ASN dan Nilai-nilai Dharma Negara dalam Hindu

Gambar
        ASN adalah salah suatu pekerjaan yang didambakan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tak terkecuali generasi muda Hindu yang turut berpartisipasi dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Sehingga perlu untuk melampirkan tulisan ini sebagai bentuk syukur atas waranugraha dan kesempatan yang baik dalam melaksanakan karma dan bhakti sebagai manusia.        Dalam pandangan Hindu, konsep Dharma tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga memandang kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan administrasi negara. Dharma Negara, atau tata pemerintahan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika, menjadi landasan bagi ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Bagaimana pandangan Hindu menggambarkan ideal ASN sebagai penerapan nilai-nilai Dharma Negara?  (Dokumen Pribadi)           Dalam tradisi Hindu, Dharma mengacu pada kewajiban moral dan etika yang mengatur perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan. Dharma juga mencakup konsep tata tertib dan

Tantra, Yantra, dan Mantra. Fungsi dan Manfaat dalam Kehidupan dan Penerapan Ajaran Hindu.

 “Om Adityasya paramjyotir rakta tejo namo ‘stute, cweta pankaja madhyasthe 

bhaskaraya namo ‘stute.”

Terjemahan:

Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam perwujudan sinar suci yang merah cemerlang berkilauan cahaya-Mu, Engkau putih suci, bersemayam di tengahtengah laksana teratai, Engkaulah sumber cahaya yang hamba puja.

    Dalam totalitas kehidupan manusia sebagai insan yang beragama dan berbudaya sangat membutuhkan tuntunan dan perlindungan dari Sang Penciptanya guna dapat mewujudkan cita-cita hidupnya. Ajaran agama dapat menuntun umat manusia untuk mewujudkan semuanya itu dengan baik dan damai. Tantra, Yantra, dan Mantra sebagai bagian dari ajaran agama memiliki kontribusi yang bermanfaat untuk mewujudkan semuanya itu oleh umat sedharma. Adapun fungsi dan manfaat ajaran Yantra, Tantra dan Mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu dapat dipaparkan sebagai berikut.



1. Tantra

        Menurut ajaran tantra disebutkan ada tiga urat saraf manusia yang paling penting, yaitu; Sushumna, Idadan Pinggala. Keberadaannya dimulai dari muladhara chakra, yang bertempat didasar tulang belakang. Sushumna adalah yang paling penting dari semua saraf atau nadi. Urat saraf atau nadi manusia tidak kelihatan secara kasat mata karena bersifat sangat halus. Ia bergerak melalui jaringan pusat dari tulang belakang dan bergerak jauh sampai titik paling atas dari kepala. Ida dan Pinggala bergerak paralel dengan Sushumna di sebelah kiri dan kanan dari saraf tulang belakang. Ida dan Pinggala bertemu dengan sushumna di ajna chakra, titik yang terletak diantara alis mata. Mereka berpisah lagi dan mengalir melalui sisi kiri dan kanan hidung 

        Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga filosofi, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Buddhisme. Definisi tantra dijelaskan dalam kalimat ini;  shasanat tarayet yastu sah shastrah parikirtitah, yang berarti” yang menyediakan petunjuk jelas memotong dan oleh karena itu menuntun ke jalan pembebasan spiritual dan pengikutnya disebut sastra.” Akar kata ”trae” diikuti oleh saffix “da” menjadi “tra” yang berarti “yang membebaskan”. Kita melihat penggunaan yang sama dari akar kata “tra” di dalam kata mantra. Definisi mantra adalah: mamanat tarayet yastu sah mantrah parikirtitah:” Suatu proses yang ketika diulang-ulang terus menerus di dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra. 

            Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu “jalan kanan” dan “jalan kiri”. Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan kanan” (menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black magicdan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, di dalam “jalan kanan”, bakti atau penyerahan diri memegang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bakti cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang menggangu dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di pekuburan.

        Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari praktisi tantra. Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian tantra atas tantra positif dan negatif dan menekankan pada metode untuk mentransformasikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tibetan mengatakan tantra menggunakan energi dari khayalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh karena itu harus di atasi namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita hingga menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikan obat yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.

        Dalam arti tertentu tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisi sang diri dengan menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala pemujaan terhadap berbagai Deva Devi termasuk pemujaan kepada makhluk setengah Deva dan mahluk-mahluk lain, meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan seksual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Siwaisme dan Buddhisme di Indonesia. 

