ASN dan Nilai-nilai Dharma Negara dalam Hindu

Gambar
        ASN adalah salah suatu pekerjaan yang didambakan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tak terkecuali generasi muda Hindu yang turut berpartisipasi dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Sehingga perlu untuk melampirkan tulisan ini sebagai bentuk syukur atas waranugraha dan kesempatan yang baik dalam melaksanakan karma dan bhakti sebagai manusia.        Dalam pandangan Hindu, konsep Dharma tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga memandang kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan administrasi negara. Dharma Negara, atau tata pemerintahan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika, menjadi landasan bagi ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Bagaimana pandangan Hindu menggambarkan ideal ASN sebagai penerapan nilai-nilai Dharma Negara?  (Dokumen Pribadi)           Dalam tradisi Hindu, Dharma mengacu pada kewajiban moral dan etika yang mengatur perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan. Dharma juga mencakup konsep tata tertib dan

MAKALAH PELAKSANAAN YADNYA DIZAMAN KALIYUGA

 

MAKALAH

PELAKSANAAN YADNYA DIZAMAN KALIYUGA

 (Tinjauan sosial keagamaan Hindu)

Dosen Pengempu

Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar:

Untung Suhardi S.Pd.H.,M.Fil.H.

Oleh:

Kelompok Hastinapura

I Dewa Ayu Sri

Sri Yoko

Ni Putu Citra Nasih

Wayan Tantre Awiyane

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA

JAKARTA 2014/2015

Jl. Daksinapati No.10 Rawamangun Jakarta Timur13220

KATA PENGANTAR

Om swastyastu

 

Segala puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa.Diantara sekian banyak nikmat Tuhan yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Dalam proses penyusunan tugas ini penulisan menjumpai hambatan, namun berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikanya tugas ini.

Segala sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal yang benar datangnya hanya dari agama berkat adanya Sradha dari Sang Hyang Widhi, meski begitu tentu tugas ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan penulis semoga tugas ini bermanfaat Khususnya bagi pembaca lain pada umumnya.

Om santih, santih, santih om

 

 

Jakarta, 5 Desember 2014

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………

2

Daftar isi…………………………………………………………………………………….

3

BAB I PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………..

4

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..

5

1.3 Tujuan…..…………………………………………………………………………….

5

1.4  Manfaat……………………………………………………………………………..

5

BAB II PEMBAHASAN

 

2.1 Pelaksanaan yadnya …………………………………………….....................................

6

2.2 .1 Panca yadnya…………………………………………………………………….

7

2.2.2 Tri rna………………..…………………………………………………………...

8

2.2.3 Dasar yadnya……………………………………………………..........................

2.2 Kualitas yadnya………………………………………………………………………….

8

10

2.3 Pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari……………………............................

11

2.3.1 Upacara perkawinan…………………………………………………………………..

15

2.3.2 Cara perkawinan………………………………………………………………………

16

2.3.3 Hakikat wiwaha……………………………………………………………………….

18

2.3.4 Syarat-syarat wiwaha………………………………………………………………….

19

2.3.5 Tujuan wiwaha………………………………………………………………………..

19

2.3.6 Tata upacara…………………………………………………………...........................

18

BAB III PENUTUP

 

3.1 KESIMPULAN

23

3.2 SARAN

23

DAFTAR PUSTAKA

24

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Yadnya dalam ajaran agama Hindu merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu dalam kehidupanya sehari-hari.Sebab Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya melalui yadnya. Tanpa Yadnya oleh Sang Hyang Widhi maka alam semesta beserta segala isinya tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai manusia wajib memelihara dan mengembangkan alam semesta ini.Kita dapat melaksanakan yadnya kepada Sang Hyang Widhi secara tulus ikhlas agar selalu diberikan waranugraha agar alam semesta ini tetap terjaga.

Yadnya dalam agama Hindu merupakan bagian yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas agama.Bahkan yadnya merupakan unsur yang sangat penting, bagaikan kulit telor yang membungkus bagian dalamnya yang merupan inti dari telor itu sendiri, seperti itulah yadnya dengan upacara dan upakaranya merupakan kulit luar yang tampak dan dilaksanakan dalam kehidupan keagamaan sehari-hari. Yadnya tidak hanya menandakan identitas keagamaan, tetapi lebih dari pada itu yadnya merupakan penjewantahan  ajaran Agama Hindu itu sendiri.

(Dok. Dharmawacana di Balinuraga)


Demikianlah yadnya merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini.Tuhan telah menciptakan manusia dengan yadnya.Dengan yadnyalah menusia mengembang dan memelihara kehidupanya, seperti yang dikutip dari Bhagawad Gita III.10.keiklasan dan ketulusan diri adalah dasar yang utama dalam pelaksanaan suatu yadnya. Kesucian diri dicerminkan dalam hidup yang benar memiliki kesiapan rohani dan jasmani seperti mantapnya sradha, rasa bhakti, keimanan dan kesucian hati, yaitu kehidupan yang sesuai ketentuan dengan moral dan spiritual (Ngurah, 2006:146).

