ASN dan Nilai-nilai Dharma Negara dalam Hindu

Gambar
        ASN adalah salah suatu pekerjaan yang didambakan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tak terkecuali generasi muda Hindu yang turut berpartisipasi dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Sehingga perlu untuk melampirkan tulisan ini sebagai bentuk syukur atas waranugraha dan kesempatan yang baik dalam melaksanakan karma dan bhakti sebagai manusia.        Dalam pandangan Hindu, konsep Dharma tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga memandang kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan administrasi negara. Dharma Negara, atau tata pemerintahan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika, menjadi landasan bagi ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Bagaimana pandangan Hindu menggambarkan ideal ASN sebagai penerapan nilai-nilai Dharma Negara?  (Dokumen Pribadi)           Dalam tradisi Hindu, Dharma mengacu pada kewajiban moral dan etika yang mengatur perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan. Dharma juga mencakup konsep tata tertib dan

Lima Pilar dan Tujuan Perkawinan dalam Agama Hindu


        

 Kitab Manavadharmasastra menyatakan  bahwa  tujuan  perkawinan  itu meliputi: dharmasampatti(bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma.  Dalam  perkawinan,  suami  istri  hendaknya  berupaya  jangan  sampai ikatan tali perkawinan terputus atau lepas. Pasangan suami istri hendaknya dapat mewujudkan kebahagiaan, tidak terpisahkan (satu dengan yang lainnya), bermain riang gembira dengan anak-anak dan cucu-cucunya. 

Kitab Manawadharmasatra menjelaskan sebagai berikut;

Anyonyasyàwyabhócàro

bhawedàmaranàntikah,

esa dharmah samàsena

jneyah stripumsayoh parah.

Terjemahannya:

Hendaknya  supaya  hubungan  yang  setia  berlangsun  sampai  mati, 

singkatnya,  ini  harus  dianggap  sebagai  hukum  yang  tertinggi  bagi  suami-istri 

(Menawadharmasastra, IX.101). 

Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut;

Tathà nityam yateyàtam

stripumsau tu kritakriyau,

yathà nàbhicaretà÷ tau

wiyuktàwitaretaram.

Terjemahannya:

Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan  dengan  tidak  jemu-jemunya  supaya  mereka  tidak  bercerai dan  jangan  hendak  melanggar  kesetiaan  antara  satu  dengan  yang  lain 

(Menawadharmasastra, IX.102).

Demikian  kitab  suci  mengamanatkan  untuk  dipedomani  sehingga  dapat terwujud keluarga yang Sukhinah. Dalam membangun keluarga yang sukinah pasangan  suami-istri  hendaknya  mengerti,  memahami,  mempedomani,  dan melaksanakan lima pilar pasangan keluarga sukinah, diantaranya adalah:

 1.  Bersyukur dengan harta yang diperoleh sesuai dharma 

Dalam  hidup  berumah  tangga  manfaat  artha  sangat  besar.  Artha  dapat mengantarkan  keluarga  sejahtera  dan  akan  mampu  membangun  keluarga bahagia, sepanjang cara mendapatkannya berlandaskan dharma.

 2.  Bersyukur terhadap makanan yang telah disiapkan dalam rumah tangga Makanan yang dimasak dengan tujuan menghidupi anggota keluarga akan memberikan nilai spiritual yang sangat tinggi karena sebelum dihidangkan diawali dengan Yajñasesa sehingga yang memakannya akan terlepas dari papa  dosa.  Sehingga  seorang  anggota  keluarga  pantang  untuk  menghina masakan yang dihidangkan dalam rumah tangga. Kalau makanan siap saji yang dibeli di pasar cara masak dan tujuan membuatnya berbeda dengan masakan dalam rumah tangga karena tujuannya untuk bisnis.

 3.  Bersyukur dengan istri sendiri

Rasa  syukur  di  sini  jangan  membuahkan  kepuasan  batin  yang  akan menghindari terjadinya perselingkuhan. Karena perselingkuhan merupakan pengkhianatan terhadap tujuan perkawinan. Istri sering diibaratkan sebagai sungai  yang  hatinya  selalu  berliku-liku  perlu  mendapatkan  perhatian yang khusus bagi seorang suami sehingga hatinya bisa tetap lurus dengan komitmen yang telah diikrarkan pada waktu perkawinan.

