MAKALAH
PELAKSANAAN YADNYA DIZAMAN KALIYUGA
(Tinjauan
sosial keagamaan Hindu)
Dosen Pengempu
Ilmu
Sosial Dan Budaya Dasar:
Untung
Suhardi S.Pd.H.,M.Fil.H.
Oleh:
Kelompok
Hastinapura
I Dewa Ayu
Sri
Sri Yoko
Ni Putu
Citra Nasih
Wayan
Tantre Awiyane
SEKOLAH
TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2014/2015
Jl.
Daksinapati No.10 Rawamangun Jakarta Timur13220
KATA PENGANTAR
Om swastyastu
Segala
puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa.Diantara
sekian banyak nikmat Tuhan yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang
yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam
proses penyusunan tugas ini penulisan menjumpai hambatan, namun berkat dukungan
dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikanya tugas ini.
Segala
sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal yang benar
datangnya hanya dari agama berkat adanya Sradha dari Sang Hyang Widhi, meski
begitu tentu tugas ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan pada
tugas selanjutnya. Harapan penulis semoga tugas ini bermanfaat Khususnya bagi
pembaca lain pada umumnya.
Om santih, santih, santih om
Jakarta, 5 Desember 2014 |
|
Penulis |
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar……………………………………………………………………………… |
2 |
Daftar
isi……………………………………………………………………………………. |
3 |
BAB I PENDAHULUAN |
|
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………….. |
4 |
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….. |
5 |
1.3
Tujuan…..……………………………………………………………………………. |
5 |
1.4
Manfaat…………………………………………………………………………….. |
5 |
BAB II PEMBAHASAN |
|
2.1 Pelaksanaan yadnya
……………………………………………..................................... |
6 |
2.2 .1 Panca yadnya……………………………………………………………………. |
7 |
2.2.2 Tri rna………………..…………………………………………………………... |
8 |
2.2.3 Dasar
yadnya…………………………………………………….......................... 2.2 Kualitas
yadnya…………………………………………………………………………. |
8 10 |
2.3 Pelaksanaan yadnya dalam kehidupan
sehari-hari……………………............................ |
11 |
2.3.1 Upacara
perkawinan………………………………………………………………….. |
15 |
2.3.2 Cara
perkawinan……………………………………………………………………… |
16 |
2.3.3 Hakikat
wiwaha………………………………………………………………………. |
18 |
2.3.4 Syarat-syarat wiwaha…………………………………………………………………. |
19 |
2.3.5 Tujuan
wiwaha……………………………………………………………………….. |
19 |
2.3.6
Tata upacara…………………………………………………………........................... |
18 |
BAB III PENUTUP |
|
3.1 KESIMPULAN |
23 |
3.2 SARAN |
23 |
DAFTAR PUSTAKA |
24 |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Yadnya
dalam ajaran agama Hindu merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu dalam kehidupanya
sehari-hari.Sebab Tuhan menciptakan
alam semesta beserta isinya melalui yadnya. Tanpa Yadnya oleh Sang Hyang Widhi maka alam semesta
beserta segala isinya tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai
manusia wajib memelihara dan mengembangkan alam semesta ini.Kita dapat
melaksanakan yadnya kepada Sang
Hyang Widhi secara tulus ikhlas agar selalu
diberikan waranugraha agar alam semesta ini tetap terjaga.
Yadnya
dalam agama
Hindu merupakan bagian yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas agama.Bahkan
yadnya merupakan unsur yang
sangat penting, bagaikan kulit telor
yang membungkus bagian dalamnya yang merupan inti dari telor itu sendiri,
seperti itulah yadnya dengan upacara dan upakaranya merupakan kulit luar yang
tampak dan dilaksanakan dalam kehidupan keagamaan sehari-hari. Yadnya tidak
hanya menandakan identitas keagamaan, tetapi lebih dari pada itu yadnya merupakan
penjewantahan ajaran Agama Hindu itu
sendiri.
Demikianlah
yadnya merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini.Tuhan
telah menciptakan manusia dengan yadnya.Dengan yadnyalah menusia mengembang dan
memelihara kehidupanya, seperti yang
dikutip dari Bhagawad Gita III.10.keiklasan
dan ketulusan diri adalah dasar yang utama dalam pelaksanaan suatu yadnya.
Kesucian diri dicerminkan dalam hidup yang benar memiliki kesiapan rohani dan
jasmani seperti mantapnya sradha, rasa bhakti, keimanan dan kesucian hati,
yaitu kehidupan yang sesuai ketentuan dengan moral dan spiritual (Ngurah,
2006:146).
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkanlatar
belakang di atas maka ada beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu:
1. Bagaimana proses pelaksanaan yadnya?
2. Bagaimana
dasar pelaksanan yadya?
3. Bagaimana
kualitas yadnya?
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun yang
menjadi tujuan penulisan ini
adalah:
1. Untuk
mengetahui proses pelaksanaan yadnya
2. Untuk
mengetahui dasar pelaksanaan yadnya
3. Untuk
mengetahui kualitas yadnya
1.4
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagi Mahasiswa : mahasiswa menjadi
tahu apa itu wiwaha atau perkawinan. Perlunya wiwaha bagi manusia normal dan
kapan waktu
yang tepat
melakukan pernikahan.
2.