 

 

 

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkanlatar belakang di atas maka ada beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu:

1.      Bagaimana  proses pelaksanaan yadnya?

2.      Bagaimana dasar pelaksanan yadya?

3.      Bagaimana kualitas yadnya?

 

1.3    Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:

1.      Untuk mengetahui proses pelaksanaan yadnya

2.      Untuk mengetahui dasar pelaksanaan yadnya

3.      Untuk mengetahui kualitas yadnya

 

1.4    Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Bagi Mahasiswa : mahasiswa menjadi tahu apa itu wiwaha atau perkawinan. Perlunya wiwaha bagi manusia normal dan kapan waktu

yang tepat melakukan pernikahan.

2.      Bagi masyarakat : masyarakat menjadi lebih tahu dan mengerti apa itu

wiwaha, sehingga lebih memeperhatikan anak dengan bimbingannya dalam hal pergaulan dan penanaman nilai – nilai agama sejak dini

3.      Bagi kehidupan : dengan adanya tulisan ini diharapkan kehidupan bermasyarakat khususnya yang menyangkut pawiwahan menjadi lebih harmonis yaitu sejalan dengan ajaran agama hindu.

 

 

 Video tentang Yajna dalam Ramayana

https://youtu.be/wtcghIJu8mE

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Yadnya

Bukan hanya dalam bentuk upacara yadnya dengan menggunakan persembahan berupa banten / upakara saja, melainkan Yadnya dapat dilaksanakan dalam bentuk yang beragam karena yadnya itu merupakan segala bentuk kegiatan atau pengorbanan yang dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan pamrih.Sehingga dengan demikian, yadnya dapat dilakukan dalam bentuk yang bermacam-macam.Ada yadnya yang dilaksanakan dalam bentuk persembahan dengan menggunakan sarana berupa banten / sesajen, dalam bentuk pengorbanan diri yaitu pengendalian diri, mengorbankan segala aktivitas, mengorbankan harta benda dan pengorbanan dalam bentuk ilmu pengetahuan. Bentuk yadnya ini diuraikan / dijelaskan secara tegas dalam kitab Bhagavadgita IV.28 yang isinya adalah sebagai berikut: 
“Dravya-yajnana tapo yadnya yoga-yajna tathapare svadhyaya-jnana-yajnas ca yatayah samsita-vratah”

Terjemahannya:

“Setelah bersumpah dengan tegas, beberapa diantara mereka dibebaskan dari kebodohan dengan cara mengorbankan harta bendanya. Sedangkan orang lain dengan melakukan pertapaan yang keras, dengan berlatih yoga kebathinan terdiri atas delapan bagian, atau dengan mempelajari Veda untuk maju dalam pengetahuan suci”. (http://rah toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html 18.24).

Selanjutnya dijelaskan tentang bentuk pelaksanaan Yajna dalam kitab Bhagavadgita IV.II yang isinya adalah sebagai berikut:

“Ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham Mama vartmanuvartante manisyah partha sarvasah”

 

Terjemahannya:

“Sejauh mana orang menyerahkan diri kepada-Ku, aku menganugrahi mereka sesuai dengan penyerahan dirinya itu, semua orang menempuh jalan-Ku,

dalam segala hal, Wahai putra Partha”.

(http://rah toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html 18.24).

Sangat jelas dari kedua sloka tersebut telah dinyatakan bahwa Tuhan akan menerima umatnya melalui Yadnya yang dilakukan yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh umat. Seperti dengan melakukan penyerahan diri pada Tuhan, Tapa dan persembahan yang tulus dan ikhlas.(http://rah toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html 18.24).

    2.1.1 Panca Yadnya

Panca Yadnya adalah: Panca artinya lima dan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa.Lima jenis korban suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :

1.        Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas yang di tujukan kepada Tuhan dengan segala manifestasiny.

2.        Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam, demi kebaikan dan keharmonisan mahluk/roh yang lebih rendah dari manusiadasn juga demi kelestarian lingkungan.

3.        Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.

4.        Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal atau demi kebahagiaan Bhatara/ leluhurdan orang tua.

5.        Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu. (Adiputra, Gede: 100)

 

 

     2.1.2 Tri Rna

Kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar sehubungan dengan keberadaan kita. dalam tulisan Adiputra. (2000: 95)

Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.

1.    Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasa hidup.

2.    Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya selama ini.

Hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan dengan Panca Yadnya.adapun cara pembayaran tersebut adalah:

a.       Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.

b.      Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

c.       Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya. ( Adiputra, Gede: 95)

  2.1.3  Dasar Yadnya

Pelaksanaan yadnya tidak hanya begitu saja dilaksanakan oleh umat Hindu.Akan tetapi yadnya yang dilaksanakan sesungguhnya memiliki dasar yang kuat baik yang berupa sabda suci tuhan maupun ajaran smerti.