 4.  Menegakkan Kedamaian

Unsur  kedamaian  berarti  tidak  adanya  perasaan  yang  mengancam  dalam hidupnya. Hidup di zaman kali yuga, ibarat ikan hidup di air yang keruh di mana pandangan terhalang oleh keruhnya air. Oleh karena itu, banyak  yang salah lihat sehingga temannya yang hitam bisa dilihat kuning sehingga kehidupan temannya yang bopeng bisa dilihat tampan. Pandangan manusia dihalangi oleh gelapnya adharma yang sangat kuat pengaruhnya dalam hidup pada zaman kali. Manawa Dharmasastramenyatakan dharma pada jaman kali hanya berkaki satu sedang adharma berkaki tiga. Kekuatan adharma itulah yang menjadi penghalang sehingga orang sering keliru melihat kebenaran. Banyak  yang  benar  dipandang  sebagai  ketidak  benaran,  demikian  juga sebaliknya. Terhalangnya hati nurani menyebabkan munculnya kekuasaan Panca  klesa  yaitu:  kegelapan,  egois,  hawa  nafsu,  kebencian,  takut  akan kematian.  Akibatnya  banyak  manusia  saling  bermusuhan  dan  terkadang musuh sering kelihatannya seperti teman.

Dalam Canakya Nitisastra IV. 10 menyebutkan ada tiga hal yang menyejukkan hati yang menjadi andalan untuk membangun kedamaian dan kesejukan hati. Samsara tapa dagdhanam

 Trayo sisranti hetavah

Apatyah ca kalatran ca

Satam sanggatir ewa ca

Terjemahannya:

Dalam menghadapi kedukaan dan panasnya kehidupan duniawi ada tiga hal yang  menyebabkan  hati  orang  menjadi  damai  yaitu  anak,  isrti  dan  pergaulan dengan orang suci.

Anak adalah merupakan curahan kasih sayang, lebih-lebih anak yang patuh dan berbakti kepada orang tua. Meskipun marah orang tuanya kepada anaknya sebenarnya bukanlah karena kebencian tetapi keinginan orang tua menjadikan anaknya yang sukses. Norana sih manglwehane atanaya yang artinya tidak ada cinta kasih yang melebihi kasih orang tua kepada anaknya. Carilah kedamaian hati dalam dinamika kehidupan bersama anak dan istri/suami. Dinamika inilah yang  akan  mewujudkan  kedamaian  rumah  tangga. Nitisastra,  IV.10 dan I.12 

menjelaskan sebagai berikut; Nitisastra, IV.10 :

Pangdering kali mórkaning jana wimoha matukar arébut kawìryawàn, 

tan wring ràtnya makol larvan bhratara wandhawa.ripu kinayuh pakàçrayan, 

dewa-dréwya winàçadharma rinurah kabuyutan inilan padàsépi, 

wyartha ng çapatha su-praçàsti linébur tékaping adhama mórka ring jagat. 

Terjemahannya: 

Karena pengaruh zaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi, Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul  melawan  saudara-saudaranya  dan  mencari  perlindungan  kepada musuh, barang-barang suci dirusakkan, tempat-tempat suci dimusnahkan, dan orang dilarang masuk ketempat suci, sehingga tempat itu menjadi sepi, kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan orang-orang angkara murka.

Nitisastra, I.12 : 

Tingkahning suta mànuteng bapa gawenya mwang guña pindanén, 

ton tang matsya wihanggamekana si kurmenaknya noreniwö, 

ring mìneka rinakûaóeka dinélöng andanya tan sparçanan, 

ring kórmekana ng aóða yeningét-ingét tan ton tuhun dyànaya. 

Terjemahannya: 

Seorang  anak  lelaki  harus  menurut  jejak  bapanya,  meniru  perbuatan dan  kecakapannya.  Lihatlah  kepada  ikan,  burung,  dan  kura-kura;  tidak  ada di  antaranya  yang  mendidik  anaknya.  Ikan  menjaga  telurnya  hanya  dengan dilihatnya, tidak pernah dirabanya. Kura-kura hanya mengingat tempat telurnya, tidak dilihatnya, hanya ditunggu dengan bermenung-menung.

Manawa Dharmasastra menyatakan sebagai berikut; 

Catuspàtsakalo dharmah satyam çaiwa kåte yuge, 

nàdharmenàgamaá kaçcin manusyànprati wartate. 

Terjemahannya: 

Dalam zaman Krta, Dharma itu seolah-olah berkaki empat (Catur warga, catur  weda  catur  marga,  catur  wama  dllnya)  dan  sempurna  dan  demikianlah kebenaran,  tidak  ada  keuntungan  kebajikan  yang  diterima  rnanusia  dengan kecurangan (Manawadharmasastra, I.81).

Itareûwàgamàdharmah pàdaçastwawaropitah, 

caurikànåtamàyàbhir dharmaçcapaiti pàdaçaá. 

