Langsung ke konten utama

Teologi Jawa dalam Ritual Kematian (Wayan Tantre Awiyane)

        Di samping sistem teologi Hindu juga akan diuraikan sistem teologi lokal Jawa yang melandasi pelaksanaan ritual kematian itu.Teologi masyarakat Jawa termuat dalam beberapa buku seperti buku Manunggaling Kawulo Gusti sebagai berikut :

Sejatine wong anembah iku yayi wandan kuning kadya anganing baita amot uyah iku nini 

Kang kinarya pralambi alayar tengah ing laut 

Baitane kawratan kerem tengah ing jeladri

Ulihana uyah iku miring segara.

(Sinom Kode 1795.I,hal 228).

Artinya :

Manusia yang melakukan penyembahan sejati seumpama sebuah kapal yang muatannya ialah garam. Ini suatu pralambang alam pelayaran di tengan laut, muatannya menjadi terlalu berat dan kapalnya tenggelam di tengah laut. Kembalilah garam ke laut (P.J Zoetmulder.2000 : 332).

Malar reke kang baita antuk isi ring jeladri

Mengkane rake panembah kang nyata ring suksma jati

Saosiki kang pesti dadi sembah pujanipun

Mengkana kang tan wikan dereng wruh ingkang sejati

Panemkane anembah ing tawang tuwuhah.

(Sinom Kode 1795.I.hal 229)

Artinya :

Lalu lautlah yang menjadi muatannya. Demikian juga Penyembahan orang yang mengenal Hyang suksma Sejati Sungguh, setiap perbuatannya menjadi sembah dan pujian Tetapi demikian juga penyembahan seorang yang belum Mengenal kebenaran mengenai hal itu, merupakan penyembahan Terhadap kekosongan belaka (P.J Zoetmulder.2000 : 333).


        Selain itu di dalam buku “Simbolisme Budaya Jawa”, di sana diuraikan mengenai asal-usul manusia Jawa bahwa “ manusia terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah, bagian batiniah adalah  roh, sukma, dan pribadinya. Bagian ini mempunyai asal-usul dan tabiat Ilahi. Batin merupakan kenyataan yang sejati. Bagian lahir ialah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya rohani. Badan inilah yang merupakan kerajaan rohnya, itulah dunia yang  harus dikuasainya. Maka badan ini sering disebut Jagad cilik. Bila manusia dapat menguasai dunia kecil (dirinya sendiri) maka dia telah menjadi seorang satria pinandita, seorang raja pahlawan merangkap pinandita atau pujangga yang telah memahami hal – hal yang sifatnya rahasia. Batinnya mempunyai asal-usul ilahi. Demikian badannya mengalami proses spiritualisasi, berkembang menjadi ruh ilahi dan telah mulai perkembangan yang harmonis“ (Herusatoto, 2001 : 77).

Lebih lanjut diuraikan bahwa “Masyarakat Jawa sangat percaya dengan adanya dunia mikro (tubuh manusia) dan dunia makro (alam semesta) yang sesungguhnya di luar dunia itu ada kekuatan Tuhan yang mengendalikan kedua alam ini. Hal itu ditemukan ketika orang Jawa menyebut Tuhan yang selalu menggunakan bahasa Inggil dengan istilah seperti, Gusti Kang Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran Kang Maha Tunggal Gusti Allah(Satoto, 2001 : 79). 

        Demikian juga dalam buku seni budaya Jawa yang telah diuraikan mengenai adanya sarana untuk mencapai tujuan manusia dalam menyelenggarakan tindakan dengan memakai sarana atau alat agar tujuan yang diinginkan akan dapat dicapainya. Tujuan itu diuraikan dalam serat Wiro Wiyoto pada bait ke 7 (tujuh) yaitu :

Lamun tan mawa sarono paran katekaning kapti, lir bedug tanpa senjata, hing ngasta nira Hyang Widhi, tan karso mi turuti, marang wong kang tanpa laku, nir ngamal myang panembah, kumudu dipun turuti, ngendi ono Gusti rinreh ing kawulo. (Harja Sarkars, tt : 9).