Yadnya dapat juga diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi,berbuat kebajikan, member dan penyerahan tulus iklas berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan, kesempurnaan hidup bersama, dan kemaha muliaan Hyang Widhi. Itu berarti bahwa yajna mengandung nilai-nilai:

1.      Rasa tulus iklas dan kesucian;

2.      Rasa bakti dan memuja Hyang Widhi, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara bangsa, dan kemanusiaan;

3.      Pelaksanaannya dilaksanakan sesuai dengan kemampuan masing-masingmenurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra);

4.      Suatu ajaran dari catur weda sebagai sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran abadi.

Yang menjadi pokok dasar dilaksanakannya yadnya adalah sesuai dengan sastra suci veda yang merupakan wahyu Tuhan. Adapun weda yang memuat adanya pelaksanaan yadnya adalah padaRg.veda X.90 yang kemudian ditegaskan pada kitab upanisad dan diperjelas lagi dalam Bhagawadgita serta diajarkan dalam beberapa susastra Hindu lainnya.

Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa “alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dg yadnya dewa memelihara manusia & dg yadnya manusia memelihara Dewa”.Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.Selanjutnya para dewa yang merupakan sinar suci dari Tuhan pun memelihara kehidupan dialam semesta ini dengan yadnya, sehingga dengan demikian manusia pun harus melaksanakan yadnya untuk memelihara dewa.

Adanya hubungan timbal balik antara manusia dan dewa serta dengan terjaganya saling memelihara ini akan menciptakan kebahagiaan bagi semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam  gita III.11 yang isinya adalah “Dengan melakukan ini engkau memelihara kelangsungan para dewa, semoga para dewata juga memberkahimu, dengan saling menghormati seperti itu,engkau akn mencapai kebajikan tertinggi.”. Ketika hubungan timbal balik ini tidak dilaksanakan niscaya alam semesta ini akan hancur. Kita tahu bahwa Tuhan melingkupi serta menyusupi semua yang ada, jadi ketika kita tidak bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam yang notabene adalah bagian dari kemahakuasaan Tuhan akan menimbulkan kesengsaraan. Misalnya saja kita tidak menghormati lingkungan maka pastinya alam pun akan tidak bersahabat dengan manusia itu sendiri.

2.2 Kualitas yadyna

            Menurut BG XVII, 11, 12, dan 13 menyebutkan ada tiga tingkatan yadnya dilihat dari segi kualitasnya. Tiga yajna itu antara lain:

1. Satwika yajna : yaitu yajna yang dilakukan sesuai dengan kitab-kitab suci,oleh mereka yang tidak mengharapkan ganjaran dan sangat percaya bahwa itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan, merupakan yajna sattvika. Dapat diartikan yadnya yang dilaksanakan dasar utama Sradha Bakti, Lascarya, dan semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk yadnya yang dilakukan seperti, persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bakti dan tanpa pamrih maka tergolong Satwika Yadnya. Yadnya dalam bentuk persembahan /upakara akan sangat mulia dan termasuk Satwika jika sesuai dengan sastra agama, daksina, mantra, annasewa, dan Nasmita.

2. Tamasikayajna: yajna yang dilakukan dengan mengharapkan ganjaran atau hasil semata-mata untuk kemegahan.Tamasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan tanpa sastra, tanpa punia, tanpa mantra dan tanpakeyakinan. Ini adalah kelompok orang yang beryadnya tanpa arah tujuan yang jelas, hanya ikut=ikutan. Contoh orang-orang yang tergolong tamasika yadnya antara lain orang yang pergi sembahyangkepura hanya ikut-ikutan, malu tidak kepura karena semua tetangga pergi kepura, orang gotong-royong di pura atau di tempat umum juga ikut-ikutan tanpa menyadari manfaatnya. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang beryadnya karena terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa memberikan punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa puasa karena orang-orang berpuasa. Jadi apapun yang dilaksanakannya adalah sia-sia.

3. Rajasikayajna: yajna yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan), makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra, sedekah dan keyakinan. Yadnya ini dilakukan dengan motif pamrih serta pamer kemewahan, pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar dirinya dianggap dermawan. Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah panjang lebar dan berapi-api dengan maksud agar dianggap pintar, semua yadnya dengan motif diatas tergolong rajasika yadnya. Seorang yang melakukan tapa, puasa tetapi dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan, kesaktian fisik, atau agar dianggap sebagai orang suci juga tergolong yadnya rajasika. Jadi yadnya terbagi atas tiga bagian berdasarkan kualitasnya, kita bsa memilih yadnya yang akan kita laksanakan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. (Maswinara, 2008:447-449)

2.3  Pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari

Dalam jaman kali yuga ini, banyak sekali upacara yadnya yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah  manusa yadnya. Manusa yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia. Selama masih dalam lingkaran karma-punarbawa, mati dan hidup, semasih dalam kandungan, lahir, menjadi besar, akil balig, menikah, kemudian bekerja dan hingga meninggalkan hidup ini, umat mempunyai berbagai kewajiban (rna) kepada Widhi, leluhur, keluarga, masyarakat dan semua yang berjasa ikut menghidupi, memelihara dan membesarkannya.

