Langsung ke konten utama

Kepribadian Manusia Hindu (Wayan Tantre Awiyane)

 

S

ecara  individu,  manusia  hidup  di  dunia  ini  mempunyai  tujuan. Manusia sesungguhnya  tidak  hanya  sekedar  dilahirkan  begitu  saja  seperti  kura-kura  atau buaya,  dan  kemudian  harus  mempertaruhkan  hidupnya  hanya  berdasarkan instingnya  saja.  Tetapi  manusia  lahir  dan  berkembang  dengan  dinamis.  Seiring dengan  pengalaman  hidupnya  berkembang  pula  sikap  mental  dan  penyesuaian dirinya, baik terhadap lingkungannya maupun terhadap cita-citanya.

Kebiasaan dan sifat-sifat  pribadi  manusia  serta  kemampuannya  dan  kecenderungannya  akan sangat tergantung oleh lingkungan sekitarnya, baik dengan agama yang dianutnya, politik,  maupun  dengan  ideologi  nasional  bangsa.  Jadi  banyak  faktor  yang mempengaruhi tata laku serta perilaku atau moral manusia dalam pencapai tujuan hidupnya.

(Dokumentasi Pribadi di Pura Adityajaya Rawamangun)

Secara  filosofi  tentang  Pendidikan  Agama  Hindu  di  Indonesia  dalam  membangun basis  kepribadian  humanis  bagi  mahasiswa  dapat  dilihat  dari  segi  sejarah munculnya peradaban manusia.  Secara historis, pada zaman dahulu, ribuan tahun sebelum masehi, yaitu pada zaman pra batu purba, manusia hidup tergantung pada alam  dan  berpindah-pindah.  Hidup  mereka  penuh  dengan  perjuangan  dan tantangan  alam.  Diperkaya  oleh  pengalamannya  dari  waktu  ke  waktu,  maka selanjutnya  mereka  mencoba  untuk  hidup  lebih  menetap  di  satu  tempat  dengan hidup  berkelompok.  Dalam  konstelasi  hidup  seperti  itu,  antara  satu  kelompok dengan  kelompok  lainnya  sering  terjadi  perselisihan,  yang  menyebabkan peperangan  dan  mengakibatkan  musnahnya  suku-suku  yang  lemah.

Gambaran hidup  sebagaimana  tersebut  tadi  sering  dilukiskan  sebagai  “Matsya  niyaya” maksudnya “politik ikan”. Ikan yang besar memangsa ikan yang kecil dan lemah.

Di dalam ilmu politik di Barat keadaan seperti itu sering digambarkan sebagai “homo homini lupus”  yaitu manusia adalah serigalanya manusia, di mana yang kuat selalu akan  menelan yang    lemah.  Pada  zaman  Yunani  Purba  tidak  mengherankan  anak laki-laki  merupakan  dambaan  keluarga,  hal  tersebut  didorong  oleh  berbagai pertimbangan kebutuhan hidup riil keluarga bersangkutan. Anak laki-laki    tidak saja dibutuhkan karena tenaganya yang kuat, akan  tetapi juga sangat didambakan untuk suatu  tugas yang  mereka  sangat  mungkin  lakukan, yakni  untuk  berperang. 

Orang mendambakan  kekuatan  jasmani.  Lama  kelamaan,  kehidupan  semakin berkembang. Orang tidak saja bekerja mengandalkan tenaga, namun secara gradual mulai  memberi  pengakuan  terhadap  kemampuan  berpikir/kepandaian  melebihi kemampuan   jasmani. Mereka mulai bisa membuktikan, bahwa    betapapun kuatnya tenaga  manusia,  namun  akhirnya  mereka  dikalahkan  oleh  kepandaian  akal.  Akal manusia  merupakan  satu  kekuatan  dari  dalam  diri  manusia  yang  amat  dahsyat.            Dengan  perkembangan  manusia,  timbul  pula  kekuatan  budi  daya  manusia,  yang sifatnya  lebih  lembut  dari  hal-hal  yang  bersifat  fisik,  hal  mana  kemudian berkembang  menjadi  “budaya”.  Perkembangan tersebut kian lama kian meningkat dan  manusiapun  akhirnya  berubah  dalam  tata  kehidupannya  dari  pola  hidup nomaden menjadi tata   hidup  petani yang cenderung menetap dengan membangun sarana  kebutuhan  hidup  mereka  dalam  menghadapi  lingkungan. 

