Peter L. Berger yang dikutip Nashir (1999) mengatakan bahwa masyarakat modern tidak begitu hirau lagi menjawab persoalan-persoalan metafisis tentang eksistensi diri manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di jagat raya ini. Kecenderungan ini terjadi karena proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran yang memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan menciptakan suasana chaos, atau ketidakberartian hidup pada diri manusia modern.
Kecenderungan ini mengakibatkan manusia modern mengabaikan hal-hal yang bersifat sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan pengokohan eksistensi dan misi kehidupan manusia yang bersifat luhur berubah dan digantikan oleh hal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah sekularisasi alam bathin manusia secara serius. Kekhawatiran terhadap ancaman sekularisasi di Indonesia sebenarnya sempat dilontarkan oleh sosiolog Selo Soemarjan pada 8 Mei 1987 dalam sebuah seminar di Universitas Patimura. Ia memprediksikan bahwa pada tahun 2012 di Tanah Air kita akan tumbuh gejala sekularisme.
Menurut Soemarjan dewasa ini perhatian kepada kemakmuran kebendaan atau uang begitu dominan. Tampak sekali, semakin dekat ke kota-kota besar maka semakin dekat pula kecenderungan itu. Sehingga apabila dalam lima repelita mendatang, tahun 2012, terus berkembang maka manusia Indonesia menjadi sekuler. Yakni menjadi manusia yang melulu berpikir ekonomi. Di lain pihak agama semakin tidak dijadikan unsur pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Nashir, 1999: XVI ). Bila mengaitkan gejala sekularisme tersebut dengan dinamika masyarakat Bali dewasa ini, perlu disimak beberapa fenomena yaitu telah terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat Bali secara signifikan.
Manusia Bali tidak lagi dapat dikategorikan sebagai manusia yang polos, sabar, ramah serta jujur. Kini manusia Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus (Triguna, 2004: 1).
Bila diperhatikan pendapat kedua sosiolog tersebut nampak ada kesamaannya meskipun ruang lingkup pengamatannya berbeda. Soemarjan mengamati manusia Indonesia yang cenderung melulu berpikir ekonomi, sementara Triguna sendiri yang mengamati dinamika masyarakat Bali dewasa ini (kurang lebih 20 tahun setelah diprediksi oleh Soemarjan) memang menampakkan gejalan bahwa manusia Bali telah menjadi human ekonomikus.
Gejala sekularisasi yang tumbuh bersamaan dengan rasionalisasi yang naif dalam praktiknya dapat mekar bersama dengan nilai-nilai kebendaan seperti materialisme, hedonisme, dan budaya inderawi lainnya. Batas kehadiran budaya inderawi itu kadang amat tipis, sehingga pada satu wajah sering muncul dalam gejala desakralisasi, dan pada kesempatan lainnya muncul dalam sekularisasi yang naif dan pragmatis sehingga benar-benar berwajah sekularisme. Namun demikian betapapun kuatnya tekanan budaya inderawi tersebut, umat Hindu di Bali yang hidup dalam kehidupan modern yang bercorak duniawi, agama tetap tumbuh menjadi kekuatan profetik sehingga senantiasa terdapat supremasi nilai-nilai luhur keagamaan dalam setiap gerak kehidupannya.
Gejala positif keberagamaan dan perkembangan pemikiran keagamaan yang lebih peduli pada pencerahan kehidupan manusia, kini juga dihadapkan pada gejala formalisme agama dan politisasi agama. Gejala formalisme agama nampak pada kecenderungan yang terlampau kuat untuk menampilkan bentuk-bentuk verbal atau formal dari ajaran agama. Tidak jarang terjadi reduksi terhadap substansi ajaran agama sehingga yang terjadi malah pendangkalan ajaran agama. Munculnya gerakan-gerakan untuk menghapuskan upacara keagamaan di Bali mungkin dapat dijadikan contoh. Sementara itu formalisme agama di satu sisi memang membuka cakrawala pemikiran umat Hindu di Bali untuk lebih menekuni ajaran-ajaran kitab suci (ada kecenderungan untuk selalu mencari rujukan dalam kitab Weda terhadap segala aktifitas keagamaan), namun di sisi lainnya hal ini tidak akan pernah memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi genius lokal yang selama ini telah terbukti mampu mempertahankan Bali ketika berhubungan dengan pengaruh dari luar.
Bila menengok ke belakang tentang dinamika budaya dan agama di Bali akan nampak jelas bahwa agama Hindu yang dianut di Bali adalah sebuah akulturasi dari genius lokal dan pengaruh yang datang dari India. Hindu sebagai agama tertua di Indonesia berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat pemeluknya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi telah merubah tata pergaulan dunia yang bergerak ke arah keterbukaan. Pergaulan lintas budaya, lintas agama telah menyebabkan dinamika dalam kehidupan budaya dan agama. Semakin intensnya pergaulan lintas agama dan budaya tersebut, menyebabkan terjadinya interaksi antar agama Hindu di Indonesia (termasuk Bali) dengan agama Hindu di India. Interaksi tersebut sebenarnya telah terjadi pada permulaan abad masehi dan menjadi lebih intens lagi saat ini, terutama dengan banyaknya orang-orang Hindu Indonesia yang pergi ke India serta banyaknya kunjungan tokoh-tokoh spiritual dari India ke Indonesia dan Bali.