Dengan demikian selama masih hidup, manusia itu hendaknya menghaturkan sesuatu kepada beliau dengan jalan manusa yadnya, yaitu:

1.      Ketika bayi sudah berumur lima bulan dalam kandungan ibunya, diadakan upacara megedong-gedongan. Upacara ini dilakukan untuk penyucian bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya. Upacara ini merupakan tradisi adat-istiadat yang terus dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali. Upacara ini dilakukan kerena wujud bayi sudah dianggap sempurna/lengkap pada usi itu. Disisi lain untuk memperkuat posisi bayidi dalam kandungan agar tidak terjadi keguguran, lalu secara jasmani upacara megedong-gedongan ini dilakukan, agar sang bayi menjadi kuat pada saat dilahirkan dan kelak menjadi orang yang berbudi luhur, berbakti kepada orang tua, bergna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa, sedangkan untuk ibunya sendiri sebagai do permohonan keselamatan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar si ibu sehat, selamat pada waktu melakukan persalinan/melahirkan. Kata megedong-gedongan berasal dari kata

Gendongan yang bermakna kandungan. Dalam melaksankan upacara ini menggunakan filsafat agama Hindu dengan cara perhitungan dengan angka Samkhya yaitu dari angka 210 menjadi hitungan 2+1=3 yang artinya Tri Angga yaitu Suksma Sarira, Antakarana, Stula sariradihari itu ketiga unsur telah menyatu menjadi bayi dan saatnya untuk penyucian dan berharap roh yang akan berinkarnasi betul betul roh yang suci. Sementara untuk ibunya sendiri dengan diadakannya upacara ini, bertujuan mendapatkan dukungan kejiwaan seperti merasa aman, ketenagan juga merasa mendapatkankasih sayang dan perhatian dari pihak keluarga, karena ibu yang hamil belum mempunyai pengalaman dalam hal melahirkan. Oleh sebab itu sehari sebelum upacara ini dilaksanakan dharma Tula yaitu pemberian nasehat bahwa melahirkan itu adalah kodrat sebagai seorang ibu, juga disarankan untuk membaca buku ilmu pengetahuan, buku agama dan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi, mengindari diri dari pengelihatan dan pendengaran yang bersifat negatif/buruk, karena itu semua dapat mempengaruhi kehidupan bayi dikemudian hari.

2.      Ketika bayi baru lahir, upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya. Setelah 9 bulan, dalam kandungan ibunya ketika plasentanya terlepas (kepus pungsed), sekitar 12 hari setelah lahir.

3.      Kemudian umur 35 hari + 7 hari (= 42 hari), disebut abulan pitung dina atau satu bulan tujuh hari. Setelah bayi itu diupacarai, secara spiritual sang bayi dianggap sudah bersih. Ia boleh diajak kepura dan dapat dibopong oleh sulinggih. Upacara TutugKambuhan ini bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan atau Sanggahkemulan (tempat suci keluarga). Upacara TutugSambutan(upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara TutugKambuhan. Pada upacara ini nama Bayi disahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga. Upacara mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan rambut pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut dibiarkan menjadi (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara mepetik ini adalah rangkaian dari upacara TutugSambutan yang pelaksanaannya berupa satu paket dengan upacara TutugSambutan.

4.      Kemudian umur 210 hari (35 x 6) diadakan yadnya ngotonin. Tujuannya, disamping memohon keselamatan dan kesehatannya. Ia juga dibantu untuk menyentuh tanah dengan kakinya dan mengambil apa saja (cincin, uang logam, atau lainnya) yang direndam dalam air kumkuman didalam pane, yang ditaruh didalam kurungan bambu. Maksud menyentuh tanah dengan kakinya ialah, sejak itu ia boleh berjalan ditanah dan secara spiritual ia sudah memohon izin dari Sang Hyang Ibu Pertiwi berjalan di atas tanah kemana saja ia mau (disebut ngeteg tanah). Maksudnya mengambil sesuatu didalam pane tadi ialah agar ia memperoleh rejeki di masa – masa yang akan datang. Yadnya otonan ini sebaiknya dilakukan setiap 210 hari, agar ia tetap sehat dibawah lindungan Widhi.

5.      Kemudian menjadi dewasa (akil balig), disebut “menek kelih” yang berlaku bagi wanita dan laki-laki. Upacara ini bermakna puji syukur, memohon keselamatan kehadapan Hyang Semara Ratih dalam manifestasinya Hyang Widhi agar dituntun dan diberikan jalan yang baik dan benar juga di jauhkan dari hal hal yang menyesatkan, upacara ini wajib dilaksanakan oleh orang tua. Upacara ini dilaksanakan pada saat anak mulai beranjak dewasa atau akil baliq, kira-kira berumur 14 tahun, menek kelih sering disebut juga Ngeraja dan dalam bahasa Indonesia artinya menginjak remaja, untuk laki-laki disebut Ngeraja Singa/Menek Teruna sedangkan untuk perempuan dinamakan Ngeraja Sewala/Menek Taruni/Bajang/Dahe.Adanya perubahan secara biologi mempengaruhi perkembangan lahir maupun bathin mereka, maka dengan itulah diadakan upacara Menek Kelihini yang mempunyai hakekat agar mereka lebih mengerti arti dari kedewasaan baik jiwa maupun fikiran. Upacara ini bisa dilaksanakan di rumah dan dipimpin oleh seorang pendeta atau yang tertua dalam lingkungan keluarga. Upacara ini dilakukan setelah selesai datang bulan atau menstruasi pertama atau dapat pula dicarikan hari baiknya. Upacara ini dapat dilakukan secara massal dalam lingkup  Dadia, Banjar, Desa, atau Campuran ketiganya. Adapun manfaat upacara massal ini adalah:

