Langsung ke konten utama

Menemukan Diri Sejati (Wayan Tantre Awiyane)

Kepada yang disucikan pinandita lanang istri

Kepada yang saya hormati sesepuh pini sepuh umat

Kepada yang saya banggakan umat sedharma sekalian.

Sebelumnya saya haturkan panganjali 

Om Swastyastu

Om Anubadrah Kratawoyantuwiswatah,



Umat sedharma yang berbahagia

Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya, Pada kesempatan yang baik ini saya akan menyampaikan pesan dharma, semoga pesan dharma ini dapat menambah wawasan dan tentunya bermanfaat bagi kita semua.

Pertama-tama marilah kita haturkan puja Asthungkare kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Ashungkerta waranugraha beliaulah  kita dapat berkumpul bersama-sama di pura Aditya Jaya Rawamangun yang suci ini dalam keadaan yang sehat, selamat, serta tanpa kekurangan suatu apapun. Yang kedua tidak lupa juga kita marilah haturkan puja Astuti bhakti kita kehadapan para leluhur, maha Rsi serta para guru yang telah membimbing kita hingga pada kesempatan ini.

Sebelumnya pada penyampaian pesan dharma ini saya tidak menggurui umat sedharma, melainkan saya menjadikan kesempatan ini untuk membagi pengetahuan yang saya pahami. Dalam kesempatan ini saya mengambil judul Menemukan Diri Sejati.

Agama Hindu merupakan agama yang tertua dengan ajaran-ajarannya yang bersumber dari Weda yang merupakan wahyu Hyang Widhi melalui para rsi, bila kita dapat mempelajari Weda secara mantap maka kita akan memperoleh kententraman dan kesejahteraan hidup yang sejati yang disebut dengan Moksartam jagadhita ya ca iti dharma.

Salah satu ajaran yang penting sebagai dasar bagi umat Hindu untuk melaksanakan aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang disebut dengan tattwa, susila dan acara. Ajaran ini merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat dipisahkan, persembahyangan purnama tilem merupakan bagian dari implementasi ajaran tri kerangka yang menjadi landasan terpenting yakni bidang tattwa, filosofi ketuhanan, dalam bidang susila etika dalam perprilaku serta dalam bidang ritual keagamaan atau acara.

Dalam kehidupan ini kita selalu diberikan kesehatan, keselamatan serta kesejahteraan. Sehingga sesuai dengan anugrah yang diberikan oleh Sang hyang widhi kita harus bersyukur atas apa yang telah kita dapatkan, salah satu caranya dengan melakukan persembahyang  pada saat hari purnama ini.

Bulan yang terang benderang kemudian berubah menjadi  gelap-gulita, itu disebut dengan gerhana bulan. Tanda -tanda alam seperti ini sering dihubung-hubungkan akan terjadinya peristiwa di bumi. Misalnya beberapa hari atau beberapa minggu di daerah tertentu terjadi bencana alam, wabah penyakit, keributan atau bentrok antar masa dan sebagainya. Untuk menggantisipasi hal tersebut, orang-orang yang bijaksana, orang-orang wikan, para sesepuh, para rohaniawan dan yang mengetahui seluk-beluk kejadian tanda-tanda alam, biasanya sepakat melakukan yoga semadhi dan mendoakan agar bumi ini terhindar dari bencana.

Melalui pesan dharma ini saya akan menyampaikan beberapa hal:

1.      Bagaimanakah makna hari bulan purnama?

2.      Bagaimanakah implementasi nilai-nilai purnama dalam  kehidupan?

 

Umat sedharma yang berbahagia

Purnama tilem merupakan salah satu hari suci yang diperingati 15 hari sekali oleh Umat Hindu, pada hari purnama bulan bersinar penuh Hari purnama merupakan saat beryoganya Bhatara Parameswara Sanghyang Purusangkara, disertai para dewa, bidadari-bidadari , turun kedunia untuk membersihkan diri dan menyucikan alam semesta beserta isinya.

Penyucian diri secara lahir dan batin dengan pemujaan dan persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa, Leluhur serta menyampaikan rasa terimakasih kita kepada unsur kekuatan alam yang telah membantu dalam kehidupan kita, dengan mempersembahkan canang sari, banten pejati dan banten sejenisnya.

Kisah ini terjadi ketika para Raksasa dan para Dewa bekerja sama mengaduk lautan susu untuk mencari “ Tirtha Amertha “ atau Tirtha Kamandalu. Konon siapa saja yang meminum  Tirtha itu maka dia akan abadi  (tidak bisa mati ). Maka setelah tirtha itu didapatkan kemudian dibagi rata. Tugas untuk membagi Tirtha itu tidak lain adalah Dewa Wisnu yang menyamar menjadi gadis cantik, lemah gemulai.