            Hubungan seks dalam tantra, seperti diperkirakan oleh Dasgupta; merupakan penyimpangan dari konsep awal tantra. Konsep awal tantra  meliputi elemen-elemen seperti yang disebutkan di atas, yakni; mantra, yantra, mudra dan yoga. Penyimpanan tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” dalam tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahayana dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi baik tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek serta merealisasikan sifat non dualis dari realitas tertinggi. 

        H.B. Sarkar menyatakan hubungan seksual dalam tantra lebih diarahkan untuk mengontrol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai kebebasan. Ia mengatakan secara umum tradisi Indonesia membagi tujuan hidup manusia menjadi dua; pragmatis dan idealistis.  Mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktikkan sistem kalacakrayana dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Di Indonesia dikenal ada tiga jenis tantra yaitu; Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat; Bhairava kalacakra yang dipraktikkan oleh raja ketanegara dari Singasari dan Adtityawarman dari Sumatra yang sezaman dengan Gajah Mada di Majapahit; dan Bharavia Bhima di Bali. Arca Bharavia Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar Bali. Menurut prasasti Palembang, Tantrayana masuk ke Indonesia melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada adab ke-7. 

        Kalacakratantra memegang peranan penting dalam unifikasi siwaisme dan buddhaisme, karena dalam tantra ini Siwa dan Buddha, diunifikasikan menjadi siwa-buddha. Konsep Ardhanariswari memegang peranan yang sangat penting dalam Kalacakratantra. Kalacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan penyatuan Devi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyani Buddha, melainkan juga dengan adi Buddha sendiri. Kalacakratantra mempunyai berbagai sebutan dalam sekta tantra yang lain seperti; Hewarja, Kalacakra, Acala, Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candama harosama dan berbagai bentuk Heruka. Di dalam tantrayana ritual adalah elemen utama untuk merealisaikan kebenaran tertinggi. John Woodroffe mengatakan, ritual adalah sebuah seni keagamaan. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari ide-ide yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut religius. Ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religious ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan,  dimana untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan diri Beliau sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religius sebagai alat pikiran yang ditransformasikan dan di sucikan.

        Masab siwa-buddha dengan pengaruh khusus Kalacakratantra dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan arkeologi seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam Nagarakertagama Bab 56 ayat 1 dan 2 melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah candi yaitu bagian dasar dan bagian badan candi adalah Siwaitis dan bagian atas atau atap, adalah buddhistis, sebab di dalam kamar terdapat arca Siva dan diatasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Aksobhya. Inilah alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah Kirthi. Dalam tantra Hindu prinsip metafisik Siwa-Shakti dimanifestasikan di dunia material ini dalam wujud laki dan perempuan sedangkan dalam tantra Buddha pola sejenis diikuti dimana prinsip-prinsip metaffisik Prajna dan Upaya termanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki-laki. Tujuan tertinggi dari kedua masab tantra ini adalah penyatuan sempurna yaitu penyatuan antara dua aspek dari realitas dan realisasi dari sifat-sirat non-dualis dari roh dan non-roh.

2. Yantra.

        Fungsi dan manfaat Yantra, dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu bagi umat sedharma adalah:

a. Simbol sesuatu yang dihormati/dipuja.

b. Sarana atau media mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agama yang 

diyakininya.

c. Media memusatkan pikiran.

      Yantra adalah bentuk “niyasa” (symbol, pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti misalnya dalam perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain. Setiap yantrabaik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada yantratersebut mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda sehingga bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern. Yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau seperti sebuah perhiasan tertentu. Bentuk yantra sudah disesuaikan dengan kebutuhan si pemakainya. 

         Dengan berkembangnya zaman seperti sekarang ini, banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalnya dalam bentuk kalung, gelang dan cincin. Memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya. Dengan kedekatan itu, maka antara energi yang ada dalam yantra dan energi si pemakai menjadi saling menyesesuaikan. Yantra dapat diibaratkan sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya.

3. Mantra.

        Berdasarkan sumbernya “weda” ada bermacam-macam jenis mantra yang secara garis besar dapat dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika mantra, danPuraṇik mantra. Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra(mantra yang diucapkan guna untuk pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan), Rājasika mantra(mantra yang diucapkan guna kemakmuran duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra(mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk menghancurkan atau menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatanperbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam). Disamping itu mantra juga dapat diklasifikasikan menjadi sebutan antara lain: Mantra:yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa); Stotra:doa-doa kepada para dewata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika memimpin persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa dari seorang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya, misalnya doa memohon anak, dan sebagainya; Kāvaca Mantra:mantra yang dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari berbagai rintangan. 

