Proses pelaksanaan Wiwaha atau adat perkawinan Hindu di Batak Karo dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Tahap Sebelum Upacara
Perkawinan
1. Ertutut maksudnya
saling memperkenalkan diri
dari pihak laki-laki dari keturunan mana, dan pihak perempuan
itu dari keturunan mana. Hal ini penting
untuk mengetahui : bebet, bobot, dan bibit.
2. Naki-naki maksudnya
kedua belah pihak
(mempelai berdua) saling berkenalan untuk mengetahui sifat pribadi
calon mempelai, masingmasing
pihak mempelai menyerahkan suatu benda atau uang yang di sebut Tagih-tagih.
3. Nungkuni maksudnya jika
pihak pria sudah
menyetujui calon wanita maka
pihak orang tua laki-laki mengadakan hubungan dengan keluarga pihak wanita,
untuk menyampaikan keinginan anaknya dan mengusahakan agar perkawinan mereka
dapat dilaksanakan.
Demikian tahap
awal persiapan tentang
rangkaian upacara perkawinan menurut adat Hindu menurut suku
Batak Karo.
b. Nangkih
Pihak laki-laki (purusa) membawa
si wanita ke rumah keluarganya dengan di
antar oleh satu
atau dua orang.
Biasanya si wanita
di bawa oleh
laki-laki ke rumah pihak anak berunya. Secara langsung tujuan acara ini
adalah untuk mengetahui maksud, tujuan pihak bersangkutan dan sekaligus dapat
menentukan serta mengambil langkah seperlunya. Dalam hubungan
ini, Anak Beru
bertanggung jawab menghubungi
Anak .Beru pihak si wanita dan orang tuanya untuk mengatur acara adat
selanjutnya. Dalam rangka mewujudkan langkah permulaan Nangkih ini, sebelum
pihak pihak laki-laki meninggalkan tempat
pemberangkatan, terlebih dahulu
dipersiapkan Penandingen yang biasanya berupa uang atau barang. Dalam
Nangkih ini sarana upacaranya adalah Kampil dan Tabung.
c. Maba Belo Selambar
Empat atau delapan hari setelah
Nangkih diadakan kunjungan yang disebut Maba Belo Selambar (membawa selembar
sirih). Acara kunjungan tersebut cukup sederhana, pihak keluarga laki-laki yang
berkunjung sangat terbatas. Demikian juga pihak keluarga wanita sebagai tuan
rumah hanya memberitahu dua orang saudara dari Anak Berunya. Upacara yang
sederhana ini sejenis dengan upacara Byakaon di Bali. Pada kesempatan ini pula
ikut dibicarakan tentang ketentuan : waktu, hari dan yang lainnya secara adat
yang disebut dengan membawa manuk (ayam). Alat yang dipakai dalam upacara ini
adalah Kampil berisi sirih, belo sempedi,
gambir dua buah,
pinang secukupnya, tembakau
segulung, Tabung, Beras, Setumba,
Pinggan tempat uang, dan beberapa ekor ayam.
d. Maba Manuk (Membawa Ayam)
Acara ini dilaksanakan sesuai
dengan hasil kesepakatan pada acara Maba Belo Salambar yang lalu. Untuk pihak
laki-laki adalah Anak Beru, Kalimbubu Singalo
Ulu Emas, yaitu
pihak saudara laki
ibu mempelai laki-laki
Singalo Peminin, Singalo Perbibi, dan Serembah Kulau (aron) dapat
menghadiri. Dalam hal ini, untuk lebih jelasnya yang disebut Anak Beru adalah
saudara perempuan pihak laki-laki, Kalimbubu Singalo Ulu Emas adalah saudara
laki ibu mempelai laki (paman si laki). Singalo Peminin adalah saudara
laki-laki pihak ibu penganten perempuan dalam bahasa Karo adalah Turang Impal
yang tidak bisa dikawini.
Singalo Perbibi
adalah saudara ibu
perempuan dari pihak
penganten wanita (bibi). Dalam
hal ini, keluarga
masing-masing pihak sebagaimana
yang telah diuraikan tadi pada
acara Maba Manuk turut ambil bagian dalam musyawarah besar kecilnya Gantang
Tumba (mas kawin) yang harus ditanggung oleh pihak keluarga mempelai laki-laki.