Bagi masyarakat : masyarakat menjadi
lebih tahu dan mengerti apa itu
wiwaha,
sehingga lebih memeperhatikan anak dengan bimbingannya dalam hal pergaulan dan
penanaman nilai – nilai agama sejak dini
3.
Bagi kehidupan : dengan adanya
tulisan ini diharapkan kehidupan bermasyarakat khususnya yang menyangkut
pawiwahan menjadi lebih harmonis yaitu sejalan dengan ajaran agama hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pelaksanaan Yadnya
Bukan hanya dalam bentuk upacara
yadnya dengan menggunakan persembahan berupa banten / upakara saja, melainkan
Yadnya dapat dilaksanakan dalam bentuk yang beragam karena yadnya itu merupakan
segala bentuk kegiatan atau pengorbanan yang dilakukan dengan tulus ikhlas
tanpa mengharapkan pamrih.Sehingga dengan demikian, yadnya dapat dilakukan dalam
bentuk yang bermacam-macam.Ada yadnya yang dilaksanakan dalam bentuk
persembahan dengan menggunakan sarana berupa banten / sesajen, dalam bentuk
pengorbanan diri yaitu pengendalian diri, mengorbankan segala aktivitas,
mengorbankan harta benda dan pengorbanan dalam bentuk ilmu pengetahuan. Bentuk
yadnya ini diuraikan / dijelaskan secara tegas dalam kitab Bhagavadgita IV.28
yang isinya adalah sebagai berikut:
“Dravya-yajnana tapo yadnya yoga-yajna
tathapare svadhyaya-jnana-yajnas ca yatayah samsita-vratah”
Terjemahannya:
“Setelah
bersumpah dengan tegas, beberapa diantara mereka dibebaskan dari kebodohan
dengan cara mengorbankan harta bendanya. Sedangkan orang lain dengan melakukan
pertapaan yang keras, dengan berlatih yoga kebathinan terdiri atas delapan
bagian, atau dengan mempelajari Veda untuk maju dalam pengetahuan suci”.
(http://rah toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html
18.24).
Selanjutnya
dijelaskan tentang bentuk pelaksanaan Yajna dalam kitab Bhagavadgita IV.II yang
isinya adalah sebagai berikut:
“Ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy
aham Mama vartmanuvartante manisyah partha sarvasah”
Terjemahannya:
“Sejauh mana
orang menyerahkan diri kepada-Ku, aku menganugrahi mereka sesuai dengan
penyerahan dirinya itu, semua orang menempuh jalan-Ku,
dalam segala hal, Wahai putra
Partha”.
(http://rah
toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html 18.24).
Sangat jelas dari kedua sloka
tersebut telah dinyatakan bahwa Tuhan akan menerima umatnya melalui Yadnya yang
dilakukan yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh umat. Seperti dengan melakukan
penyerahan diri pada Tuhan, Tapa dan persembahan yang tulus dan ikhlas.(http://rah
toem.blogspot.com/2014/08/bentuk bentuk pelaksanaan yadnya.html 18.24).
2.1.1 Panca
Yadnya
Panca Yadnya adalah: Panca artinya lima dan Yadnya
artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam
istilah Bali masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa.Lima jenis
korban suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk mencapai kesempurnaan
hidup.
Adapun
pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
1.
Dewa
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas
yang di tujukan kepada Tuhan dengan segala manifestasiny.
2.
Butha
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas
kehadapan unsur-unsur alam, demi kebaikan dan keharmonisan mahluk/roh yang
lebih rendah dari manusiadasn juga demi kelestarian lingkungan.
3.
Manusa
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada
manusia.
4.
Pitra
Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas
bagi manusia yang telah meninggal atau demi kebahagiaan Bhatara/ leluhurdan
orang tua.
5.
Rsi Yadnya, yaitu
upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat
Hindu.
(Adiputra, Gede: 100)
2.1.2 Tri Rna
Kegiatan
Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang
yang mesti dibayar sehubungan dengan keberadaan kita. dalam tulisan Adiputra.
(2000: 95)
Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya
sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
1.
Pitra Rna, hutang
kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita serta
perhatiannya semasa hidup.
2.
Rsi Rna, hutang
kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya selama
ini.
Hutang –
hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan
dengan Panca Yadnya.adapun cara pembayaran tersebut adalah:
a.
Dewa Rna, dibayar melalui Dewa
Yadnya dan Bhuta Yadnya.
b.
Pitra Rna, dibayar dengan Pitra
Yadnya dan Manusa Yadnya.
c.
Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya. ( Adiputra, Gede: 95)
2.1.3 Dasar Yadnya
Pelaksanaan yadnya tidak hanya begitu saja
dilaksanakan oleh umat Hindu.Akan tetapi yadnya yang dilaksanakan sesungguhnya
memiliki dasar yang kuat baik yang berupa sabda suci tuhan maupun ajaran
smerti.
Yadnya dapat juga diartikan memuja, menghormati,
berkorban, mengabdi,berbuat kebajikan, member dan penyerahan tulus iklas berupa
apa yang dimiliki demi kesejahteraan, kesempurnaan hidup bersama, dan kemaha
muliaan Hyang Widhi. Itu berarti bahwa yajna mengandung nilai-nilai:
1.
Rasa tulus iklas dan kesucian;
2.
Rasa bakti dan memuja Hyang Widhi, Dewa,
Bhatara, Leluhur, Negara bangsa, dan kemanusiaan;
3.
