan pemaknaan dalam membuat upakara dan uparngga tersebut haruslah sama. Hal itu dapat tercapai apabila antara Tattwa, Susila, dan Acara umat Hindu dapat diseimbangkan. Apabila Acara (upacara dan praktek keagamaan) tanpa didasari oleh Tattwa (ajaran pokok keagamaan, filsafat dan teologi) maka akan menjadi gugon tuwon di masyarakat. Apabila Susila (ajaran etika dan perilaku) tanpa didasari Tattwa, maka akan menjadi boomerang yang membahayakan bagi orang tersebut.
        Sedangkan bagi mereka yang mempelajari Tattwa tetapi tidak dipraktekkan kedalam Susila dan Acara maka dia akan menjadi pembohong dan penipu bagi dirinya sendiri. Hal yang utama dalam sebuah yadnya, upakara, maupun uparengga adalah karya, sreya, budhi dan bhakti. Karya berarti harus ada perbuatan, Sreya keikhlasan, Budhi berarti kesadaran, dan bhakti berarti sembah bhakti dan sarana pemujaan. Bukan kuantitas yang diutamakan akan tetapi kualitas yang paling penting, bukan sekadar pamer dan gengsi akan tetapi keikhlasan dan ketulusan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi. Terimakasih telah membaca tulisan ini, semoga memberikan manfaat dan menambah wawasan terutama bagi generasi muda yang akan memegang tongkat estapet budaya selanjutnya. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Om Santih Santih Santih Om

Referensi:
Titib, I Made. 2003. “Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu”. Surabaya: Paramita.
Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. ”Widya Dharma Agama Hindu Kelas X”. Jakarta: Ganeca Exact.
Pudja, Gede. 1982. “Bhagawad Gita (Pancama Weda)”. Jakarta: Maya Sari.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peresmian dan Launching Rumah Produksi BPH: Tonggak Baru Penyiaran Hindu di Era Digital

 Jakarta, 15 Oktober 2024 – Badan Penyiaran Hindu (BPH) mencatat sejarah baru dengan meresmikan dan meluncurkan Rumah Produksi BPH, sebagai bagian dari upaya mengembangkan media penyiaran yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu. Kegiatan peresmian ini berlangsung khidmat di Jakarta Selatan, dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan pemangku kepentingan umat Hindu. Dokumentasi Acara Peresmian tersebut diawali dengan sambutan dari Dr. I Wayan Kantun Mandara, Ketua BPH dan juga tokoh terkemuka di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya keberadaan rumah produksi ini sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dharma melalui media yang inovatif. "Rumah Produksi BPH ini akan menjadi pusat bagi kita untuk menciptakan konten yang tidak hanya mendidik tetapi juga mampu menginspirasi umat Hindu dalam menjalankan nilai-nilai agama di tengah tantangan zaman modern," ujar Dr. I Wayan Kantun Mandara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sam

Karya Anugerah Mahottama Award 2024

Jakarta, 22 Oktober 2024. Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Melaksanakan kegiatan Karya Anugerah Mahottama Award 2024. Dengan menghadirkan seluruh Pembimas di seluruh Indonesia, Para penyuluh Yang terdiri dari PNS, PPPK dan Penyuluh Agama Hindu Non PNS. Acara ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan penghargaan, tetapi juga sebagai motivasi bagi kita semua, khususnya umat Hindu, untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam bidang agama, budaya, pendidikan, dan sosial. Saya sangat bangga melihat semangat, kreativitas, dan komitmen yang ditunjukkan oleh para penerima penghargaan tahun ini. Dokumentasi Kegiatan Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan dalam menyelenggarakan acara ini. Keberhasilan acara Karya Anugerah Mahottama Award 2024 adalah hasil dari kerja sama dan sinergi yang luar biasa antara pemerintah, tokoh agama, dan seluruh umat Hindu. Kemudian Sekum Made Widiarta menyampaikan

Materi Tri Guna dalam Diri SMP Kelas VIII Agama Hindu

         (Dokumentasi Penyuluhan di Pura Aditya Jaya rawamangun) Manusia sejak lahir memiliki tiga sifat dasar. Ketiga sifat dasar manusia tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Sifat dasar manusia yang satu dengan yang lain selalu bergejolak untuk saling mengalahkan. Sifat dasar manusia tertuang dalam kitab-kitab suci agama Hindu.  Pustaka suci Bhagavad-gītā , XVIII.40 menyatakan bahwa:  na tad asti prthivyām vā divi devesu vā punah sattvam  prakrti-jair muktam yad ebhih syāt tribhir gunaih. Artinya: Tiada makhluk yang hidup, baik di sini maupun di kalangan para deva di susunan planet yang lebih tinggi, yang bebas dari tiga sifat tersebut yang dilahirkan dari alam material. Terjemahan sloka di atas, dapat dijelaskan bahwa, setiap makhluk hidup baik manusia maupun deva tidak ada yang luput dari tri guna. Hal ini disebabkan karena setiap makhluk yang terbentuk oleh unsur material dipengaruhi oleh Tri Guna. Pustaka suci Bhagavad-gītā XVIII.60 menyatakan ba