Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu meliputi: dharmasampatti(bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. Dalam perkawinan, suami istri hendaknya berupaya jangan sampai ikatan tali perkawinan terputus atau lepas. Pasangan suami istri hendaknya dapat mewujudkan kebahagiaan, tidak terpisahkan (satu dengan yang lainnya), bermain riang gembira dengan anak-anak dan cucu-cucunya.
Kitab Manawadharmasatra menjelaskan sebagai berikut;
Anyonyasyàwyabhócàro
bhawedàmaranàntikah,
esa dharmah samàsena
jneyah stripumsayoh parah.
Terjemahannya:
Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsun sampai mati,
singkatnya, ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri
(Menawadharmasastra, IX.101).
Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut;
Tathà nityam yateyàtam
stripumsau tu kritakriyau,
yathà nàbhicaretà÷ tau
wiyuktàwitaretaram.
Terjemahannya:
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain
(Menawadharmasastra, IX.102).
Demikian kitab suci mengamanatkan untuk dipedomani sehingga dapat terwujud keluarga yang Sukhinah. Dalam membangun keluarga yang sukinah pasangan suami-istri hendaknya mengerti, memahami, mempedomani, dan melaksanakan lima pilar pasangan keluarga sukinah, diantaranya adalah:
1. Bersyukur dengan harta yang diperoleh sesuai dharma
Dalam hidup berumah tangga manfaat artha sangat besar. Artha dapat mengantarkan keluarga sejahtera dan akan mampu membangun keluarga bahagia, sepanjang cara mendapatkannya berlandaskan dharma.
2. Bersyukur terhadap makanan yang telah disiapkan dalam rumah tangga Makanan yang dimasak dengan tujuan menghidupi anggota keluarga akan memberikan nilai spiritual yang sangat tinggi karena sebelum dihidangkan diawali dengan Yajñasesa sehingga yang memakannya akan terlepas dari papa dosa. Sehingga seorang anggota keluarga pantang untuk menghina masakan yang dihidangkan dalam rumah tangga. Kalau makanan siap saji yang dibeli di pasar cara masak dan tujuan membuatnya berbeda dengan masakan dalam rumah tangga karena tujuannya untuk bisnis.
3. Bersyukur dengan istri sendiri
Rasa syukur di sini jangan membuahkan kepuasan batin yang akan menghindari terjadinya perselingkuhan. Karena perselingkuhan merupakan pengkhianatan terhadap tujuan perkawinan. Istri sering diibaratkan sebagai sungai yang hatinya selalu berliku-liku perlu mendapatkan perhatian yang khusus bagi seorang suami sehingga hatinya bisa tetap lurus dengan komitmen yang telah diikrarkan pada waktu perkawinan.
4. Menegakkan Kedamaian
Unsur kedamaian berarti tidak adanya perasaan yang mengancam dalam hidupnya. Hidup di zaman kali yuga, ibarat ikan hidup di air yang keruh di mana pandangan terhalang oleh keruhnya air. Oleh karena itu, banyak yang salah lihat sehingga temannya yang hitam bisa dilihat kuning sehingga kehidupan temannya yang bopeng bisa dilihat tampan. Pandangan manusia dihalangi oleh gelapnya adharma yang sangat kuat pengaruhnya dalam hidup pada zaman kali. Manawa Dharmasastramenyatakan dharma pada jaman kali hanya berkaki satu sedang adharma berkaki tiga. Kekuatan adharma itulah yang menjadi penghalang sehingga orang sering keliru melihat kebenaran. Banyak yang benar dipandang sebagai ketidak benaran, demikian juga sebaliknya. Terhalangnya hati nurani menyebabkan munculnya kekuasaan Panca klesa yaitu: kegelapan, egois, hawa nafsu, kebencian, takut akan kematian. Akibatnya banyak manusia saling bermusuhan dan terkadang musuh sering kelihatannya seperti teman.
Dalam Canakya Nitisastra IV. 10 menyebutkan ada tiga hal yang menyejukkan hati yang menjadi andalan untuk membangun kedamaian dan kesejukan hati. Samsara tapa dagdhanam
Trayo sisranti hetavah
Apatyah ca kalatran ca
Satam sanggatir ewa ca
Terjemahannya:
Dalam menghadapi kedukaan dan panasnya kehidupan duniawi ada tiga hal yang menyebabkan hati orang menjadi damai yaitu anak, isrti dan pergaulan dengan orang suci.
Anak adalah merupakan curahan kasih sayang, lebih-lebih anak yang patuh dan berbakti kepada orang tua. Meskipun marah orang tuanya kepada anaknya sebenarnya bukanlah karena kebencian tetapi keinginan orang tua menjadikan anaknya yang sukses. Norana sih manglwehane atanaya yang artinya tidak ada cinta kasih yang melebihi kasih orang tua kepada anaknya. Carilah kedamaian hati dalam dinamika kehidupan bersama anak dan istri/suami. Dinamika inilah yang akan mewujudkan kedamaian rumah tangga. Nitisastra, IV.10 dan I.12
menjelaskan sebagai berikut; Nitisastra, IV.10 :
Pangdering kali mórkaning jana wimoha matukar arébut kawìryawàn,
tan wring ràtnya makol larvan bhratara wandhawa.ripu kinayuh pakàçrayan,
dewa-dréwya winàçadharma rinurah kabuyutan inilan padàsépi,
wyartha ng çapatha su-praçàsti linébur tékaping adhama mórka ring jagat.
Terjemahannya:
Karena pengaruh zaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi, Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya dan mencari perlindungan kepada musuh, barang-barang suci dirusakkan, tempat-tempat suci dimusnahkan, dan orang dilarang masuk ketempat suci, sehingga tempat itu menjadi sepi, kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan orang-orang angkara murka.