Pelaksanaannya dilaksanakan sesuai
dengan kemampuan masing-masingmenurut tempat (desa), waktu (kala), dan
keadaan (patra);
4.
Suatu ajaran dari catur weda sebagai
sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran abadi.
Yang menjadi pokok dasar
dilaksanakannya yadnya adalah sesuai dengan sastra suci veda yang merupakan
wahyu Tuhan. Adapun weda yang memuat adanya pelaksanaan yadnya adalah
padaRg.veda X.90 yang kemudian ditegaskan pada kitab upanisad dan diperjelas
lagi dalam Bhagawadgita serta diajarkan dalam beberapa susastra Hindu lainnya.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama
dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa “alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya
(Maha Purusa), dg yadnya dewa memelihara manusia & dg yadnya manusia
memelihara Dewa”.Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta
beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha
Purusa.Selanjutnya para dewa yang merupakan sinar suci dari Tuhan pun
memelihara kehidupan dialam semesta ini dengan yadnya, sehingga dengan demikian
manusia pun harus melaksanakan yadnya untuk memelihara dewa.
Adanya hubungan timbal balik antara manusia dan dewa
serta dengan terjaganya saling memelihara ini akan menciptakan kebahagiaan bagi
semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam
gita III.11 yang isinya adalah “Dengan melakukan ini engkau
memelihara kelangsungan para dewa, semoga para dewata juga memberkahimu, dengan
saling menghormati seperti itu,engkau akn mencapai kebajikan tertinggi.”.
Ketika hubungan timbal balik ini tidak dilaksanakan niscaya alam semesta ini
akan hancur. Kita tahu bahwa Tuhan melingkupi serta menyusupi semua yang ada,
jadi ketika kita tidak bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama
manusia dan dengan alam yang notabene adalah bagian dari kemahakuasaan Tuhan akan
menimbulkan kesengsaraan. Misalnya saja kita tidak menghormati lingkungan maka
pastinya alam pun akan tidak bersahabat dengan manusia itu sendiri.
2.2 Kualitas yadyna
Menurut BG XVII, 11, 12, dan 13
menyebutkan ada tiga tingkatan yadnya dilihat dari segi kualitasnya. Tiga yajna
itu antara lain:
1. Satwika yajna : yaitu yajna yang dilakukan
sesuai dengan kitab-kitab suci,oleh mereka yang tidak mengharapkan ganjaran dan
sangat percaya bahwa itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan, merupakan yajna sattvika. Dapat diartikan yadnya yang dilaksanakan dasar utama Sradha Bakti,
Lascarya, dan semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk yadnya yang
dilakukan seperti, persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika
dilandasi bakti dan tanpa pamrih maka tergolong Satwika Yadnya. Yadnya dalam
bentuk persembahan /upakara akan sangat mulia dan termasuk Satwika jika sesuai
dengan sastra agama, daksina, mantra, annasewa, dan Nasmita.
2. Tamasikayajna: yajna yang dilakukan dengan mengharapkan ganjaran
atau hasil semata-mata untuk kemegahan.Tamasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan tanpa sastra, tanpa punia,
tanpa mantra dan tanpakeyakinan. Ini adalah kelompok orang yang beryadnya tanpa
arah tujuan yang jelas, hanya ikut=ikutan. Contoh orang-orang yang tergolong
tamasika yadnya antara lain orang yang pergi sembahyangkepura hanya
ikut-ikutan, malu tidak kepura karena semua tetangga pergi kepura, orang
gotong-royong di pura atau di tempat umum juga ikut-ikutan tanpa menyadari
manfaatnya. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang beryadnya karena
terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa memberikan
punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa puasa karena orang-orang
berpuasa. Jadi apapun yang dilaksanakannya adalah sia-sia.
3. Rajasikayajna: yajna yang dilakukan tanpa aturan
(bertentangan), makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra, sedekah dan keyakinan.
Yadnya ini dilakukan dengan motif pamrih serta
pamer kemewahan, pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar
dirinya dianggap dermawan. Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah
panjang lebar dan berapi-api dengan maksud agar dianggap pintar, semua yadnya
dengan motif diatas tergolong rajasika yadnya. Seorang yang melakukan tapa,
puasa tetapi dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan, kesaktian fisik, atau
agar dianggap sebagai orang suci juga tergolong yadnya rajasika. Jadi yadnya terbagi atas tiga bagian berdasarkan kualitasnya, kita bsa
memilih yadnya yang akan kita laksanakan sesuai dengan kemampuan kita
masing-masing. (Maswinara, 2008:447-449)
2.3
Pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari
Dalam jaman kali yuga ini, banyak sekali
upacara yadnya yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, salah satunya
adalah manusa yadnya. Manusa yadnya adalah upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia. Selama masih dalam lingkaran karma-punarbawa,
mati dan hidup, semasih dalam kandungan, lahir, menjadi besar, akil balig,
menikah, kemudian bekerja dan hingga meninggalkan hidup ini, umat mempunyai
berbagai kewajiban (rna) kepada Widhi, leluhur, keluarga, masyarakat dan
semua yang berjasa ikut menghidupi, memelihara dan membesarkannya.