Artinya :

Kalau tanpa sarana atau alat tidak akan mungkin sampai pada keinginannya, bagaikan bedug yang tanpa senjata, dihadapan Hyang Widhi tidak akan mengabulkannya, kepada orang yang tanpa pelaksanaan bagaikan sedekah (yadnya) kepada Hyang Widhi (bhakti yang harus diikuti aturan-aturannya), dimana ada penguasa diperintah oleh anak buahnya. 

Di dalam mantram ritual kematian juga diuraikan mengenai struktur teologi ritual tersebut terjemahan sebagai berikut :

“Kehendak hamba mengantar atman, bersatulah atman dengan brahman, atman Jiwatman : ....atman yang samsara, atman sembah, Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman, Menyatu ke alam siwa. Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini, Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan, Atma swargi.... cahaya bening paduka Yang Maha suci. tidak ada duanya, Saya serahkan jiwa raga swargi : ....Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara, Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra, Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud, Semoga atman swargi ..... diterima menyatu, Di Siwa baka (alam Brahman). Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa swargi....,Penuh dengan dosa, nista, penuh papa, Semoga mendapatkan perlindungan dariMU, Om Paduka Bhatara, yang saya sembah, Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman swargi...., Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar. Om Paduka Bhatara, semoga mendapatkan pengampunan, Semua dosa dari perbuatan, pembicaraan, pikiran Dan kekeliruan prilaku dari swargi .... Swargi .... asal kelahiran dari bumi, air, api, Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa,Yang berasal dari bumi,kembalilah ke bumi yang suci, Yang berasal dari api, kembalilah kepada api yang suci,Yang berasal dari angin, kembalilah kepada angin yang suci, yang berasal dari air, kembalilah kepada air yang suci. Semoga swargi ..... di terima atas pengayoman, Bhatara Siwa, menyatu dengan kesucian Bhatara,Semoga swargi : .....mendapatkan ketentraman, Menyatu swargi mencapai kemoksaan, Semoga menemukan kesempurnaan sejatiBahasa teologis lokal sangat kental dalam mantram di atas, bahwa diuraikan memang ada hubungan yang sangat erat antara alam besar (Bhuana agung) dengan alam mikro (bhuwana alit) serta keduanya dengan Brahman. 

        Teologi Ritual kematian yang digunakan dalam mantram itu secara konseptual membawa pikiran manusia Jawa untuk berserah kepada Tuhan agar Jiwa/Atman orang yang meninggal bersatu dengan Brahman. 

Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo, lan gusti, suksmo jiwanipun:......suksmo loro,Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo Bali marang suksmo jati, manunggal marang suksmo kawekas. 

Artinya 

Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman, Menyatu ke alam siwa. Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini, Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan, Atma swargi .....cahaya bening paduka Yang Maha suci. 

        Hubungan kedua alam dengan Tuhan (Gusti) terutama untuk roh orang yang meninggal menurut penelitian ditegaskan bahwa, orang Jawa tidak hanya mengadakan ritual sebagai doa hanya ketika baru meninggal saja namun hubungan keyakinan itu berlanjut sampai selesai seribu hari. Sebagai peringatan terhadap orang yang sudah meninggal (Suryamataram, 1987 : 60). 

Mereka melakukan hal itu berdasarkan atas kepercayaan Kejawen terhadap arwah yang sudah meninggal yaitu terhadap adanya kehidupan lain sesudah kematian itu. Memang hal itu tidak ada kepastiannya, tetapi yang jelas pada orang tua di Jawa ada itikad yang baik untuk mengadakan selamatan. Selamatan memperingati arwah orang yang sudah meninggal itu agar menyatu dengan Tuhan sebagai mana terurai dalam serat tersebut. Secara struktur teologis masyarakat Jawa khususnya di Kumendung mengenal nama Tuhan dengan sebutan Hyang Maha Suci (Tuhan Yang Esa), Konsep bersatunya roh dengan Tuhan (Manunggaling kawulo lan Gusti). Dalam bahasa  Jawanya anglunturno dumateng suksmo jiwanipun, swargi ........cahyo kaweningan paduko ingkang Moho suci.Semoga Tuhan menyucikan kekotoran jiwanya yang diupacarai, semoga ia mendapatkan cahaya sorga keheningan dan menyatu dengan Hyang Maha Suci. Secara kontektual sangat jelas ritual itu bertujuan untuk mengantar sang Roh ke alam Tuhan setelah dosanya disucikan kata Cahyo Kaweningan P aduko Ingkang Moho Suci. Penyatuan roh dengan Hyang Maha Suci tegas menggambarkan bahwa teologi Jawa sangat kental menguraikan antara atman dengan Hyang Maha Suci.