Hindu Bali, Hindu Nusantara dan Hindu India yang kita lihat saat ini adalah hasil sebuah proses dialektika yang sangat panjang. Pertemuan antara tradisi Veda (Arya) dengan budaya lembah sungai Sindhu (Dravida) melahirkan Hindu di India (R.C. Majumdar, 1998: 19). Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan Indonesia dengan Agama Hindu yang datang dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi terjadi secara akulturatif, dimana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000). Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang disebut dengan istilah Local Genious.
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Quarich Wales untuk mendeskripsikan kemampuan kebudayaan setempat (Indonesia) dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (dalam Noerhadi Magetsari, 1986). Oleh karena itu masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (FDK.Bosch,1983; Harjati Soebadio, 1983; Soekmono, 1984). Artinya, kebudayaan Indonesia (Bali) ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga mampu beradaptasi dn tidak terjadi dominasi.
Bukti-bukti tentang hal itu antara lain :
1. Kepercayaan tentang gunung dan laut sebagai alam roh
2. Kepercayaan adanya alam nyata dan tidak nyata
3. Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan lain dan akan menjelman kembali
4. Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai pertolongan (Pemda Bali, 1988)
Bila dicermati proses dialektis antara agama Hindu di India dengan agama Hindu di Nusantara khususnya Bali, maka harus ditelaah pada aspek tattwanya, sebab susila dan upacara adalah pengejawantahan dari tattwa itu sendiri. Dasar agama adalah keyakinan akan adanya Kuasa atas segala yang ada ini. Dalam ajaran agama Kuasa itu dipanggil Tuhan, Yang Widhi Wasa, Brahman dan sebagainya.
Dalam Saivastattva, Ia dipanggil Bhatara Siva, Sang Hyang Widhi Wasa dan sebagainya. Siva dan sebagainya itu Esa adanya, mempunyai banyak nama dan meliputi segala.
Indram mitram agnim ahur atho divyah sasuparno garutman Ekam sad vipra bahudha vadanti agnim yaman matarisvanam ahuh. (Rg Veda I.164.46)
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok. Satu Itu (Tuhan) orang bijaksana menyebut dengan berbagai cara: Agni, Yama, Matarisvam.
Tad evagnis tad adityas tad vayus tad u candramah Tad eva sukran tad brahma ta apah sa prajapatih (Yajur Veda 32.1)
Agni adalah Itu Aditya adalah Itu Vayu adalah itu Candrama adalah itu Sukra adalah itu Apah adalah itu Ia adalah Prajapati Dalam Sivastattva di Bali yang memuat Sivastava terdapat pula ajaran Ketuhanan yang dasarnya sama dengan Veda seperti tersebut di atas.
Om nama sivaya sarvaya Deva devaya vai namah Rudyaya bhuvanesaya Siva rupaya vai namah.
Om, hormat kepada Siva, kepada Sarva, Hormat kepada dewanya dewa Kepada Rudra raja alam semesta Hormat kepada Dia yang mukanya manis.
Tvam sivah tvam mahadevah Isvarah paramesvarah Brahma visnuca rudrasca Purusah prakrtih tatha Engkau adalah Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Visnu, dan Rudra, Pun pula Purusa dan Prakrti.
Tvam kalas tvam yamo mrtyur Varunas tvam, kuverakah Indrah suryah sasangkasca Graha naksatra tarakah. Engkau adalah Kala, Yama, Mrtyu, Engkau adalah Varuna, Kubera, 460 Indra, Surya dan Bulan Planet, Naksatra dan Bintang-bintang (Sura, 2001).
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan kesamaan asensi, kesamaan azas antara ajaran Ketuhanan dalam Veda dan Sivatattva. Tuhan adalah Yang Kuasa atas segala dan menyatu dengan segala yang ada.