Dengan demikian selama masih hidup, manusia
itu hendaknya menghaturkan sesuatu kepada beliau dengan jalan manusa yadnya, yaitu:
1. Ketika bayi sudah berumur lima bulan dalam
kandungan ibunya, diadakan upacara megedong-gedongan.
Upacara ini dilakukan untuk penyucian bayi yang masih ada dalam kandungan
ibunya. Upacara ini merupakan tradisi adat-istiadat yang terus dilakukan secara
turun temurun oleh umat Hindu di Bali. Upacara ini dilakukan kerena wujud bayi
sudah dianggap sempurna/lengkap pada usi itu. Disisi lain untuk memperkuat
posisi bayidi dalam kandungan agar tidak terjadi keguguran, lalu secara jasmani
upacara megedong-gedongan ini dilakukan, agar sang bayi menjadi kuat pada saat
dilahirkan dan kelak menjadi orang yang berbudi luhur, berbakti kepada orang
tua, bergna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa, sedangkan untuk ibunya
sendiri sebagai do permohonan keselamatan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa) agar si ibu sehat, selamat pada waktu melakukan persalinan/melahirkan.
Kata megedong-gedongan berasal dari kata
Gendongan yang bermakna
kandungan. Dalam melaksankan upacara ini menggunakan filsafat agama Hindu
dengan cara perhitungan dengan angka Samkhya yaitu dari angka 210 menjadi
hitungan 2+1=3 yang artinya Tri Angga yaitu Suksma Sarira, Antakarana, Stula sariradihari itu ketiga unsur
telah menyatu menjadi bayi dan saatnya untuk penyucian dan berharap roh yang
akan berinkarnasi betul betul roh yang suci. Sementara untuk ibunya sendiri
dengan diadakannya upacara ini, bertujuan mendapatkan dukungan kejiwaan seperti
merasa aman, ketenagan juga merasa mendapatkankasih sayang dan perhatian dari
pihak keluarga, karena ibu yang hamil belum mempunyai pengalaman dalam hal
melahirkan. Oleh sebab itu sehari sebelum upacara ini dilaksanakan dharma Tula
yaitu pemberian nasehat bahwa melahirkan itu adalah kodrat sebagai seorang ibu,
juga disarankan untuk membaca buku ilmu pengetahuan, buku agama dan mendekatkan
diri kepada Sang Hyang Widhi, mengindari diri dari pengelihatan dan pendengaran
yang bersifat negatif/buruk, karena itu semua dapat mempengaruhi kehidupan bayi
dikemudian hari.
2. Ketika bayi baru lahir, upacara ini merupakan
cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran
anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya. Setelah 9 bulan, dalam kandungan ibunya ketika
plasentanya terlepas (kepus pungsed),
sekitar 12 hari setelah lahir.
3. Kemudian umur 35 hari + 7 hari (= 42 hari),
disebut abulan pitung dina atau satu
bulan tujuh hari. Setelah bayi itu diupacarai, secara spiritual sang bayi
dianggap sudah bersih. Ia boleh diajak kepura dan dapat dibopong oleh
sulinggih. Upacara TutugKambuhan
ini bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian kepada si bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan
di Merajan atau Sanggahkemulan (tempat suci keluarga). Upacara TutugSambutan(upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si
Bayi seperti yang dialami pada waktu acara TutugKambuhan.
Pada upacara ini nama Bayi disahkan disertai dengan pemberian perhiasan
terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga. Upacara mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian
terhadap si bayi dengan acara pengguntingan rambut pertama kalinya. Apabila
keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut dibiarkan menjadi (jambul) dan akan digunting pada waktu
upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara
mepetik ini adalah rangkaian dari upacara TutugSambutan
yang pelaksanaannya berupa satu paket dengan upacara TutugSambutan.
4. Kemudian umur 210 hari (35 x 6) diadakan yadnya ngotonin. Tujuannya, disamping
memohon keselamatan dan kesehatannya. Ia juga dibantu untuk menyentuh tanah
dengan kakinya dan mengambil apa saja (cincin, uang logam, atau lainnya) yang
direndam dalam air kumkuman didalam pane, yang ditaruh didalam kurungan
bambu. Maksud menyentuh tanah dengan kakinya ialah, sejak itu ia boleh berjalan
ditanah dan secara spiritual ia sudah memohon izin dari Sang Hyang Ibu Pertiwi berjalan di atas tanah kemana saja ia mau (disebut
ngeteg tanah). Maksudnya mengambil
sesuatu didalam pane tadi ialah agar
ia memperoleh rejeki di masa – masa yang akan datang. Yadnya otonan ini sebaiknya dilakukan setiap 210 hari, agar ia
tetap sehat dibawah lindungan Widhi.