a) untuk menghemat biaya

b) untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan

c) untuk menumbuhkan rasa persatuan-kesatuan dan gorong-royong sesama warga masyarakat

Tabel Banten Upacara:

Wanita

Pria

1.Banten pabyakala

1. Banten Sesayut ngraja singa

2.Banten Prayascite

2.  Banten Pededarian

3.Banten Dapetan

 

4. Banten Sesayut

 

 

 

6.      Selanjutnya upacara mapendes atau potong gigi, mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mapendes bisa juga disebut Metatah atau Mesangih, dimana 6 buah taring yang ada dideretan gigi atas dikikir atau diratakan, uoacara ini merupakan suatu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.

7.      Akhirnya pawiwahan atau perkawinan.

Jadi dalam setiap tingkatan umur si anak diupacarai.Tujuannya ialah agar iasenantiasa dibawah lindungan Sang Hyang Widhi Wasatujuan lainnya adalah untuk menyucikandiri lahir bathin (pamari sudha raga) dan memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju kebahagiaan baik di dunia maupun di alam niskala.(Jelantik 2009: 48).

2.3.1        Upacara perkawinan

Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian baik kehadapan Sang Hyang Widhiataupun kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan meningkatkan diri sebagai suami-istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung-jawab mereka bersama.

Disamping itu secara rohaniah upacara tersebut merupakan pembersihan terhadap diri kedua mempelai, terutama “sukla-swanita” yaitu “kama-jaya”, adalah bibit dari orang laki dan “kama-ratih” adalah bibit dari perempuan. Pembersihan ini diharapkan agar kedua bibit itu bebas dari pengaruh-pengaruh buruk, sehingga bila keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuk suatu janin “manik” yang suci. Dengan demikian diharapkan “roh” yang akan menjiwai yang akan menjelma adalan Roh yang baik., kemudian akan lahi anak yang baik pula.

Lain dari itu dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu beseta ajaran-ajarannya sebagai pegangan di dalam membina rumah tangganya. Menurut Agama Hindu, perkawinan (dengan pengharapan agar memperoleh anak), merupakan suatu jalan untuk meringankan, melepaskan derita orang tua (leluhur) terutama setelah meninggal. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam ceritera betapa Sang Jaratkaru harus melepaskan tapa-beratanya (nyukla-Brahmacari) yang akhinya kawin agar memperoleh anak, demi melepaskan ayahnda-nya dari gantungan bambu petung di neraka.

Selanjutnya menurut beberapa sumber seperti lontar kuno-dresti, Eka-pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa pembuahan yang terjadi (pertemuan kamajaya dan kamaratih) dengan tidak didahului oleh suatu upacara-upacara pekala-kalaan dianggap kurang baik, disebut “kama keparagan”, dan anak yang lahi disebut “dia-diu” atau “bebinjat” (bibijaat), menyebabkan cuntaka pada dirinya sendiri, keluarga dan desa tempat tinggalnya. Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara “ngerorod” (lari), sehingga kemungkinan sekali segala upacara-upacara akan tertunda sampai gtercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Terjadinya pembuahan dalam hal ini kiranya tidak dapat dianggap sebagai “kama keparagan”, karena segala perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadran dan penuh rasa tanggung jawab atas akibatnya.

2.3.2        Cara Perkawinan

Menurut Mawana Dharmacastra, ada delapan cara perkawinan (vivaha), walaupun beberapa diantaranya dianggap kurang baik dilaksanakan.

1.        Brahma vivaha, adalah perkawinan yang dilakukan dengan jalan memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dianggap berbudi luhur dan berpendidikan  tinggi.

2.        Daiwa vivaha,adalah perkawinan yang dilakukan dengan jalan yang memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dianggap telah berjasa dan berbuat kebaikan.

3.        Arsha vivaha, adalah perkawinan yang terjadi karena suka sama suka, baik dari pihak keluarga si gadis, maupun pihak keluarga si pria dan kedua calon mempelai.

4.        Prajapatya vivaha, adalah perkawinan dimana pihak/orang tua si gadis melepas anaknya untuk dikawinkan kepada pria yang telah disetujui dan disertai dengan doa: semoga kamu berdua melakukan dharma-mu bersama-sama; hal ini juga berarti untuk menunjukkan penghargaan kepada si pria yang akan menjadi suaminya.