Om bhur bhuvah svah Om adalah bhur bhuvah svah Om narayana evedam sarvam Om Narayana adalah semua yang ada ini Sarvam khalu idam brahman Sesungguhnya semua yang ada ini adalah Brahman Kalimat-kalimat Veda dan Upanisad di atas menyatakan bahwa Yang Esa dalam Semua, Semua dalam Yang Esa. Dengan demikian Tuhan menyatu dengan segala yang ada. Yatra visvam bhavatyekam idam (Yajur Veda, 32.8)
Padanya semua yang ada ini menjadi satu. Dalam Sivatattva di Bali, ajaran tersebut dirumuskan dalam sebuah kalimat : Ekatva anekatva svalaksana bhatara (Jnanasiddhanta 8) Sifat Bhatara Siva adalah Eka dan Aneka Ajaran Dewata Nawa Sanga pada pangider-ider adalah penjabaran ajaran Sivatattva. Pada pangider-ider itu Siva adalah : Isvara di Timur, Mahesvara di Tenggara, Brahma di Selatan, Rudra di Tenggara, Mahadeva di Barat, Sangkara di Barat Laut, Visnu di Utara, Sambhu di Timur Laut, Siva di Tengah.
Ekatva anekatva yang merupakan ajaran ketuhanan agama Hindu di Bali direalisasikan dalam tata pelaksanaan hidup beragama Hindu, sehingga memunculkan berbagai bentuk pemujaan, berbagai bentuk banten, pengastawa dan rerahinan (Sura, 2001). Dari proses dialektis ini memunculkan Mantram Tri Sandhya, Pelinggih Padmasana dan berbagai bentuk upakara/upacara yadnya. Dari kutipan-kutipan di atas nampaknya semakin jelas benang merah antara Hindu Bali, Hindu Nusantara dan Hindu India.
Nampak bahwa telah terjadi proses dialektis antara Hindu dengan budaya Nusantara dibantu oleh adanya Local Genius. Secara substantif terdapat persamaan antara Hindu India dengan Hindu Nusantara. Dalam pelaksanaan hidup sehari-hari sangat tergantung oleh banyak faktor seperti budaya dan lingkungan alamnya. Yang terpenting dari proses dialektis itu adalah agar substansi agama dapat diwujudkan dalam menata tingkah laku pribadi dan masyarakat lebih-lebih lagi dalam kehidupan masyarakat pluralis. Substansi agama yaitu inti dari ajaran agama itu sendiri, yang keberadaannya di balik bentuk formalnya.
Substansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia dan lebih jauh lagi adalah dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional (Sufyanto, 2002). Ajaran agama baru menjadi pola tindakan, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri (Triguna, 2003). Dalam rumusan yang lain hakikat agama bukan mutlak bersifat pribadi, melainkan mengandung pula sesuatu yang bersifat publik. Dengan rumusan-rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa beragama yang baik, tidak hanya menekankan kesalehan pribadi, tetapi yang lebih penting adalah bertumpu pada kesalehan sosial (Atmadja, 2003).
Bersamaan dengan tumbuhnya keinginan manusia untuk hidup semakin memiliki rasa aman, nyaman, ketentraman, kebahagiaan, keselamatan serta jaminan ontologis yang penuh kepastian sebagai akibat dari nestapa manusia yang secara eksistesial tak bisa lepas dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan (O’Dea, 1985: 9) menjelang abad 21 semakin tumbuh kesadaran umat manusia untuk mencari tempat berteduh di bawah kanopi suci agama. Setelah sekian lama manusia mendewakan rasio namun ternyata tak jua mampu memecahkan segala persoalan manusia, maka kini saatnya dilakukan penyeimbangan antara rasio dengan rasa melalui ajaran agama.
Kini semakin banyak orang yang berusaha mencari ketentraman dan kedamaian lewat ajaran-ajaran agama atau spiritual. Pengabdi-pengabdi dharma (Sewaka Dharma) semakin bertumbuh, semakin banyak orang yang mampu memberikan Dharma Wacana di media elektronik, kursus-kursus keagamaan semakin banyak peminatnya, penataran calon pinandita semakin banyak, dapat dijadikan indikasi bahwa disamping memenuhi kebutuhan duniawi manusia Bali khususnya saat ini semakin banyak yang ingin menjadi pengabdi Dharma (Sewaka Dharma) Eksistensi seni budaya Bali harus diakui sangat terkait dengan agama Hindu.
Salah satu faktor penting keterkaitan antara agama Hindu dengan seni budaya Bali adalah adanya proses konsekrasi terhadap seni budaya tersebut. Konsekrasi yang dimaksud adalah proses menjadikan seni budaya itu sesuatu yang suci dengan cara pamelaspas, pamarisudhan, pawintenan, dan sejenisnya. Dengan kata lain konsekrasi adalah suatu proses mensucikan ataupun memberikan urip/ hidup dan kekuatan kepada sesuatu (seni budaya).
Ditinjau dari dari proses konsekrasi itu tidak mengubah bentuk, tetapi ia menjadi sesuatu yang lain ditinjau dari segi nilai terutama bagi mereka yang mempercayainya; seolah-olah realitas itu berubah menjadi sesuatu realitas yang maha sakti atau sakral. Jadi pada hakikatnya apa yang dianggap atau disebut sakral itu bergantung kepada sikap, perlakuan dan rasa seseorang terhadap wujud dan keadaan sesuatu itu.
Komentar
Posting Komentar