5. Kemudian menjadi dewasa (akil balig), disebut
“menek kelih” yang berlaku bagi
wanita dan laki-laki. Upacara ini bermakna puji syukur, memohon keselamatan
kehadapan Hyang Semara Ratih dalam manifestasinya Hyang Widhi agar dituntun dan
diberikan jalan yang baik dan benar juga di jauhkan dari hal hal yang
menyesatkan, upacara ini wajib dilaksanakan oleh orang tua. Upacara ini
dilaksanakan pada saat anak mulai beranjak dewasa atau akil baliq, kira-kira
berumur 14 tahun, menek kelih sering disebut juga Ngeraja dan dalam bahasa Indonesia
artinya menginjak remaja, untuk laki-laki disebut Ngeraja Singa/Menek Teruna
sedangkan untuk perempuan dinamakan Ngeraja Sewala/Menek Taruni/Bajang/Dahe.Adanya
perubahan secara biologi mempengaruhi perkembangan lahir maupun bathin mereka,
maka dengan itulah diadakan upacara Menek Kelihini yang mempunyai hakekat agar
mereka lebih mengerti arti dari kedewasaan baik jiwa maupun fikiran. Upacara
ini bisa dilaksanakan di rumah dan dipimpin oleh seorang pendeta atau yang
tertua dalam lingkungan keluarga. Upacara ini dilakukan setelah selesai datang
bulan atau menstruasi pertama atau dapat pula dicarikan hari baiknya. Upacara
ini dapat dilakukan secara massal dalam lingkup
Dadia, Banjar, Desa, atau Campuran ketiganya. Adapun manfaat upacara
massal ini adalah:
a) untuk menghemat biaya
b) untuk mempererat tali persaudaraan dan
kekeluargaan
c) untuk menumbuhkan rasa persatuan-kesatuan dan
gorong-royong sesama warga masyarakat
Tabel Banten Upacara:
Wanita |
Pria |
1.Banten pabyakala |
1. Banten Sesayut ngraja singa |
2.Banten
Prayascite |
2. Banten
Pededarian |
3.Banten Dapetan |
|
4. Banten Sesayut |
|
6. Selanjutnya upacara mapendes atau potong gigi, mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada
pada diri manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mapendes bisa juga disebut Metatah
atau Mesangih, dimana 6 buah taring yang ada dideretan gigi atas dikikir atau
diratakan, uoacara ini merupakan suatu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan
yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai
saat ini.
7. Akhirnya pawiwahan
atau perkawinan.
Jadi dalam setiap
tingkatan umur si anak diupacarai.Tujuannya ialah agar iasenantiasa dibawah
lindungan Sang Hyang Widhi Wasatujuan lainnya adalah
untuk menyucikandiri lahir bathin (pamari
sudha raga) dan memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan
spiritual menuju kebahagiaan baik di dunia maupun di alam niskala.(Jelantik 2009: 48).
2.3.1
Upacara perkawinan
Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian
baik kehadapan Sang Hyang Widhiataupun kepada masyarakat bahwa kedua orang
yang bersangkutan meningkatkan diri sebagai suami-istri, dan segala akibat
perbuatannya menjadi tanggung-jawab mereka bersama.
Disamping itu secara rohaniah upacara tersebut
merupakan pembersihan terhadap diri kedua mempelai, terutama “sukla-swanita” yaitu “kama-jaya”, adalah bibit dari orang laki
dan “kama-ratih” adalah bibit dari
perempuan. Pembersihan ini diharapkan agar kedua bibit itu bebas dari
pengaruh-pengaruh buruk, sehingga bila keduanya bertemu (terjadi pembuahan)
akan terbentuk suatu janin “manik” yang suci. Dengan demikian diharapkan “roh”
yang akan menjiwai yang akan menjelma adalan Roh yang baik., kemudian akan lahi
anak yang baik pula.
Lain dari itu dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu,
berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu beseta
ajaran-ajarannya sebagai pegangan di dalam membina rumah tangganya. Menurut
Agama Hindu, perkawinan (dengan pengharapan agar memperoleh anak), merupakan
suatu jalan untuk meringankan, melepaskan derita orang tua (leluhur) terutama
setelah meninggal. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam ceritera betapa Sang Jaratkaru harus melepaskan tapa-beratanya (nyukla-Brahmacari) yang
akhinya kawin agar memperoleh anak, demi melepaskan ayahnda-nya dari gantungan
bambu petung di neraka.
Selanjutnya menurut beberapa sumber seperti
lontar kuno-dresti, Eka-pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa pembuahan
yang terjadi (pertemuan kamajaya dan kamaratih) dengan tidak didahului oleh
suatu upacara-upacara pekala-kalaan dianggap kurang baik, disebut “kama
keparagan”, dan anak yang lahi disebut “dia-diu” atau “bebinjat” (bibijaat),
menyebabkan cuntaka pada dirinya sendiri, keluarga dan desa tempat tinggalnya.
Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara “ngerorod” (lari), sehingga
kemungkinan sekali segala upacara-upacara akan tertunda sampai gtercapainya
kata sepakat antara kedua belah pihak. Terjadinya pembuahan dalam hal ini
kiranya tidak dapat dianggap sebagai “kama keparagan”, karena segala
perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadran dan penuh rasa tanggung jawab atas
akibatnya.
2.3.2
Cara Perkawinan
Menurut Mawana
Dharmacastra, ada delapan cara perkawinan (vivaha), walaupun beberapa
diantaranya dianggap kurang baik dilaksanakan.
1.
Brahma vivaha, adalah perkawinan yang dilakukan dengan
jalan memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dianggap berbudi luhur
dan berpendidikan tinggi.
2.
Daiwa vivaha,adalah perkawinan yang dilakukan dengan jalan
yang memberikan anak gadisnya kepada seorang pria yang dianggap telah berjasa
dan berbuat kebaikan.
3.
Arsha vivaha, adalah perkawinan yang terjadi karena suka
sama suka, baik dari pihak keluarga si gadis, maupun pihak keluarga si pria dan
kedua calon mempelai.