Dalam kesepakatan diatur bahwa para Dewa duduk di barisan depan sedangkan para Raksasa di barisan belakang. Kemudian ada raksasa yang bernama “ Kala Rahu “ yang menyusup di barisan para Dewa, dengan cara merubah wujudnya menjadi Dewa. Namun penyamarannya ini segera diketahui oleh Dewa Chandra / Bulan. Maka ketika tiba giliran raksasa Kala Rahu mendapatkan “ Tirtha Keabadian “.

Disitulah Dewa Candra berteriak “ Dia bukan Dewa, dia adalah raksasa Kala Rahu “ namun sayang Tirtha tersebut sudah terlanjur diminum. Maka tak ayal lagi Cakra Dewa Wisnu menebas leher Sang Kala Rahu. Tetapi karena lehernya sudah tersentuh oleh Tirtha Keabadian sehingga tidak bisa mati, wajahnya tetap abadi  dan melayang-layang di angkasa, sedangkan tubuhnya mati karena belum sempat tersentuh oleh Tirtha Kamandalu.

Sejak saat itu dendamnya terhadap Dewa Bulan tak pernah putus-putus. Dia selalu mengincar dan menelan Dewa Chandra pada waktu Purnama. Tapi karena tubuhnya tidak ada maka sang rembulan muncul kembali ke permukaan. Begitulah setiap Sang Kala Rahu menelan Dewa Bulan, terjadilah gerhana.

Umat sedharma yang mulia

Makna yang terkandung dalam mitologi tersebut adalah jika seseorang belum bisa melepaskan sifat-sifat keraksaannya maka dia belum boleh mendapatkan keabadiaan. Sang Kala Rahu yang tidak sabar menunggu giliran akhirnya kehilangan tubuhnya. Sedangkan Dewa Chandra yang menjadi sasaran kemarahan sang Kala Rahu harus menanggung akibatnya. Dimana jika terjadi gerhana, maka dunia akan mengalami bencana atau musibah.

Dalam ajaran Hindu disebutkan bahwa musuh yang paling berbahaya berada dalam diri manusia yang terletak dalam hatinya. Musuh ini tidak terlihat tetapi mampu mendatangkan bahaya besar seperti perkelahian bahkan perang antar manusia pun dapat terjadi. Musuh itu tidak dapat dibunuh, namun musuh itu dapat dikendalikan. Apabila manusia mampu menguasai dan mengendalikan sadripu itu, maka mereka akan hidup damai dan bahagia. sebaliknya jika sadripu itu dibiarkan mengendalikan dan menguasai dirinya, maka malapetaka akan terjadi, musuh-musuh yang termasuk sadripu yakni: Kama, Loba, Kroda, Mada, Moha dan Matsarya.

Implementasi bulan purnama dalam kehidupan dengan melaksanakan persembhyangan purnama itu merupakan bentuk bhati kita kepada Hyang widhi sebagai penguasa alam semesta beserta isinya, kita diharapkan mampu mengendalikan sad dripu yang ada dalam diri kita, Selain persembahan bakti kepada tuhan yang maha esa persembahyangan purnama tilem juga mengandung nilai-nilai pendidikan luhur yang mencakup beberapa aspek sosial seperti sosial religius, sosial budaya dan sosial ekonomi dijelaskan sebagai berikut:

1.      Sosial religius adalah nilai keagamaan yang mengutamakan keyakinan kita kepada Hyang widhi, memantapkan sradha atau 5 kepercayaan yang disebut dengan panca sradha yakni percaya dan yakin terhadap adanya Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan untuk mencapai Moksa dalam melaksanakan bakti.

2.      Sosial budaya itu berlandasakan agama itu sendiri, dengan demikian budaya itu erat kaitanya dengan desa, kala dan patra sebab sistem pelaksanaan agama, adat dan budaya selalu berlandaskan tradisi yang ada didesa setempat.  

3.      Sosial ekonomi itu pada intinya melaksanakan yajna dengan ketulus iklasan tanpa pamrih.

Umat sedharma yang penuh waranugraha

Dengan demikian dari penyampaian yang telah saya sampaikan tadi pada intinya adalah pemahaman agama yang kita pelajari dari proses belajar disekolah maupun dari alam itu dapat kita terapkan dalam kehidupan kita, tentunya selaras dengan apa yang telah tertulis dalam weda. Melalui kisah mitologi para dewa yang menegaskan bahwa kita harus mampu mengendalikan sadripu dalam diri kita agar malapetaka tidak terjadi pada kita. Apa yang telah dilakukan kala rahu sudah pasti salah maka oleh sebab itu dia pantas mendapat balasan dari perbuatannya.