Nitisastra, I.12 :
Tingkahning suta mànuteng bapa gawenya mwang guña pindanén,
ton tang matsya wihanggamekana si kurmenaknya noreniwö,
ring mìneka rinakûaóeka dinélöng andanya tan sparçanan,
ring kórmekana ng aóða yeningét-ingét tan ton tuhun dyànaya.
Terjemahannya:
Seorang anak lelaki harus menurut jejak bapanya, meniru perbuatan dan kecakapannya. Lihatlah kepada ikan, burung, dan kura-kura; tidak ada di antaranya yang mendidik anaknya. Ikan menjaga telurnya hanya dengan dilihatnya, tidak pernah dirabanya. Kura-kura hanya mengingat tempat telurnya, tidak dilihatnya, hanya ditunggu dengan bermenung-menung.
Manawa Dharmasastra menyatakan sebagai berikut;
Catuspàtsakalo dharmah satyam çaiwa kåte yuge,
nàdharmenàgamaá kaçcin manusyànprati wartate.
Terjemahannya:
Dalam zaman Krta, Dharma itu seolah-olah berkaki empat (Catur warga, catur weda catur marga, catur wama dllnya) dan sempurna dan demikianlah kebenaran, tidak ada keuntungan kebajikan yang diterima rnanusia dengan kecurangan (Manawadharmasastra, I.81).
Itareûwàgamàdharmah pàdaçastwawaropitah,
caurikànåtamàyàbhir dharmaçcapaiti pàdaçaá.
Terjemahannya;
Dalam ketiga zaman lainnya, dengan berkembangnya ketidak adilan, dharma dipereteli satu persatu dari keempat kakinya dan dengan merajalelanya kejahatan, kebohongan dan penipuan, kebajikan yang didapati manusia pada setiap yuga berkurang seperempat (Manawadharmasastra, I.82).
Demikianlah ucap sastra, renungkanlah! Kedamaian hidup ini harus ditumbuh-kembangkan dengan sebaik mungkin. Interaksi harmonis di lingkungan keluarga (suami, istri, dan anak) mesti terjaga.
5. Ketentraman; Ketentraman dalam keluarga akan didapat apabila anggota keluarga memiliki kesehatan sosial. Kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dengan tetangga kiri kanan belakang dan depan merupakan suatu kebutuhan setiap keluarga. Semuanya ini didasarkan oleh ajaran Dharma dengan berpegang pada pikiran, perkataan dan laksana yang baik maka akan dapat melakukan kerja sama dengan baik. Hubungan sosial yang baik akan mempengaruhi perasaan setiap pribadi akan mendapat perlindungan kalau ada sesuatu yang akan mencelakakan rumah tangganya. Hubungan kerja sama dalam ajaran agama hindu mutlak ada dalam rumah tangga sehingga sesama akan merasakan saling menjaga dan melindungi.
Dalam kitab Niti Sastra dilukiskan bagi orang yang mau kerja sama seperti singa dan hutan. Keduanya memiliki kehidupan yang berbeda tetapi mampu bekerja sama. Singa menjaga hutan, akan tetapi ia selalu dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa akan meninggalkan hutan. Maka hutan akan dirusak dan dibinasakan oleh orang, pohon-pohon ditebangi, maka singa akan lari sembunyi didalam jurang di tengah ladang, yang akhirnya diserbu dan binasakan orang. Kitab Nitisastra menjelaskan sebagai berikut.
Singhà rakûakaning halas, halas ikangrakûeng harì nityaça,
singhà mwang wana tan patót pada wirodhàngdoh tikang keçari,
rug bràûþa ng wana denikangjana tinor wrékûanya çiróapaðang,
singhànghàt ri jurangnikang tégal ayón sanpun dinon durbala.
Terjemahannya:
Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan, Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu, meninggalkan hutan. Hutannya dirusak binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, Singa yang lari bersembunyi didalam curah, ditengah-tengah ladang, diserbu orang dan dibinasakan (Nitisastra, I.10).
Selanjutnya dijelaskan
Ring wwang haywa niràçrayeka gawayén tekang mahà n àçraya,
ton tang nàga mengàçraye sira bhatàra tryambakàngarcana,
sangke bhaktinikàpagéh dadi sawit dehyang triràjyàntaka,
pràptekéng garuda prasomya mulating nàga pranateng ruhur.
Terjemahannya;
Manusia tidak boleh tak berkawan, wajib mencari pelindung yang kuasa. Lihatlah ular naga yang mencari perlindungan kepada betara bermata tiga (Betara Siwa) seraja sujud kepadanya. Karena baktinya seteguh itu, ia lalu jadi kalung betara yang memusnakan tiga negeri (Betara Siwa). Burung garuda, seteru naga, melihat naga itu, sujud dari udara (karena hormatnya kepada Siwa)
(Nitisastra, I.11).
Bertolak dari seloka ini maka setiap rumah tangga harus sehat sosial yang ditandai dengan kemauan bekerja sama yang dilandasi oleh ajaran Tat Twam Asi sehingga kalau ada kesalahan ucapan dan perbuatan maka saling memaafkan, sehingga rasa permusuhan tidak ada dalam hati. Disamping itu juga ketaatan terhadap norma hukum sehingga bhatin terasa tentram akan muncul sendirinya karena ada rasa saling melindungi. Berlandaskan lima pilar itulah semestinya bangun keluarga Sukhinah diwujudkan oleh setiap insan Hindu, lakukanlah! Setiap anak patut berbhakti kepada orang tua, dan orang tua berkewajiban menyayangi anak-anaknya.
Komentar
Posting Komentar