4.
Prajapatya vivaha, adalah perkawinan dimana pihak/orang tua si
gadis melepas anaknya untuk dikawinkan kepada pria yang telah disetujui dan
disertai dengan doa: semoga kamu berdua melakukan dharma-mu bersama-sama; hal ini juga berarti untuk menunjukkan
penghargaan kepada si pria yang akan menjadi suaminya.
5.
Asura vivaha, adalah suatu perkawinan dimana pihak pria
harus memberikan sejumlah uang kepada pihak/orang tua si gadis.
6.
Ganddharwa vivaha, adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan
atas dasar cinta sama cinta antara si gadis dengan si pria, tetapi pihak orang
tua tidak ikut campur, walaupun mungkin mengetahuinya.
7.
Raksasa vivaha, adalah suatu perkawinan yang dilakukan dengan
paksa, walau si wanita menangis menjerit-jerit, dan mungkin pula akan terjadi
pekelahian-perkelahian dengan pihak si gadis. (di Bali dikenal dengan istilah melegandang).
8.
Paisaca vivaha, adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan
dengan tipu-muslihat, misalnya dengan jalan memabukkan si gadis, sedang tidur
dan sebagainya.
Dari kedelapan
bentuk perkawinan itu yang dianggap kurang baik adalah Asura
vivaha, Paisaca vivaha, Ganddharwa vivaha, dan
Raksasa vivaha, dan dua dari bentukitu yaitu Asura dan Paisaca, dianggap tidak
boleh dilakukan.Namun pada kenyataannya pada zaman yang kita hadapi
bersama ini, perkawinan yang sering terjadi adalah Ganddharwa Wiwaha. Dimana
perkawinan yang dilaksanakan atas dasar nafsu, bahkan yang terjadi adalah married by accident (hamil terlebih
dahulu) atau wanita mengalamai “kecelakaan”. Biasanya keluarga wanita menuntut laki-laki
yang telah menghamilinya tersebut untuk menikahinya. Atau keeluarga wanita
nekat mencari laki-laki yang bersedia menikahi wanita tersebut dan sekaligus
menjadi ayah biologis dari bayi yang telah dikandung.Salah satu faktor penyebab
hal tersebut adalah, maraknya aktfitas seks para remaja yang baru menginjak
dewasa, dimana peran orang tua pada situasi sangat diperlukan guna membantu
dalam mendidik mental anaknya. Dalam pandangan hindu, sudah jelas sekali banyak
kitab suci yang menjelaskan bahwa hubungan seks akan dianggap suci jika
dilakukan setelah uoacara pernikahan.
Akibatnya, anak yang terlahir tanoa upacara pawiwahan
menyebabkan si ibu dan rumah yang ditempatinya akan cuntaka sampai ada yang
mengangkat dengan upacara tertentu.
Namun jika hamil diluar nikah ini sudah terjadi, maka bisa dilanjutkan dengan
upacara pernikahan dan setelah anak tersebut lahir sebaiknya dilaksanakan
upacara meperas bersamaan dengan
upacara tiga bulanan.
Demikianlah
hendaknya diusahkan untuk menempuh cara-cara perkawinan yang baik dan terpuji,
karena dari perkawinan yang terpuji, akan lahir putra-putri yang terpuji pula,
dan dari perkawinan yang tercela akan lahir putra-putri yang tercela pula.
2.3.3
Hakekat Wiwaha
Perkawinan menurut hindu adalah
“Yadnya” sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menjadi grahasta asrama
merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaanya. Didalam
grahasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan yaitu memenuhi :
1.
Dharma
Dharma yang
dimaksud adalah aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang
berpedoman pada dharma agama dan dharma Negara
2.
Artha
Segala
sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga merupakan material dan pengetahuan.
3.
Kama
Rasa
kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga.
Dengan demikian keluarga hindu harus
mampu hidup dalam kesadaran sujud pada Tuhan, bebas dari kegelapan, selalu giat
bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tentram,
harmonis dan damai.
2.3.4
Syarat – Syarat Wiwaha
Menurut ajaran agama hindu syah atau
tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidaknya persyaratan yang
ada dalam ajaran agama. Suatu perkawinan dianggap syah menurut hindu adalah
sebagai berikut :
- Perkawinan syah bila dilakukan
menurut ketentuan hukum hindu
- Untuk mengesahkan
perkawinanmenuruthindu harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan/pejabat
agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
- Perkawinan syah bila
kedua calon mempelai menganut agama hindu.
- Berdasarkan tradisi yang
berlaku dibali, perkawinan syah bila telah melaksanakan upacara
byakala/byakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
- Calon mempelai tidak terikat
oleh suatu ikatan pernikahan.
- Tidak ada kelainan seperti
tidak banci, tidak sakit jiwa atau calon mempelai harus sehat jasmani dan
rohani.
- Calon mempelai cukup umur, pria
berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun.
- Calon mempelai tidak
mempunyai hubungan darah dekat atau spinda.
Bila calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan tersebut diatas, maka perkawinan tersebut tidaklah syah.Yang tidak
kalah penting agar perkawinan itu dianggap syah dan kukuh, maka harus dibuatkan
“akta perkawinan” sesuai dengan undang – undang yang berlaku.