        Secara teologi Jawa bahwa Tuhan telah menciptakan manusia terlebih dahulu maka manusia ingin membalas cinta kasihnya dalam bentuk menyelenggarakan ritual, seperti halnya Ritual Kematian yang dilaksanakan oleh masyarakat Kumendung,Banyuwangi. Dalam pencapaian tujuan hidup manusia, cinta kasih mempunyai nilai yang tinggi untuk orang yang meninggal wujud cinta kasih itu dibuat dalam bentuk ritual/yadnya yang merupakan pengorbanan materi di dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut. Teologi ritual ini dapat pula ditemukan dalam pelaksanaan kendurisebagai rangkaian ritual Kematian yang pada hakekatnya mempunyai nilai “tat twam asi”. Hal ini dibuktikan setelah selesai upacara kenduri atau setelah saji itu dihaturkan kepada Tuhan, maka sesaji tersebut dibagikan kepada peserta kenduri. Tujuan dari masyarakat agar mereka bertingkah laku “amangun karyenak sesama” artinya membuat bahagia orang lain. Dari Tat twam asi ini menghasilkan pandangan dalam agama-agama bahwa semua roh mahluk hidup termasuk manusia bersumber dari Tuhan, sebab itulah membahagiakan orang lain dimaknai juga dapat membahagiakan diri sendiri. 

        Di dalam teologi Jawa juga mengenal penyatuan Tuhan dengan Tuhan sebagaimana tertuang dalam serat berikut ini.

Sanepane wong urip puniki

Aneng donya iku umpamane

Mung koyo wong mampir ngombe

Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,

Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,

Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih, mring asal kamulane

Artinya :

ditamsilkan orang hidup ini di dunia itu seumpamanya hanya seperti orang yang singgah minum semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya, ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru, seumpama orang saling berkunjung ketetangga, akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya (Mulyono, 1979 : 195). 

        Uraian serat di atas menjadi jelas bahwa masyarakat Jawa mengenal teologi dengan struktur teologisnya yaitu : hubungan antara atma dengan Brahman/persatuan antara manusia dengan Tuhan/Manunggaling kawulo lan gusti. Hubungan alam mikro dengam makro, hubungan alam mikro, Makro dengan Tuhan. Sangat jelas maknanya kemana manusia kembali kecuali kepada asalnya (Sangkan Paraning dumadi dan yang bersatu dengan Tuhan hanyalah (cita tinunggil karsa) atau hanya rohnya. Sebab itulah diisaratkan untuk lebih waspada menghayati teologi ini karena merupakan ajaran rahasia. Ajaran ini ajaran kelepasan untuk menghayati Tuhan yang satu namun ada di mana-mana. Seperti diuraikan dalam pupuh Pangkur bait 12 sebagai berikut :

Awas roroning atunggil

Tan samar pamoring sukmo

Sinukmaya winakya ing ngasepi

Layap liyeping ngalayup

Pinda pasating supena

Sumusuping rasa sejati

Sejatining kang mangkana

Wus kekanan nugrahing Hyang Widhi

Bali alang asamung

Tan karem kare menyan

Ingkang sifat wisesa mas

Mulih mula niulanira

Artinya :

Hendaknya waspada terhadap penghayatan roroning atunggil, agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma, penghayatan ini terbukti dalam penyepian, tersimpan di dalam pusat kalbu, adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam gaib), laksana terlindasanya dalam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk, penghayatan gaib itu datang laksana lintasan mimpi, sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam itu, berarti telah tahu jalan kemana pergi keasalnya (Soesilo, 2003 : 119-120).

