Langsung ke konten utama

UPACARA KEMATIAN DI JAWA DAN DI BALI

 

Berkaitan dengan ritual kematian dibawah ini akan diuraikan beberapa teks mengenai tulisan ritual kematian di Jawa dan ngaben di Bali sebagai bahan perbandingan sebagai berikut :

Ida Bagus Purwita dalam bukunya yang berjudul “Upacara Ngaben”  diterbitkan oleh Upadha Sastra, tahun 1992. Menguraikan tentang pelaksanaan upacara Pengabenan mulai dari persiapan pengabenan sampai berakhirnya pengabenan itu. Di dalam buku itu juga dijelaskan sedikit mengenai simbol upakara yang dipergunakan namun sangat berbeda dengan apa yang ditemukan dalam pelaksanaan ritual kematian di Jawa. Di dalam buku itu tidak ada istilah Nyewudan sebagainya. Di Bali upacara Kematian sangat beragam, bisa selesai dalam satu hari, sampai boleh diupacara Pengabenan dalam beberapa tahun kemudian. Di dalam buku itu tidak termuat secara terperinci mengenai aspek teologi upacara Pengabenan itu.


Ida Bagus Oka dalam bukunya, Tuntunan Pitra Yadnya, diterbitkan oleh Upadhasastra Denpasar tahun 1992, juga menguraikan rangkaian upacara pengabenan, sarana dan pelaksanaan Pengabenan dengan menggunakan bahasa Bali. Dalam buku itu tidak termuat teologi yang melatar belakangi upacara tersebut. Suryamataram, (1987 : 32-38) dalam buku Tatacara Kematian, menguraikan bahwa upacara kematian dilakukan secara bertahap mulai dari meninggal sampai dengan upacara terakhir adalah Ritual Kematian. Selanjutnya disebutkan bahwa tatacara upacara kematian disesuaikan dengan perkembangan jaman. Kalau dulu upakara memakai wadah daun pisang, sekarang sudah memiliki kardus kecil-kecil. Berhubungan dengan upacara Kematian di dalam Ritual Kematian beberapa hal yang khusus, sebagai peringatan-peringatan kematian yang terakhir.

Oleh karena peringatan Nyewumerupakan peringatan yang terakhir, maka selamatan ini sering diselenggarakan secara besarbesaran. Umumnya dengan menyembelih kambing yang diambil dagingnya lalu dimasak gulai, sate, dan lainnya, ditambah dengan ayam (hitam dan putih), angsa, burung merpati, yang nantinya dipakai sesaji. Sedangkan burung dara dilepaskan. Gulai dan sate sisa sesaji digunakan untuk menjamu tamu.

Buku lainnya yang ditulis oleh Bratawijaya (1997: 132-133) berjudul “Mengenal dan Mengungkap Budaya Jawa”, menulis juga sekilas mengenai upacara kematian khususnya pemakaman, sebagai berikut : “cara pemakaman Jenasah hanya untuk Islam, Kristen dan Katolik dalam masyarakat Jawa, tata cara yang ia lakukan adalah dengan tradisi upacara yang hanya dikenal oleh masyarakat Hindu Jawa dan sebagainya. Di dalam buku itu tidak diuraikan mengenai teologi yang terkandung di dalam upacara tersebut, ada kemungkinan teologi upacara tersebut hanya bisa dihubungkan dengan teologi Hindu, karena ritual itu merupakan tradisi Hindu, bukan tradisi agama lain.

Di dalam buku itu hanya diuraikan tujuan selamatan saja seperti “Ngesur tanah tujuannya memindahkan dari alam fana ke alam baka, tiga hari menyempurnakan 4 perkara / anasir yaitu api, air, angin dan bumi, tujuh hari menyempurnakan kulit dan kuku, empat puluh hari untuk semua badan wadag, seratus hari untuk mengembalikan unsur air dan padat dalam tubuh, darah, otot, daging, sumsum, tulang, otot dan lain-lain. Mendak pisan menyempurnakan kulit, daging dan jeroannya, mendak pindo untuk menyempurnakan semua kulit, darah, daging dan semacamnya yang hanya tinggal tulangnya saja, mendak telu menyempurnakan semua rasa dan bau dan hingga semua rasa bau sudah lenyap”.

Dari beberapa buku dan penelitian di atas hanya menguraikan sekilas mengenai rangkaian ritual kematian serta beberapa sarananya saja, namun sama sekali tidak menyinggung masalah makna atau teologi yang terkandung dalam ritual tersebut baik teologi lokal maupun teologi Hindu. Jadi bedanya penelitian ini adalah pada kajian teologinya, baik teologi Jawa maupun teologi Hindunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.

          Pada jaman dahulu Desa Balinuraga adalah lahan milik pemerintah yang kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan Transmigrasi pada tahun 1963 dan pada tahun itu juga diberi nama Desa Balinuraga di bawah wilayah Kecamatan Kalianda. Pada tanggal 27 September 1967 Dinas Transmigrasi menempatkan 4 empat roambongan peserta Transmigrasi yang ditempatkan di Balinuraga. Rombongan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250 KK 2 Sukanadi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 KK 3 Pandearge diketuai oleh Made Gedah yang berjumlah 175 KK 4 Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 KK Dan tahun 1963-1965 wilayah ini belum mempunyai struktur Pemerintah Desa.            Segala administrasi masih ditangani oleh Jawatan transmigrasi. Mangku Siman, untuk mengordinir rombongan-rombongan trasnmigrasi Mangku Siman sebagai ketua rombongan seluruhnya. Pada tahun 1965 barulah perangk...

Catur Warna dalam Agama Hindu

  Pemahaman tentang Catur Varna dapat dijelaskan berdasarkan sastra drstha. Yang dimaksud pemahaman Catur Varna berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang Catur Varna menurut yang tersurat dalam kitab suci, sebagai berikuti; Bhagavadgita IV.13  cātur-varṇyaḿ mayā sṛṣṭaḿ guṇa-karma-vibhāgaśaḥ tasya kartāram api māḿ viddhy akartāram avyayam Terjemahan: Catur Warna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma  (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah  aku mengatasi gerak dan perubahan (Puja, 2000). Pengertian Catur Varna           Kata “Catur Varna” dalam ajaran Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata ‘catur dan varna’. Kata catur berarti empat . Kata varna berasal dari akar kata Vri yang berarti pilihan atau memilih lapanagan kerja. Dengan demikian catur varna berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadiny...

Peresmian dan Launching Rumah Produksi BPH: Tonggak Baru Penyiaran Hindu di Era Digital

 Jakarta, 15 Oktober 2024 – Badan Penyiaran Hindu (BPH) mencatat sejarah baru dengan meresmikan dan meluncurkan Rumah Produksi BPH, sebagai bagian dari upaya mengembangkan media penyiaran yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu. Kegiatan peresmian ini berlangsung khidmat di Jakarta Selatan, dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan pemangku kepentingan umat Hindu. Dokumentasi Acara Peresmian tersebut diawali dengan sambutan dari Dr. I Wayan Kantun Mandara, Ketua BPH dan juga tokoh terkemuka di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya keberadaan rumah produksi ini sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dharma melalui media yang inovatif. "Rumah Produksi BPH ini akan menjadi pusat bagi kita untuk menciptakan konten yang tidak hanya mendidik tetapi juga mampu menginspirasi umat Hindu dalam menjalankan nilai-nilai agama di tengah tantangan zaman modern," ujar Dr. I Wayan Kantun Mandara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sam...