2.3.5
Tujuan Wiwaha
Wiwaha atau perkawinan dalam
masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, sesuatu yang
mulia seperti yang dijelaskan dalma kitab Manawa Dharma Sastra, yaitu: wiwaha
bersifat sakral, yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh
seseorang yang normal sebagai sesuatu kewajiban di dalam hidupnya.
Wiwaha tidak boleh dilakukan karena
paksaan atau pengaruh orang lain. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
ketegengan setelah menjalani grahasta atau berumah tangga.Menurut kitab Manu
Smrti, perkawinan bersifat religius dan obligor karena dikaitkan dengan
kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang
tua dengan jalan melahirkan seorang putra. “Kata putra berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti ”Ia yang menyeberangkan atau menyelamatkan arwah orang
tuanya dari neraka”
Jadi tujuan utama wiwaha adalah
untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang suputra yaitu anak yang hormat
kepada orang tua, cinta kasih terhadap sesama dan bakti kepada Tuhan.Lebih jauh dijelaskan dalam kitam Manawa Dharma
Sastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan samskara yang menempatkan kedudukan
perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan erat dengan agama Hindu.
Oleh karena itu, semua persyaratan yang ditentukan
hendaknya dipatuhi oleh umat hindu. Dalam upacara wiwaha samskara(upacara
perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara manusa yadnya, yang harus
dilaksankan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan unruk membayar
hutang-hutang kepada orang tua/leluhur, maka disamakan dengan dharma.Wiwaha
samskara diabadikan berdasarkan weda, karena itu merupakan salah satu sarira
samsakra atau penyucian diri melalui perkawianan. Sehubungan dengan itu Manawa
Dharma Sastra menjelaskan
Bahwa : untuk menjadikan
bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan pria oleh tuhan, dan karena itu weda
akan diabadikan oleh dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita
sebagai suami-istri.
Dari pemaparan diatas jelas kiranya
bagi para pembaca/ pendengar menentukan saat yang tepat melaksanakan
wiwaha.Wiwaha jangan menjadi hal yang gampangan, wiwaha dilaksanakan jika ada hal
yang dianggap aib (karena hamil diluar nikah).Disinilah dituntut peran aktif orang tua dalam
mendidik anak menanamkan etika dan nilai agama.Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah pendidikan sex sejak dini secara fulgar namun kearah yang benar melalui
diskusi-diskusi saat santai atau cerita-cerita dimasyarakat. Kurangnya
perhatian orang tua apalagi ditambah dengan tipisnya pemahaman keagamaan makin
mendorong anak-anak tidak tahu mana yang baik dan tidak boleh dilakukan
bertindak yang tidak diinginkan, anak tidak bisa mengontrol diri, tidak siapnya
mental dan materi dalam menjalani jenjang grahasta/wiwaha akan membuat suatu
perkawinan mudah hancur atau tidak harmonis.
2.3.6
Tata upacara
a.
Dalam tingkatan upacara yang kecil
Upacara
dapat dilakukan di Merajan, dan dapat pula dilakukan di halaman rumah.Setelah
upakara-upakara dipujai seperlunya (diperciki tirta), maka kedua mempelai
diantar ketempat upacara, lalu mebyakala, dan mepryascita.Setelah itu kedua
mempelai duduk menghadapi banten pedengen-dengenan. Selanjutnya dilakukanlah
upacra persembahyangan sesuai dengan petunjuk pemimpin upacara, kemudian kedua
mempelai diupakarai dengan “pebersihan” seperti sisig, keramas, segau,
tepung-tawar, dan lain-lainnya, serta diperciki tirta pengelukatan, pebersihan,
dan kemudian natab banten pedengen-dengenan.
Setelah
itu kedua mempelai bangkit, lalu berjalan mengelilingi sanggar pesaksi, kemulan
dan penegtegan.
Sementara
itu mempelai laki-laki memikul “tegen-tegenan” sedangkan yang perempuan
menjunjung “sok pedagangan”. Setiap kali melewati “sang kala-sepetan”, kedua
mempelai menyentuh kakinya, dan setelah tiga kali lalu berhenti. Mempelai laki
berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala isi dari “sok
pedagangannya”. Kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar “tikeh dadakan”,
yaitu yang perempuan memegang, sedangkan yang laki merobek dengan keris yang
ada pada “penegtegan” yang dibawanya sendiri lalu menanam kunir, keladi dan
andong dibelakang Merajan Kemulan. Dan akhirnya memutuskan benang putih yang
terentang pada cabang dadap. Selanjutnya kedua mempelai disuruh mandi (berganti
pakaian) untuk natab dapetan seadanya dan mejaya-jaya (metirta). Dalam
rangkaian ini dapat dilanjutkan dengan Mepejati (mejauman), ataupun dilakukan
pada hari berikunya.
b.
Dalam tingkatan upakara yang lebih
besar
Upacara ini
sebenarnya adalah merupakan lanjutan/penyempurnaan dari pada upacara di atas
yaitu: setelah medengen-dengen dan mandi, maka dilanjutkanlah dengan upacara
“nyekeb”, pada hari yang telah ditentukan (masa nyekeb telah berakhir), dilakukanlah
upacara natab/medudus alit beserta runtutannya.