Anak Beru, Senina masing-masing pihak mengambil tempat di tengah-tengah pertemuan
duduk berhadapan di atas tikar. Mula-mula Anak Beru pihak lakilaki menyuguhkan
5 buah kampil (tempat sirih) kepada pihak mempelai wanita, satu untuk Singalo
Bere-bere, satu untuk Senina Singalo Peminin dan satu untuk anak Beru. Kampil
tersebut diberikan dengan maksud untuk minta ijin apakah musyawarah sudah dapat
dimulai. Setelah kampil tersebut dikembalikan, maka acara musyawarah dapat
dimulai dengan berdialog. Dalam pembicaraan antara kedua belah pihak, anak Beru
bertindak sebagai penyambung pembicaraan.
Hal–hal yang menjadi pembahasan
pada acara tersebut, atara lain pengesahan dari pihak mempelai perempuan
mengenai kesenangan hatinya atas perkawinan yang telah dilaksanakan
oleh anaknya. Untuk
menentukan jumlah Bere-bere harus dimusyawarahkan dengan
Kalimbubu Singalo Bere-bere, di mana harus dihubungkan dengan jumlah kado yang
akan dibawanya dengan prinsip pihaknya tidak dirugikan. Semua kelompok keluarga
yang telah disebutkan tadi berhak menerima bagian masing-masing dari Tukur. Unjukan mempelai
perempuan, bagian tersebut
diterima sewaktu di laksanakan
pesta perkawinan si
mempelai, khusus bagi Kalimbubu pihak mempelai laki-laki juga mendapat
bagian. Bagian tersebut dinamai Ulu Emas, yaitu
sejumlah uang diserahkan
pihak laki-laki kepada
kalimbubunya sendiri (pihak saudara
laki ibu mempelai
laki-laki). Ulu Emas
tersebut merupakan penghormatan
kepada kalimbubu seta minta izin bahwa mempelai laki-laki telah kawin dengan
seorang perempuan bukan dari kelompoknya.
Setelah diketahui besar kecilnya
Unjukan atau Tukur melalui musyawarah, ditentukan jumlah bere-bere. Maka dapat
pula ditentukan jumlah peminin dan Perbibi. Di dalam tingkat ini juga di
bicarakan mengenai tingkatan pesta (Kerja Erdemu Bayu) yang akan dilaksanakan.
Untuk jaminan sebagai pengikat janji pelaksanaan pesta pada waktu yang telah di
tetapkan, kepada pihak mempelai wanita diserahkan Pemindih Pudun masing-masing
dalam bentuk uang dengan jumlah ditetapkan bersama.
Sekiranya mempelai
wanita ingkar dan
mengagalkan perakwinan, uang tersebut harus dikembalikan dua kali
lipat, sebaliknya jika pihak laki-laki tidak menepati janjinya, maka uang
tersebut dianggap hilang. Setelah
hal tersebut selesai
dimusyawarahkan dan dilaksanakan,
maka Pendingen yang telah diserahkan kepada pihak mempelai wanita, suatu
anaknya nangkih dulu dikembalikan. Sebagai penutup maka Anak Beru, Senina,
masingmasing pihak melakukan Sijalepen artinya saling memperkenalkan diri,
yakni tentang nama dan Marganya.
e. Kerja Edermu Bayu
Untuk acara
selanjutnnya adalah Kerja
Erdemu Bayu yang
biasanya dilaksanakan di siang hari, ini merupakan inti pesta adat Karo
yang beragama Hindu. Tingkatan pesta adat ini ada yang besar, sedang, dan
sederhana. Dalam pelaksanaan upacara Kerja
Erdemu Bayu ini,
sarana yang diperlukan
dalam Kampil, Tabling, Beras
Piher Setumbu, Uis
Nipes untuk mempelai
wanita banyaknya dua lembar yang dipakai sebagai penutup kepala (Tudung)
bagi yang disebut dengan Bulang. Di samping itu, untuk pihak laki diberikan
kain Pelihat, dan barang perhiasan untuk pihak wanita, Pisau Tumbuk Lada untuk
pihak lakilaki. Proses pelaksanaannya, setelah rombongan laki-laki tiba di
rumah wanita, disodorkan sirih kepada
hadirin, setelah itu
penyerahan Kampil dan
Tudung kepada ibu dan ayah si wanita dengan perantara Anak Beru Jabu
kedua belah pihak. Sesudah makan sirih dan merokok maka berbicaralah Anak Beru
Jabu pihak laki-laki (sipempo) kepada Kalimbubu si nenek perempuan pihak orang
tua si wanita dengan perantara Anak Beru Si Nereh, tentang keputusan
pembicaraan waktu Maba Manuk.