        Pemikiran teologi manusia Jawa di atas menguraikan beberapa makna hubungan manusia dengan Tuhan. Pertama Tuhan di maknai sebagai roroning atunggilyaitu dua namun satu. Kemudian di alam gaib sesungguhnya roh dan cita manusia bisa menyatu dengan Tuhan (tan samar pamoring sukma). Jalan untuk mengetahui adanya hubungan roh dengan Tuhan adalah dengan menempuh jalan sepi/menyepi (yoga). Bagi orang yang melakoni jalan ini ia sesungguhnya tahu alam moksa itu. Bagi masyarakat umumnya yang belum menghayati benar makna roroning atunggil ini, di dalam tradisi Jawa bila ada yang meninggal dibuatkanlah ritual kematian untuk menjembatani hubungan manusia dengan Tuhan serta sebagai permohonan agar Jiwa / sukma orang yang meninggal diberikan jalan menuju kepadaNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peresmian dan Launching Rumah Produksi BPH: Tonggak Baru Penyiaran Hindu di Era Digital

 Jakarta, 15 Oktober 2024 – Badan Penyiaran Hindu (BPH) mencatat sejarah baru dengan meresmikan dan meluncurkan Rumah Produksi BPH, sebagai bagian dari upaya mengembangkan media penyiaran yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu. Kegiatan peresmian ini berlangsung khidmat di Jakarta Selatan, dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan pemangku kepentingan umat Hindu. Dokumentasi Acara Peresmian tersebut diawali dengan sambutan dari Dr. I Wayan Kantun Mandara, Ketua BPH dan juga tokoh terkemuka di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya keberadaan rumah produksi ini sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dharma melalui media yang inovatif. "Rumah Produksi BPH ini akan menjadi pusat bagi kita untuk menciptakan konten yang tidak hanya mendidik tetapi juga mampu menginspirasi umat Hindu dalam menjalankan nilai-nilai agama di tengah tantangan zaman modern," ujar Dr. I Wayan Kantun Mandara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sam

Karya Anugerah Mahottama Award 2024

Jakarta, 22 Oktober 2024. Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Melaksanakan kegiatan Karya Anugerah Mahottama Award 2024. Dengan menghadirkan seluruh Pembimas di seluruh Indonesia, Para penyuluh Yang terdiri dari PNS, PPPK dan Penyuluh Agama Hindu Non PNS. Acara ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan penghargaan, tetapi juga sebagai motivasi bagi kita semua, khususnya umat Hindu, untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam bidang agama, budaya, pendidikan, dan sosial. Saya sangat bangga melihat semangat, kreativitas, dan komitmen yang ditunjukkan oleh para penerima penghargaan tahun ini. Dokumentasi Kegiatan Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan dalam menyelenggarakan acara ini. Keberhasilan acara Karya Anugerah Mahottama Award 2024 adalah hasil dari kerja sama dan sinergi yang luar biasa antara pemerintah, tokoh agama, dan seluruh umat Hindu. Kemudian Sekum Made Widiarta menyampaikan

Materi Tri Guna dalam Diri SMP Kelas VIII Agama Hindu

         (Dokumentasi Penyuluhan di Pura Aditya Jaya rawamangun) Manusia sejak lahir memiliki tiga sifat dasar. Ketiga sifat dasar manusia tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Sifat dasar manusia yang satu dengan yang lain selalu bergejolak untuk saling mengalahkan. Sifat dasar manusia tertuang dalam kitab-kitab suci agama Hindu.  Pustaka suci Bhagavad-gītā , XVIII.40 menyatakan bahwa:  na tad asti prthivyām vā divi devesu vā punah sattvam  prakrti-jair muktam yad ebhih syāt tribhir gunaih. Artinya: Tiada makhluk yang hidup, baik di sini maupun di kalangan para deva di susunan planet yang lebih tinggi, yang bebas dari tiga sifat tersebut yang dilahirkan dari alam material. Terjemahan sloka di atas, dapat dijelaskan bahwa, setiap makhluk hidup baik manusia maupun deva tidak ada yang luput dari tri guna. Hal ini disebabkan karena setiap makhluk yang terbentuk oleh unsur material dipengaruhi oleh Tri Guna. Pustaka suci Bhagavad-gītā XVIII.60 menyatakan ba