5.        Asura vivaha, adalah suatu perkawinan dimana pihak pria harus memberikan sejumlah uang kepada pihak/orang tua si gadis.

6.        Ganddharwa vivaha, adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan atas dasar cinta sama cinta antara si gadis dengan si pria, tetapi pihak orang tua tidak ikut campur, walaupun mungkin mengetahuinya.

7.        Raksasa vivaha, adalah suatu perkawinan yang dilakukan dengan paksa, walau si wanita menangis menjerit-jerit, dan mungkin pula akan terjadi pekelahian-perkelahian dengan pihak si gadis. (di Bali dikenal dengan istilah melegandang).

8.        Paisaca vivaha, adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan tipu-muslihat, misalnya dengan jalan memabukkan si gadis, sedang tidur dan sebagainya.

Dari kedelapan bentuk perkawinan itu yang dianggap kurang baik adalah Asura

vivaha, Paisaca vivaha, Ganddharwa vivaha, dan Raksasa vivaha, dan dua dari bentukitu yaitu Asura dan Paisaca, dianggap tidak boleh dilakukan.Namun pada kenyataannya pada zaman yang kita hadapi bersama ini, perkawinan yang sering terjadi adalah Ganddharwa Wiwaha. Dimana perkawinan yang dilaksanakan atas dasar nafsu, bahkan yang terjadi adalah married by accident (hamil terlebih dahulu) atau wanita mengalamai “kecelakaan”. Biasanya keluarga wanita menuntut laki-laki yang telah menghamilinya tersebut untuk menikahinya. Atau keeluarga wanita nekat mencari laki-laki yang bersedia menikahi wanita tersebut dan sekaligus menjadi ayah biologis dari bayi yang telah dikandung.Salah satu faktor penyebab hal tersebut adalah, maraknya aktfitas seks para remaja yang baru menginjak dewasa, dimana peran orang tua pada situasi sangat diperlukan guna membantu dalam mendidik mental anaknya. Dalam pandangan hindu, sudah jelas sekali banyak kitab suci yang menjelaskan bahwa hubungan seks akan dianggap suci jika dilakukan setelah uoacara pernikahan.

            Akibatnya, anak yang terlahir tanoa upacara pawiwahan menyebabkan si ibu dan rumah yang ditempatinya akan cuntaka sampai ada yang mengangkat  dengan upacara tertentu. Namun jika hamil diluar nikah ini sudah terjadi, maka bisa dilanjutkan dengan upacara pernikahan dan setelah anak tersebut lahir sebaiknya dilaksanakan upacara meperas bersamaan dengan upacara tiga bulanan.

Demikianlah hendaknya diusahkan untuk menempuh cara-cara perkawinan yang baik dan terpuji, karena dari perkawinan yang terpuji, akan lahir putra-putri yang terpuji pula, dan dari perkawinan yang tercela akan lahir putra-putri yang tercela pula.

2.3.3        Hakekat Wiwaha

Perkawinan menurut hindu adalah “Yadnya” sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menjadi grahasta asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaanya. Didalam grahasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan yaitu memenuhi :

1.      Dharma

Dharma yang dimaksud adalah aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada dharma agama dan dharma Negara

2.      Artha

Segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga merupakan material dan pengetahuan.

3.      Kama

Rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga.

Dengan demikian keluarga hindu harus mampu hidup dalam kesadaran sujud pada Tuhan, bebas dari kegelapan, selalu giat bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tentram, harmonis dan damai.

 

2.3.4        Syarat – Syarat Wiwaha

Menurut ajaran agama hindu syah atau tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidaknya persyaratan yang ada dalam ajaran agama. Suatu perkawinan dianggap syah menurut hindu adalah sebagai berikut :

  1. Perkawinan syah bila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
  2.  Untuk mengesahkan perkawinanmenuruthindu harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan/pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
  3.  Perkawinan syah bila kedua calon mempelai menganut agama hindu.
  4. Berdasarkan tradisi yang berlaku dibali, perkawinan syah bila telah melaksanakan upacara byakala/byakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
  5. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
  6. Tidak ada kelainan seperti tidak banci, tidak sakit jiwa atau calon mempelai harus sehat jasmani dan rohani.
  7. Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun.
  8.  Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat atau spinda.

 

Bila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas, maka perkawinan tersebut tidaklah syah.Yang tidak kalah penting agar perkawinan itu dianggap syah dan kukuh, maka harus dibuatkan “akta perkawinan” sesuai dengan undang – undang yang berlaku.

 

2.3.5        Tujuan Wiwaha

Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, sesuatu yang mulia seperti yang dijelaskan dalma kitab Manawa Dharma Sastra, yaitu: wiwaha bersifat sakral, yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai sesuatu kewajiban di dalam hidupnya.