Setelah selesai semua
pembicaraan maka, dilaksanakan secara berturut-turut oleh Anak
Beru Dipempo dengan perantara Anak Beru Si Nereh (mempelai wanita).
Memberi Unjukan (beli) kepada Si
Mupus (yang melahirkan antara ayah dan
ibu) kepada Si
Mupus salah seorang
dari senina, Bere-bere,
Perbibin, Perninin, Si Rembah Jalai, dan penghulu. Sebaliknya pihak
menerima (Si Nereh) juga memberikan sesuatu kepada kedua mempelai. Menurut
adat, penyerahan dilakukan oleh Senina (orang tua wanita) menyerahkan berupa
kain kawin (Uis Sereh), emas perhiasan, dan menyerahkan modal rumah tangga
berupa alat dapur kepada kedua mempelai.
Setelah selesai
upacara penyerahan adat
itu, diakhiri dengan
upacara Mejuah-juah
(Selamatan), sambil menaburkan
beras agar kedua
mempelai selamat dalam menempuh hidup baru. Untuk acara selanjutnnya
diteruskan acara makan bersama, ini dilakukan oleh pihak laki-laki. Pada saat
mukul ini diadakan jamuan makan bersama dalam satu piring berisi makanan, nasi,
telor, gulai, dan ayam yang masih utuh (masak). Acara makan dalam satu piring
ini merupakan suatu sumpah untuk hidup bersama dan saling setia untuk
selama-lamanya, ini melambangkan persatuan dan kesatuan dalam perkawinan.
Upacara ini dihadiri oleh keluarga terdekat
dari kedua belah
pihak yaitu: Anak
Beru, Kalimbubu, Senina, dan
Aron. Setelah berakhirnya
upacara ini maka
sah lah perkawinan mereka dan sah pula sebagai suami
istri.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa,
sah nya suatu
perkawinan menurut Hukum Adat Hindu apabila telah memenuhi tiga syarat
yang disebut Tri Upa Saksi, yaitu saksi kepada keluarga, masyarakat
(pemerintah), dan saksi kepada Dewa/Tuhan. Saksi kepada keluarga akan terlihat
pada waktu upacara Maba Manuk yang
hanya dihadiri oleh
beberapa keluarga yang
terdekat. Sedangkan saksi kepada
masyarakat akan nampak
pada acara kerja
Erdemu Bayu yang dihadiri
oleh kepala desa,
kaum kerabat dan
masyarakat lainnya. Yang terakhir
saksi kepada Dewa atau Tuhan akan dijumpai pada waktu upacara Mukul, di mana
kedua belah pihak mempelai makan berdua dalam satu piring dengan mengucapkan
sumpahnya kepada Tuhan
di mana akan
berjanji dan bersumpah akan hidup
bersama untuk selama-lamanya.
f. Sesudah Perkawinan
Upacara terakhir
menurut Adat Karo
yang beragama Hindu
adalah Nguluhken Limbas yang sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai
(kangen). Ini dilaksanakan di rumah orang tua wanita sarana yang di persiapkan,
yaitu ayam 2 ekor, beras secukupnya, kelapa segandeng, sayur-sayuran ecukupnya,
sirih seperangkat, dan tabung.