Apabila
dilengkapi dengan upacara “ngeliwet” (mekerab ngeliwet) maka setelah keluar
dari penyekeban, lalu dilakukan Upacara Ngeliwet, kemudian dilanjutkan dengan
Medudus-Agung, natab dan sebagainya.
Apabila
dilengkapi dengan Upacara “Mepeselang”, maka setelah Medudus-Agung, lalu
dilanjutkan dengan Upacara Mepeselang, mepedambel, dan akhirnya Ngelebar ke
“jaba” (dipanggungan di jaba).
(Putra 1987:60)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pengertian di awal dapat disimpulkan bahwa
pengertian yadnya adalah pemujaan, persembahan atau korban suci. Melalui yadnya
inilah tujuan umat manusia dapat dicapai, karena Yadnya adalah sebagai jalan
menuju tujuan umat Hindu. Dalam Bhagawad gita dinyatakan bahwa ketika engkau
menikmati sesuatu tanpa mempersembahkan dahulu kepada Ida Sang Hyang Widhi maka
engkau disebut pencuri. Sehingga penting bagi kita untuk melakukan Yadnya
sebagai wujud rasa syukur kita kepada sang pencipta.
3.2 Saran
Sebagai
umat Hindu hendaknya kita selalu melaksanakan dan mengetahui dasar, kualitas,
dan pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari. Agar esensi apa yang ada
dalam kitab suci tetap kita laksanakan tanpa meninggalkan ajaran-ajaran suci.
DAFTAR PUSTAKA
Buku teks
Putra, NY. Gusti Agung Mas.1987, Upacara Manusia Yadnya. Jakarta.
Oka,Ida Pedande Gde Nyoman
Jelantik. 2009, Sanatana Hindu Dharma.Denpasar
:Widya Dharma.
Adiputra,GedeRudia.2009,Pengetahuan Dasar Agama Hindu,Jakarta:IPEBI-BANK
INDONESIA.
Tim Penyusun. 2008.
Panca Yadnya, Denpasar: Widya Dharma
Firtual
( internet)
http://rah
toem.blogspot.com/2013/09/pengertian
tujuan bagian bagian yadnya.html 18:51
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : I Dewa Ayu Sri
Tempat/Tgl lahir : Denpasar, 12 Mei 1973
Jenis Kelamin :
Perempuan
Alamat :
Jln Cendana IV no 12 Jaka Permai, Bekasi
Barat.
Status :
Menikah
Agama :
Hindu
Tlp :
0813 8718 6217
Email :
sridewaayu88@gmail.com/
srigunacollection@yahoo.co.id
B. Riwayat pendidikan
Formal
SD Ngeri 1 Sanur
Bali Tahun
1980-1986
SMP Kertha Wisata Bali
Tahun 1986-1989
SMA Kertha Wisata Bali Tahun 1989-1992
Non Formal
English Course Bali Tahun 1992
Germany Course Germany Tahun 1998
C. Pengalaman Kerja
PT. Dewata Bali Cashier Tahun 1993-1998
PT. Soejasch Bali Marketing
Tahun 1998-1999
PT. Freigth Express Indonesia Marketing Tahun
1999-2000
D. Organisasi
Tempek Jaka Permai Bendahara
Tahun 2011
Sekhe Gong Candra Gita Buana Anggota Tahun 2012
WHDI ketua
kebudayaanTahun 2013
Srati Banten Anggota Tahun 2014
Nama : Sri
yoko
TTL :
Karang anyar, 12 februari 1991
Jenis
kelamin : Laki-laki
Agama :
Hindu
Status : Mahasiswa
Hobi : Musik
Telepon :
081218101378
e-mail : Sriyoko12@gmail.com
Alamat : Jl.Jatiluhur Raya no
1. Jaka Sampurna, Bekasi Barat.
RIWAYAT
PENDIDIKAN
SD : SD N Anggrasmanis Lulus tahun 2003
SMP : SMP
Muh 6 Jenawi Lulus tahun 2006
SMA : PKBM
Kartini Bekasi Lulus tahun 2014
Nama : Ni
putu citra nasih
TTL : Muba,
21 januari 1996
Jenis
kelamin :
perempuan
Agama : Hindu
Status :
Mahasiswa
Hobi : Membaca
Telepon :
087794843669
e-mail : niputucitranasih@gmail.com
alamat : Jl. Sederhana v no 6
komp.cijantung rt 003/006
kelurahangedong kecamatan pasar
rebo Jakarta
Timur 13760
RIWAYAT
PENDIDIKAN
SD : SD NEGERI Tri Mulya Agung lulus tahun 2007
SMP : SMP NEGERI 3 Lalan lulus tahun 2011
SMA : SMA NEGERI 2 Lalan Lulus tahun 2014
Nama : Wayan
tantre awiyane
TTL :
Balinuraga, 24 april 1996
Jenis
kelamin :
Laki-laki
Agama : Hindu
Status :
Mahasiswa
Hobi :
Membaca dan Musik
Telepon : 081997554952
e-mail : wayantantre96@gmail.com
Alamat : Jl. Pahlawan Revolusi, Pondok Bambu Jakarta
timur.
RIWAYAT
PENDIDIKAN
SD : SD
Negeri 1 CAMPURSARI Lulus tahun 2007
SMP : SMP
Negeri 1 CANDIPURO Lulus tahun 2011
SMA : SMA
Negeri 1 CANDIPURO Lulus tahun 2014
Komentar
Posting Komentar