Wiwaha tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh orang lain. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya ketegengan setelah menjalani grahasta atau berumah tangga.Menurut kitab Manu Smrti, perkawinan bersifat religius dan obligor karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang putra. “Kata putra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti ”Ia yang menyeberangkan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka”

Jadi tujuan utama wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang suputra yaitu anak yang hormat kepada orang tua, cinta kasih terhadap sesama dan bakti kepada Tuhan.Lebih jauh dijelaskan dalam kitam Manawa Dharma Sastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan erat dengan agama Hindu.

Oleh karena itu, semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat hindu. Dalam upacara wiwaha samskara(upacara perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara manusa yadnya, yang harus dilaksankan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan unruk membayar hutang-hutang kepada orang tua/leluhur, maka disamakan dengan dharma.Wiwaha samskara diabadikan berdasarkan weda, karena itu merupakan salah satu sarira samsakra atau penyucian diri melalui perkawianan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharma Sastra menjelaskan

Bahwa : untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan pria oleh tuhan, dan karena itu weda akan diabadikan oleh dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami-istri.

Dari pemaparan diatas jelas kiranya bagi para pembaca/ pendengar menentukan saat yang tepat melaksanakan wiwaha.Wiwaha jangan menjadi hal yang gampangan, wiwaha dilaksanakan jika ada hal yang dianggap aib (karena hamil diluar nikah).Disinilah dituntut peran aktif orang tua dalam mendidik anak menanamkan etika dan nilai agama.Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan sex sejak dini secara fulgar namun kearah yang benar melalui diskusi-diskusi saat santai atau cerita-cerita dimasyarakat. Kurangnya perhatian orang tua apalagi ditambah dengan tipisnya pemahaman keagamaan makin mendorong anak-anak tidak tahu mana yang baik dan tidak boleh dilakukan bertindak yang tidak diinginkan, anak tidak bisa mengontrol diri, tidak siapnya mental dan materi dalam menjalani jenjang grahasta/wiwaha akan membuat suatu perkawinan mudah hancur atau tidak harmonis.

 

2.3.6        Tata upacara

a.                  Dalam tingkatan upacara yang kecil

Upacara dapat dilakukan di Merajan, dan dapat pula dilakukan di halaman rumah.Setelah upakara-upakara dipujai seperlunya (diperciki tirta), maka kedua mempelai diantar ketempat upacara, lalu mebyakala, dan mepryascita.Setelah itu kedua mempelai duduk menghadapi banten pedengen-dengenan. Selanjutnya dilakukanlah upacra persembahyangan sesuai dengan petunjuk pemimpin upacara, kemudian kedua mempelai diupakarai dengan “pebersihan” seperti sisig, keramas, segau, tepung-tawar, dan lain-lainnya, serta diperciki tirta pengelukatan, pebersihan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan.

                        Setelah itu kedua mempelai bangkit, lalu berjalan mengelilingi sanggar pesaksi, kemulan dan penegtegan.

Sementara itu mempelai laki-laki memikul “tegen-tegenan” sedangkan yang perempuan menjunjung “sok pedagangan”. Setiap kali melewati “sang kala-sepetan”, kedua mempelai menyentuh kakinya, dan setelah tiga kali lalu berhenti. Mempelai laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala isi dari “sok pedagangannya”. Kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar “tikeh dadakan”, yaitu yang perempuan memegang, sedangkan yang laki merobek dengan keris yang ada pada “penegtegan” yang dibawanya sendiri lalu menanam kunir, keladi dan andong dibelakang Merajan Kemulan. Dan akhirnya memutuskan benang putih yang terentang pada cabang dadap. Selanjutnya kedua mempelai disuruh mandi (berganti pakaian) untuk natab dapetan seadanya dan mejaya-jaya (metirta). Dalam rangkaian ini dapat dilanjutkan dengan Mepejati (mejauman), ataupun dilakukan pada hari berikunya.

b.                  Dalam tingkatan upakara yang lebih besar

Upacara ini sebenarnya adalah merupakan lanjutan/penyempurnaan dari pada upacara di atas yaitu: setelah medengen-dengen dan mandi, maka dilanjutkanlah dengan upacara “nyekeb”, pada hari yang telah ditentukan (masa nyekeb telah berakhir), dilakukanlah upacara natab/medudus alit beserta runtutannya.

Apabila dilengkapi dengan upacara “ngeliwet” (mekerab ngeliwet) maka setelah keluar dari penyekeban, lalu dilakukan Upacara Ngeliwet, kemudian dilanjutkan dengan Medudus-Agung, natab dan sebagainya.

Apabila dilengkapi dengan Upacara “Mepeselang”, maka setelah Medudus-Agung, lalu dilanjutkan dengan Upacara Mepeselang, mepedambel, dan akhirnya Ngelebar ke “jaba” (dipanggungan di jaba).

 (Putra 1987:60)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pengertian di awal dapat disimpulkan bahwa pengertian yadnya adalah pemujaan, persembahan atau korban suci. Melalui yadnya inilah tujuan umat manusia dapat dicapai, karena Yadnya adalah sebagai jalan menuju tujuan umat Hindu. Dalam Bhagawad gita dinyatakan bahwa ketika engkau menikmati sesuatu tanpa mempersembahkan dahulu kepada Ida Sang Hyang Widhi maka engkau disebut pencuri. Sehingga penting bagi kita untuk melakukan Yadnya sebagai wujud rasa syukur kita kepada sang pencipta.