Proses pelaksananya adalah dengan
menyodorkan sirih kepada hadirin pihak Sineren (mempelai wanita). Selanjutnya
acara makan bersama karena mereka telah sah menjadi suami istri yang sebentar
lagi membuat rumah tangga yang baru. Pada umunya laki-laki dan wanita Batak
Karo yang sudah kawin, kedua penganten itu tidak lama hidup atau tinggal
bersama orang tua laki-laki. Mereka akan berdiri sendiri berpisah dari rumah
tangga orang tuannya. Tindakan mereka yang
dilakukan dengan memisahkan
diri dari orang
tua pihak lelaki
disebut dengan istilah ”Penyanyon atau Njoyo“. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Dengan
perkawinan yang berlaku di Sumatra khususnya yang beragama Hindu adalah sistem
meminang.
2. Perkawinan
yang dianggap ideal dalam masyarakat Batak Karo adalah perkawinan orang-orang
Rimpal, yakni di
mana seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara
laki-laki ibunya.
3. Dalam menyelesaikan
segala kegiatan adat,
maka Anak Beru, Kalimbubu dan Senina ini harus ada
(Sangkep Sitelu atau Rakut Sitelu) dan ketiga ini mempunyai tugas dan fungsi
yang berbeda-beda.
4. Dalam
pelaksanaan pesta perkawinan, itu disesuaikan dengan keadaan misalnya, bagi
yang mampu dapat melaksanakan upacara perkawinan dengan besar-besaran atau
tingkat utama (Kerja Sinita dalam bahasa karo).
Biasanya acara seperti ini
disertai dengan iringan gendang adat. Bagi umat yang perekonomiannya sedang
maka dapat melangsungkan
upacara dengan tingkat madya
atau menengah, sedangkan
bagi umat sedharma
yang tingkat perekonomiannya rendah
dapat melangsungkan upacara
perkawinan dengan kecil-kecilan yang
tidak mengurangi nilai
pokok dalam ajaran
agama, yaitu disesuaikkan dengan
Desa, Kala, dan Patra. Pelaksanaan acara perkawinan yang berlangsung secara
sederhana ini di Bali disebut dengan istilah Byakaonan.
Sistem perkawinan
Hindu sebagaimana disebutkan
dalam kitab suci Hindu wajib dilakoni oleh pasangan
suami-istri menurut agama Hindu. Selain itu
adakah persyaratan tertentu
yang mesti dipenuhi
oleh pasangan pengantin sehingga proses perkawinannya
menjadi sah adanya? Sebelumnya kerjakanlah soal-soal uji kompetensi berikut ini
dengan baik! WiwahaMenurut Suku Batak Karo. Proses pelaksanaan Wiwaha atau adat
perkawinan Hindu di
Batak Karo dapat dipaparkan sebagai
berikut:
a. Tahap Sebelum Upacara
Perkawinan
1. Ertutut maksudnya
saling memperkenalkan diri
dari pihak laki-laki
dari keturunan mana, dan pihak perempuan itu dari keturunan mana. Hal
ini penting untuk mengetahui : bebet, bobot, dan bibit.
2. Naki-naki maksudnya
kedua belah pihak
(mempelai berdua) saling berkenalan untuk mengetahui sifat pribadi
calon mempelai, masingmasing
pihak mempelai menyerahkan suatu benda atau uang yang di sebut Tagih-tagih.
3. Nungkuni maksudnya jika
pihak pria sudah
menyetujui calon wanita maka
pihak orang tua laki-laki mengadakan hubungan dengan keluarga pihak wanita,
untuk menyampaikan keinginan anaknya dan mengusahakan agar perkawinan mereka dapat
dilaksanakan.
Demikian tahap
awal persiapan tentang
rangkaian upacara perkawinan menurut adat Hindu menurut suku
Batak Karo.
b. Nangkih
Pihak laki-laki (purusa) membawa
si wanita ke rumah keluarganya dengan di
antar oleh satu
atau dua orang.