        Umat Hindu percaya bahwa kehidupan ini diliputi dan diresapi oleh mantra. Semua mahluk, apakah seorang petani atau seorang Raja, semuanya diatur oleh mantra. Adapun arti dan makna sebuah mantra adalah utuk mengembangkan sebuah kekuatan supranpada diri manusia; “Pikiran yang luar biasa dapat muncul dari kelahiran, obat-obatan, mantra-mantra, pertapaan dan kontemplasi keDewataan (Yoga Sutra 4.1). 

        Berdasarkan hal tersebut, maka mantra adalah ucapan yang luar biasa yang dapat mengikat pikiran. Adapun makna mantra ataupun maksud pengucapan mantra, dapat dirinci sebagai berikut:

a. Untuk mencapai kebebasan;

b. Memuja manifestasi Tuhan yang Maha Esa;

c. Memuja para dewata dan roh-roh;

d. Berkomunikasi dengan para Deva;

e. Memperoleh tenaga dari manusia super (Purusottama);

f.  Menyampaikan persembahan kepada roh leluhur dan para dewata;

g. Berkomunikasi dengan roh-roh dan hantu-hantu;

h. Mencegah pengaruh negatif;

i.  Mengusir roh-roh jahat;

j.  Mengobati penyakit;

k. Mempersiapkan air yang dapat menyembuhkan (air suci);

l.  Menghancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan manusia;

m. Menetralkan pengaruh bisa atau racun dalam tubuh manusia;

n. Memberi pengaruh lain terhadap pikiran dan perbuatan;

o. Mengontrol manusia, binatang-binatang buas, Deva-Deva dan roh-roh 

jahat;

p. Menyucikan badan manusia (Majumar, 1952, 606).

Fungsi dan manfaat mantradalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu bagi umat sedharma adalah:

a. Memuja Tuhan Yang Maha Esa.

        Dalam ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta semua yang ada ini. Beliaulah menyebabkan semua yang ada ini menjadi hidup. Tanpa bantuan beliau semuanya ini tidak akan pernah ada. Kita patut bersyukur kehadapan-Nya dengan memuja-Nya, sebagaimana diajarkan oleh agama yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci ‘weda’.

b. Memohon kesucian.

        Tuhan Yang Maha Esa bersifat mahasuci. Bila kita ingin memperoleh kesucian itu, dekatkanlah diri ini kepada-Nya. Dengan kesucian hati menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan jahat. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai surga dan bila ia berpikiran jernih dan suci maka kesucian akan mengelilinginya. Kesucian atau hidup suci diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

c. Memohon keselamatan.

        Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon keselamatan dan kebahagiaan melalui berbagai jalan yang telah ditunjukkannya dalam kitab suci menjadi kewajiban umat sedharma. Keselamatan dalam hidup ini merupakan sesuatu yang sangat penting. Dalam keadaan selamat kita dapat melaksanakan pengabdian hidup ini menjadi lebih baik. Tuhan Yang Maha Esa , pengasih dan penyayang selalu menganugerahkan pertolongan kepada orang-orang-Nya. Orangorang yang bijaksana sesudah kematiannya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang sejati.

d. Memohon Pencerahan dan kebijakan.

       Dalam kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat kesukarannya, seperti: Paroksa Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan mantra jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami; Adyatmika Mantra,yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang lebih rendah dari Paroksa Mantra. Mantra ini dapat dicapai maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih kotor, tidak mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini; Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami dibandingkan dengan Paroksa Mantra danAdyatmika Mantra. Untuk menjangkau makna mantra ini dapat hanya mengandalkan ketazaman pikiran dan indra.

e. Melestarikan ajaran “Dharma”.

        Sumber ajaran agama Hindu adalah Weda. Weda adalah wahyu Tuhan yang diterima oleh para maharsi baik secara langsung, maupun berdasarkan ingatannya. Diyakini bahwa pada awalnya weda diajarkan secara lisan, hal ini memungkinkan karena pada saat itu manusia masih mempolakan dirinya secara sederhana dan polos. Setelah kebudayaan manusia semakin berkembang, peralatan tulis-menulis telah ditemukan maka berbagai jenis mantra yang sudah ada dan yang baru diterima dituliskan secara baik dalam buku, kitab, lontar yang disebut Varnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan disebut Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran melalui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang diucapkan ataupun dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan keperluan, kemampuan serta motif pelaksana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stah Dharma Nusantara Jakarta Melaksanakan Kegiatan Pembinaan Pasraman

Kegiatan KKG dan MGMP di DKI Jakarta

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.