 

 

Implementasi nilai purnama dalam kehidupan ini salah satunya ditegaskan dalam weda yakni:

Akamasya krya kacid drasyate neha karnicid,

yadyadhi karu te kimcit tattat kamasya cestinam.

 (Manawa Dharmasastra, II.4)

Terjemahannya:

Tidak ada satu perbuatan di dunia nampaknya dilaksanakan oleh seseorang itu bebas dari keinginan, karena apa pun yang dilakukan manusia adalah didorong oleh keinginan.

 

Begitulah penegasan dalam weda, sehingga mari kita bersama-sama melakukan apa yang kita mampu dengan lascarya keinginan yang baik, biarkan hyang widhi yang memberikan hasil yang sesuai dengan kerja kita. Itu sudah menjadi hukum alam.

Sekian dalam penyampaian pesan dharma ini, saya akhiri dengan parama santih.

Om santih,santih,santih Om

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peresmian dan Launching Rumah Produksi BPH: Tonggak Baru Penyiaran Hindu di Era Digital

 Jakarta, 15 Oktober 2024 – Badan Penyiaran Hindu (BPH) mencatat sejarah baru dengan meresmikan dan meluncurkan Rumah Produksi BPH, sebagai bagian dari upaya mengembangkan media penyiaran yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu. Kegiatan peresmian ini berlangsung khidmat di Jakarta Selatan, dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan pemangku kepentingan umat Hindu. Dokumentasi Acara Peresmian tersebut diawali dengan sambutan dari Dr. I Wayan Kantun Mandara, Ketua BPH dan juga tokoh terkemuka di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya keberadaan rumah produksi ini sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dharma melalui media yang inovatif. "Rumah Produksi BPH ini akan menjadi pusat bagi kita untuk menciptakan konten yang tidak hanya mendidik tetapi juga mampu menginspirasi umat Hindu dalam menjalankan nilai-nilai agama di tengah tantangan zaman modern," ujar Dr. I Wayan Kantun Mandara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sam

Karya Anugerah Mahottama Award 2024

Jakarta, 22 Oktober 2024. Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama Melaksanakan kegiatan Karya Anugerah Mahottama Award 2024. Dengan menghadirkan seluruh Pembimas di seluruh Indonesia, Para penyuluh Yang terdiri dari PNS, PPPK dan Penyuluh Agama Hindu Non PNS. Acara ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan penghargaan, tetapi juga sebagai motivasi bagi kita semua, khususnya umat Hindu, untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam bidang agama, budaya, pendidikan, dan sosial. Saya sangat bangga melihat semangat, kreativitas, dan komitmen yang ditunjukkan oleh para penerima penghargaan tahun ini. Dokumentasi Kegiatan Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan dalam menyelenggarakan acara ini. Keberhasilan acara Karya Anugerah Mahottama Award 2024 adalah hasil dari kerja sama dan sinergi yang luar biasa antara pemerintah, tokoh agama, dan seluruh umat Hindu. Kemudian Sekum Made Widiarta menyampaikan

Materi Tri Guna dalam Diri SMP Kelas VIII Agama Hindu

         (Dokumentasi Penyuluhan di Pura Aditya Jaya rawamangun) Manusia sejak lahir memiliki tiga sifat dasar. Ketiga sifat dasar manusia tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Sifat dasar manusia yang satu dengan yang lain selalu bergejolak untuk saling mengalahkan. Sifat dasar manusia tertuang dalam kitab-kitab suci agama Hindu.  Pustaka suci Bhagavad-gītā , XVIII.40 menyatakan bahwa:  na tad asti prthivyām vā divi devesu vā punah sattvam  prakrti-jair muktam yad ebhih syāt tribhir gunaih. Artinya: Tiada makhluk yang hidup, baik di sini maupun di kalangan para deva di susunan planet yang lebih tinggi, yang bebas dari tiga sifat tersebut yang dilahirkan dari alam material. Terjemahan sloka di atas, dapat dijelaskan bahwa, setiap makhluk hidup baik manusia maupun deva tidak ada yang luput dari tri guna. Hal ini disebabkan karena setiap makhluk yang terbentuk oleh unsur material dipengaruhi oleh Tri Guna. Pustaka suci Bhagavad-gītā XVIII.60 menyatakan ba