Biasanya si wanita
di bawa oleh
laki-laki ke rumah pihak anak berunya. Secara langsung tujuan acara ini
adalah untuk mengetahui maksud, tujuan pihak bersangkutan dan sekaligus dapat
menentukan serta mengambil langkah seperlunya. Dalam hubungan
ini, Anak Beru
bertanggung jawab menghubungi
Anak Beru pihak si wanita dan
orang tuanya untuk mengatur acara adat selanjutnya. Dalam rangka mewujudkan
langkah permulaan Nangkih ini, sebelum pihak pihak laki-laki meninggalkan
tempat pemberangkatan, terlebih
dahulu dipersiapkan Penandingen
yang biasanya berupa uang atau barang. Dalam Nangkih ini sarana upacaranya
adalah Kampil dan Tabung.
c. Maba Belo Selambar
Empat atau delapan hari setelah
Nangkih diadakan kunjungan yang disebut Maba Belo Selambar (membawa selembar
sirih). Acara kunjungan tersebut cukup sederhana, pihak keluarga laki-laki yang
berkunjung sangat terbatas. Demikian juga pihak keluarga wanita sebagai tuan
rumah hanya memberitahu dua orang saudara dari Anak Berunya. Upacara yang
sederhana ini sejenis dengan upacara Byakaon di Bali. Pada kesempatan ini pula
ikut dibicarakan tentang ketentuan : aktu, hari dan yang lainnya secara adat
yang disebut dengan membawa manuk (ayam). Alat yang dipakai dalam upacara ini
adalah Kampil berisi sirih, belo sempedi,
gambir dua buah,
pinang secukupnya, tembakau
segulung, Tabung, Beras, Setumba,
Pinggan tempat uang, dan beberapa ekor ayam.
d. Maba Manuk (Membawa Ayam)
Acara ini dilaksanakan sesuai
dengan hasil kesepakatan pada acara Maba Belo Salambar yang lalu. Untuk pihak
laki-laki adalah Anak Beru, Kalimbubu Singalo
Ulu Emas, yaitu
pihak saudara laki
ibu mempelai laki-laki
Singalo Peminin, Singalo Perbibi, dan Serembah Kulau (aron) dapat
menghadiri. Dalam hal ini, untuk lebih jelasnya yang disebut Anak Beru adalah
saudara perempuan pihak laki-laki, Kalimbubu Singalo Ulu Emas adalah saudara
laki ibu mempelai laki (paman si laki). Singalo Peminin adalah saudara
laki-laki pihak ibu penganten perempuan dalam bahasa Karo adalah Turang Impal
yang tidak bisa dikawini. Singalo
Perbibi adalah saudara
ibu perempuan dari
pihak penganten wanita (bibi). Dalam
hal ini, keluarga
masing-masing pihak sebagaimana
yang telah diuraikan tadi pada
acara Maba Manuk turut ambil bagian dalam musyawarah besar kecilnya Gantang
Tumba (mas kawin) yang harus ditanggung oleh pihak keluarga mempelai laki-laki.
Anak Beru, Senina masing-masing
pihak mengambil tempat di tengah-tengah pertemuan duduk berhadapan di atas
tikar. Mula-mula Anak Beru pihak lakilaki menyuguhkan 5 buah kampil (tempat
sirih) kepada pihak mempelai wanita, satu untuk Singalo Bere-bere, satu untuk
Senina Singalo Peminin dan satu untuk anak Beru. Kampil tersebut diberikan
dengan maksud untuk minta ijin apakah musyawarah sudah dapat dimulai. Setelah
kampil tersebut dikembalikan, maka acara musyawarah dapat dimulai dengan
berdialog. Dalam pembicaraan antara kedua belah pihak, anak Beru bertindak
sebagai penyambung pembicaraan.
Hal–hal yang menjadi pembahasan
pada acara tersebut, atara lain pengesahan dari pihak mempelai perempuan
mengenai kesenangan hatinya atas perkawinan yang telah
dilaksanakan oleh anaknya.
Untuk menentukan jumlah
Bere-bere harus dimusyawarahkan dengan Kalimbubu Singalo Bere-bere, di
mana harus dihubungkan dengan jumlah kado yang akan dibawanya dengan prinsip
pihaknya tidak dirugikan. Semua kelompok keluarga yang telah disebutkan tadi
berhak menerima bagian masing-masing dari Tukur.
Unjukan mempelai
perempuan, bagian tersebut
diterima sewaktu di laksanakan
pesta perkawinan si
mempelai, khusus bagi
Kalimbubu pihak mempelai
laki-laki juga mendapat bagian. Bagian tersebut dinamai Ulu Emas, yaitu sejumlah
uang diserahkan pihak
laki-laki kepada kalimbubunya
sendiri (pihak saudara laki
ibu mempelai laki-laki).