3.2  Saran

Sebagai umat Hindu hendaknya kita selalu melaksanakan dan mengetahui dasar, kualitas, dan pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari. Agar esensi apa yang ada dalam kitab suci tetap kita laksanakan tanpa meninggalkan ajaran-ajaran suci.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku teks

Putra, NY. Gusti Agung Mas.1987, Upacara Manusia Yadnya. Jakarta.

Oka,Ida Pedande Gde Nyoman Jelantik. 2009, Sanatana Hindu Dharma.Denpasar :Widya Dharma.

Adiputra,GedeRudia.2009,Pengetahuan Dasar Agama Hindu,Jakarta:IPEBI-BANK INDONESIA.

Tim Penyusun. 2008. Panca Yadnya, Denpasar: Widya Dharma

 

Firtual ( internet)

http://rah toem.blogspot.com/2013/09/pengertian tujuan bagian bagian yadnya.html 18:51

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

 

Nama                                                   :  I Dewa Ayu Sri

Tempat/Tgl lahir                                  : Denpasar, 12 Mei 1973

Jenis Kelamin                                      : Perempuan   

Alamat                                                : Jln Cendana IV no 12 Jaka Permai, Bekasi

                                                            Barat.

Status                                                  : Menikah

Agama                                                 : Hindu

Tlp                                                       : 0813 8718 6217

Email                                                   : sridewaayu88@gmail.com/

                                                            srigunacollection@yahoo.co.id

 

B. Riwayat pendidikan

 

Formal                                                                                    

SD Ngeri 1 Sanur                    Bali     Tahun 1980-1986

SMP Kertha Wisata                Bali     Tahun 1986-1989

SMA Kertha Wisata                Bali     Tahun 1989-1992

 

Non Formal                            

English Course                        Bali                 Tahun 1992

Germany Course                     Germany         Tahun 1998

 

 

C. Pengalaman Kerja

 

PT. Dewata Bali                                  Cashier            Tahun 1993-1998

PT. Soejasch Bali                                Marketing        Tahun 1998-1999

PT. Freigth Express Indonesia            Marketing        Tahun 1999-2000

 

 

D. Organisasi

 

Tempek Jaka Permai                                       Bendahara                   Tahun  2011

Sekhe Gong Candra Gita Buana                    Anggota                      Tahun  2012

WHDI                                                             ketua kebudayaanTahun 2013           

Srati Banten                                                    Anggota                      Tahun 2014

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                   

 

 

 

Nama                                       : Sri yoko

TTL                                         : Karang anyar, 12 februari 1991

Jenis kelamin                           : Laki-laki

Agama                                      : Hindu

Status                                        : Mahasiswa

Hobi                                          : Musik

Telepon                                     : 081218101378

e-mail                                       : Sriyoko12@gmail.com

Alamat                                     : Jl.Jatiluhur Raya no 1. Jaka Sampurna, Bekasi Barat.

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD                                            : SD N Anggrasmanis Lulus tahun 2003

SMP                                        : SMP Muh 6 Jenawi Lulus tahun 2006

SMA                                       : PKBM Kartini Bekasi Lulus tahun 2014

 

 

 

Nama                                        : Ni putu citra nasih

TTL                                          : Muba, 21 januari 1996

Jenis kelamin                           : perempuan

Agama                                      : Hindu

Status                                        : Mahasiswa

Hobi                                          : Membaca

Telepon                                   : 087794843669

e-mail                                       : niputucitranasih@gmail.com

alamat                                       : Jl. Sederhana v no 6 komp.cijantung rt 003/006

kelurahangedong kecamatan pasar rebo Jakarta

Timur 13760

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD                                           :  SD NEGERI Tri Mulya Agung lulus tahun 2007

SMP                                        :   SMP NEGERI 3 Lalan lulus tahun 2011

SMA                                       :   SMA NEGERI 2 Lalan Lulus tahun 2014

 

 

Nama                                       : Wayan tantre awiyane

TTL                                         : Balinuraga, 24 april 1996

Jenis kelamin                           : Laki-laki

Agama                                      : Hindu

Status                                        : Mahasiswa

Hobi                                         : Membaca dan Musik

Telepon                                     : 081997554952

e-mail                                       : wayantantre96@gmail.com

Alamat                                     :  Jl. Pahlawan Revolusi, Pondok Bambu Jakarta timur.

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD                                           : SD Negeri 1 CAMPURSARI Lulus tahun 2007

SMP                                        : SMP Negeri 1 CANDIPURO Lulus tahun 2011

SMA                                       : SMA Negeri 1 CANDIPURO Lulus tahun 2014

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stah Dharma Nusantara Jakarta Melaksanakan Kegiatan Pembinaan Pasraman

Kegiatan KKG dan MGMP di DKI Jakarta

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.