Terjemahannya; 

Dalam  ketiga  zaman  lainnya,  dengan  berkembangnya  ketidak  adilan, dharma dipereteli satu persatu dari keempat kakinya dan dengan merajalelanya kejahatan,  kebohongan  dan  penipuan,  kebajikan  yang  didapati  manusia  pada setiap yuga berkurang seperempat (Manawadharmasastra, I.82).

Demikianlah  ucap  sastra,  renungkanlah!  Kedamaian  hidup  ini  harus ditumbuh-kembangkan dengan sebaik mungkin. Interaksi harmonis di lingkungan keluarga (suami, istri, dan anak) mesti terjaga. 

5.  Ketentraman;  Ketentraman  dalam  keluarga  akan  didapat  apabila  anggota keluarga memiliki kesehatan sosial. Kemampuan untuk melakukan hubungan sosial  dengan  tetangga  kiri  kanan belakang  dan  depan  merupakan  suatu kebutuhan  setiap  keluarga.  Semuanya  ini  didasarkan  oleh  ajaran  Dharma dengan berpegang pada pikiran, perkataan dan laksana yang baik maka akan dapat melakukan kerja sama dengan baik. Hubungan sosial yang baik akan mempengaruhi perasaan setiap pribadi akan mendapat perlindungan kalau ada  sesuatu  yang  akan  mencelakakan  rumah  tangganya.  Hubungan  kerja sama dalam ajaran agama hindu mutlak ada dalam rumah tangga sehingga sesama akan merasakan saling menjaga dan melindungi. 

Dalam kitab Niti Sastra dilukiskan bagi orang yang mau kerja sama seperti singa dan hutan. Keduanya memiliki kehidupan yang berbeda tetapi mampu bekerja sama. Singa  menjaga  hutan,  akan  tetapi  ia  selalu  dijaga  oleh  hutan.  Jika  singa dengan  hutan  berselisih,  mereka  marah,  lalu  singa  akan  meninggalkan hutan. Maka hutan akan dirusak dan dibinasakan oleh orang, pohon-pohon ditebangi, maka singa akan lari sembunyi didalam jurang di tengah ladang, yang akhirnya diserbu dan binasakan orang. Kitab Nitisastra menjelaskan sebagai berikut.

Singhà rakûakaning halas, halas ikangrakûeng harì nityaça,

singhà mwang wana tan patót pada wirodhàngdoh tikang keçari,

rug bràûþa ng wana denikangjana tinor wrékûanya çiróapaðang,

singhànghàt ri jurangnikang tégal ayón sanpun dinon durbala. 

Terjemahannya: 

Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan, Jika singa  dengan  hutan  berselisih,  mereka  marah,  lalu  singa  itu,  meninggalkan hutan.  Hutannya  dirusak  binasakan  orang,  pohon-pohonnya  ditebangi  sampai menjadi  terang,  Singa  yang  lari  bersembunyi  didalam  curah,  ditengah-tengah ladang, diserbu orang dan dibinasakan (Nitisastra, I.10).

Selanjutnya dijelaskan 

Ring wwang haywa niràçrayeka gawayén tekang mahà n àçraya,

ton tang nàga mengàçraye sira bhatàra tryambakàngarcana,

sangke bhaktinikàpagéh dadi sawit dehyang triràjyàntaka,

pràptekéng garuda prasomya mulating nàga pranateng ruhur.

Terjemahannya;

Manusia tidak boleh tak berkawan, wajib mencari pelindung yang kuasa. Lihatlah ular naga yang mencari perlindungan kepada betara bermata tiga (Betara Siwa) seraja sujud kepadanya. Karena baktinya seteguh itu, ia lalu jadi kalung betara yang memusnakan tiga negeri (Betara Siwa). Burung garuda, seteru naga, melihat naga itu, sujud dari udara (karena hormatnya kepada Siwa)

(Nitisastra, I.11).

Bertolak dari seloka ini maka setiap rumah tangga harus sehat sosial yang ditandai dengan kemauan bekerja sama yang dilandasi oleh ajaran Tat Twam Asi sehingga kalau ada kesalahan ucapan dan perbuatan maka saling memaafkan, sehingga  rasa  permusuhan  tidak  ada  dalam  hati.  Disamping  itu  juga  ketaatan terhadap norma hukum sehingga bhatin terasa tentram akan muncul sendirinya karena ada rasa saling melindungi. Berlandaskan lima pilar itulah semestinya bangun  keluarga Sukhinah diwujudkan  oleh  setiap  insan  Hindu,  lakukanlah! Setiap  anak  patut  berbhakti  kepada  orang  tua,  dan  orang  tua  berkewajiban menyayangi anak-anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stah Dharma Nusantara Jakarta Melaksanakan Kegiatan Pembinaan Pasraman

Kegiatan KKG dan MGMP di DKI Jakarta

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.