Ulu Emas tersebut
merupakan penghormatan kepada kalimbubu seta minta izin bahwa mempelai
laki-laki telah kawin dengan seorang perempuan bukan dari kelompoknya.
Setelah diketahui besar kecilnya
Unjukan atau Tukur melalui musyawarah, ditentukan jumlah bere-bere. Maka dapat
pula ditentukan jumlah peminin dan Perbibi. Di dalam tingkat ini juga di
bicarakan mengenai tingkatan pesta (Kerja Erdemu Bayu) yang akan dilaksanakan.
Untuk jaminan sebagai pengikat janji pelaksanaan pesta pada waktu yang telah di
tetapkan, kepada pihak mempelai wanita diserahkan Pemindih Pudun masing-masing
dalam bentuk uang dengan jumlah ditetapkan bersama. Sekiranya mempelai
wanita ingkar dan
mengagalkan perakwinan, uang tersebut harus dikembalikan dua kali lipat,
sebaliknya jika pihak laki-laki tidak menepati janjinya, maka uang tersebut
dianggap hilang. Setelah hal tersebut
selesai dimusyawarahkan dan
dilaksanakan, maka Pendingen yang
telah diserahkan kepada pihak mempelai wanita, suatu anaknya nangkih dulu
dikembalikan. Sebagai penutup maka Anak Beru, Senina, masingmasing pihak
melakukan Sijalepen artinya saling memperkenalkan diri, yakni tentang nama dan
Marganya.
e. Kerja Edermu Bayu
Untuk acara
selanjutnnya adalah Kerja
Erdemu Bayu yang
biasanya dilaksanakan di siang hari, ini merupakan inti pesta adat Karo
yang beragama Hindu. Tingkatan pesta adat ini ada yang besar, sedang, dan
sederhana. Dalam pelaksanaan
upacara Kerja Erdemu
Bayu ini, sarana
yang diperlukan dalam Kampil,
Tabling, Beras Piher
Setumbu, Uis Nipes
untuk mempelai wanita banyaknya dua lembar yang dipakai
sebagai penutup kepala (Tudung) bagi yang disebut dengan Bulang. Di samping
itu, untuk pihak laki diberikan kain Pelihat, dan barang perhiasan untuk pihak
wanita, Pisau Tumbuk Lada untuk pihak lakilaki. Proses pelaksanaannya, setelah
rombongan laki-laki tiba di rumah wanita, disodorkan sirih
kepada hadirin, setelah
itu penyerahan Kampil
dan Tudung kepada ibu dan ayah si
wanita dengan perantara Anak Beru Jabu kedua belah pihak. Sesudah makan sirih
dan merokok maka berbicaralah Anak Beru Jabu pihak laki-laki (sipempo) kepada
Kalimbubu si nenek perempuan pihak orang tua si wanita dengan perantara Anak
Beru Si Nereh, tentang keputusan pembicaraan waktu Maba
Manuk. Setelah selesai
semua pembicaraan maka,
dilaksanakan secara berturut-turut oleh Anak Beru Dipempo dengan
perantara Anak Beru Si Nereh (mempelai wanita).
Memberi Unjukan (beli) kepada Si
Mupus (yang melahirkan antara ayah dan
ibu) kepada Si
Mupus salah seorang
dari senina, Bere-bere,
Perbibin, Perninin, Si Rembah Jalai, dan penghulu. Sebaliknya pihak
menerima (Si Nereh) juga memberikan sesuatu kepada kedua mempelai. Menurut
adat, penyerahan dilakukan oleh Senina (orang tua wanita) menyerahkan berupa
kain kawin (Uis
Sereh), emas perhiasan, dan
menyerahkan modal rumah tangga berupa alat dapur kepada kedua mempelai.
Setelah selesai
upacara penyerahan adat
itu, diakhiri dengan
upacara Mejuah-juah
(Selamatan), sambil menaburkan
beras agar kedua
mempelai selamat dalam menempuh hidup baru. Untuk acara selanjutnnya
diteruskan acara makan bersama, ini dilakukan oleh pihak laki-laki. Pada saat
mukul ini diadakan jamuan makan bersama dalam satu piring berisi makanan, nasi,
telor, gulai, dan ayam yang masih utuh (masak). Acara makan dalam satu piring
ini merupakan suatu sumpah untuk hidup bersama dan saling setia untuk
selama-lamanya, ini melambangkan persatuan dan kesatuan dalam perkawinan.
Upacara ini dihadiri oleh keluarga terdekat
dari kedua belah
pihak yaitu: Anak
Beru, Kalimbubu, Senina, dan
Aron. Setelah berakhirnya
upacara ini maka
sah lah perkawinan mereka dan sah pula sebagai suami
istri.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa,
sah nya suatu
perkawinan menurut Hukum Adat Hindu apabila telah memenuhi tiga syarat
yang disebut Tri Upa Saksi, yaitu saksi kepada keluarga, masyarakat
(pemerintah), dan saksi kepada Dewa/Tuhan. Saksi kepada keluarga akan terlihat
pada waktu upacara Maba Manuk yang
hanya dihadiri oleh
beberapa keluarga yang
terdekat. Sedangkan saksi kepada
masyarakat akan nampak
pada acara kerja
Erdemu Bayu yang dihadiri
oleh kepala desa,
kaum kerabat dan
masyarakat lainnya. Yang terakhir
saksi kepada Dewa atau Tuhan akan dijumpai pada waktu upacara Mukul, di mana kedua
belah pihak mempelai makan berdua dalam satu piring dengan mengucapkan
sumpahnya kepada Tuhan
di mana akan
berjanji dan bersumpah akan hidup
bersama untuk selama-lamanya.
f. Sesudah Perkawinan
Upacara terakhir
menurut Adat Karo
yang beragama Hindu
adalah Nguluhken Limbas yang sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai
(kangen). Ini dilaksanakan di rumah orang tua wanita sarana yang di persiapkan,
yaitu ayam 2 ekor, beras secukupnya, kelapa segandeng, sayur-sayuran
secukupnya, sirih seperangkat, dan tabung. Proses pelaksananya adalah dengan
menyodorkan sirih kepada hadirin pihak Sineren (mempelai wanita). Selanjutnya
acara makan bersama karena mereka telah sah menjadi suami istri yang sebentar lagi
membuat rumah tangga yang baru. Pada umunya laki-laki dan wanita Batak Karo
yang sudah kawin, kedua penganten itu tidak lama hidup atau tinggal bersama
orang tua laki-laki. Mereka akan berdiri sendiri berpisah dari rumah tangga
orang tuannya. Tindakan mereka yang
dilakukan dengan memisahkan
diri dari orang
tua pihak lelaki
disebut dengan istilah ”Penyanyon atau Njoyo“. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Dengan
perkawinan yang berlaku di Sumatra khususnya yang beragama Hindu adalah sistem
meminang.
2. Perkawinan
yang dianggap ideal dalam masyarakat Batak Karo adalah perkawinan orang-orang
Rimpal, yakni di
mana seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara
laki-laki ibunya.
3. Dalam menyelesaikan
segala kegiatan adat,
maka Anak Beru, Kalimbubu dan Senina ini harus ada
(Sangkep Sitelu atau Rakut Sitelu) dan ketiga ini mempunyai tugas dan fungsi
yang berbeda-beda.
4. Dalam
pelaksanaan pesta perkawinan, itu disesuaikan dengan keadaan misalnya, bagi
yang mampu dapat melaksanakan upacara perkawinan dengan besar-besaran atau
tingkat utama (Kerja Sinita dalam bahasa karo).
Biasanya acara seperti ini
disertai dengan iringan gendang adat. Bagi umat yang perekonomiannya sedang
maka dapat melangsungkan
upacara dengan tingkat madya
atau menengah, sedangkan
bagi umat sedharma
yang tingkat perekonomiannya rendah
dapat melangsungkan upacara
perkawinan dengan kecil-kecilan yang
tidak mengurangi nilai
pokok dalam ajaran
agama, yaitu disesuaikkan dengan
Desa, Kala, dan Patra.
Komentar
Posting Komentar