Pada  waktu  itu agama  telah  mempunyai  bentuk  seperti  timbulnya  agama-agama  Mesir  kuno, Yunani (di belahan dunia Eropa); sedang di Asia mulai berkembang  Agama Hindu. Tiap  agama  tentunya  membawa  pengaruh  yang  amat  besar  pada  kehidupan manusia. Keterikatan manusia dan mulainya man usia memilih agama adalah karena manusia  mempunyai  keinginan  dan  pengetahuan  di  samping  pengalamannyamenyebabkan mereka mampu menentukan sikap hidupnya. Di dalam menentukan sikap hidup itu,  manusia menetukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.  Penentuan tersebut didasarkan pada nilai-nilai tentang  apa yang menjadi tujuan hidup mereka.

(Dokumentasi Dharmawacana Kegiatan Kanwil DKI Jakarta)


Pertimbangan  tata  nilai  yang  ikut  menentukan  sikapnya  terutama  dilihat  dari  segi baik atau  buruk, bermanfaat atau tidak,  benar atau salah, patut atau tidak, etis atautidak, berguna atau tidak, dan sebagainya. Semua ini menjadi faktor yang mendasari penalaran/pertimbangan    tersebut. Dengan  mulai munculnya agama-agama baru di  dunia  ini,  maka  tata  nilai  yang  hidup  sejak  dulu,  mulai  direkam  kembali  dan diabadikan dengan model budaya terbaru yang dicapai oleh umat manusia hal mana dikenal sebagai  ajaran  Agama Hindu  yang dalam bahasan teknisnya disebut ajaran dharma. 

 

Referensi

1.      Bahan Ajar Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, 2016.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.

          Pada jaman dahulu Desa Balinuraga adalah lahan milik pemerintah yang kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan Transmigrasi pada tahun 1963 dan pada tahun itu juga diberi nama Desa Balinuraga di bawah wilayah Kecamatan Kalianda. Pada tanggal 27 September 1967 Dinas Transmigrasi menempatkan 4 empat roambongan peserta Transmigrasi yang ditempatkan di Balinuraga. Rombongan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250 KK 2 Sukanadi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 KK 3 Pandearge diketuai oleh Made Gedah yang berjumlah 175 KK 4 Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 KK Dan tahun 1963-1965 wilayah ini belum mempunyai struktur Pemerintah Desa.            Segala administrasi masih ditangani oleh Jawatan transmigrasi. Mangku Siman, untuk mengordinir rombongan-rombongan trasnmigrasi Mangku Siman sebagai ketua rombongan seluruhnya. Pada tahun 1965 barulah perangk...

Catur Warna dalam Agama Hindu

  Pemahaman tentang Catur Varna dapat dijelaskan berdasarkan sastra drstha. Yang dimaksud pemahaman Catur Varna berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang Catur Varna menurut yang tersurat dalam kitab suci, sebagai berikuti; Bhagavadgita IV.13  cātur-varṇyaḿ mayā sṛṣṭaḿ guṇa-karma-vibhāgaśaḥ tasya kartāram api māḿ viddhy akartāram avyayam Terjemahan: Catur Warna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma  (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah  aku mengatasi gerak dan perubahan (Puja, 2000). Pengertian Catur Varna           Kata “Catur Varna” dalam ajaran Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata ‘catur dan varna’. Kata catur berarti empat . Kata varna berasal dari akar kata Vri yang berarti pilihan atau memilih lapanagan kerja. Dengan demikian catur varna berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadiny...

Peresmian dan Launching Rumah Produksi BPH: Tonggak Baru Penyiaran Hindu di Era Digital

 Jakarta, 15 Oktober 2024 – Badan Penyiaran Hindu (BPH) mencatat sejarah baru dengan meresmikan dan meluncurkan Rumah Produksi BPH, sebagai bagian dari upaya mengembangkan media penyiaran yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu. Kegiatan peresmian ini berlangsung khidmat di Jakarta Selatan, dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan pemangku kepentingan umat Hindu. Dokumentasi Acara Peresmian tersebut diawali dengan sambutan dari Dr. I Wayan Kantun Mandara, Ketua BPH dan juga tokoh terkemuka di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya keberadaan rumah produksi ini sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dharma melalui media yang inovatif. "Rumah Produksi BPH ini akan menjadi pusat bagi kita untuk menciptakan konten yang tidak hanya mendidik tetapi juga mampu menginspirasi umat Hindu dalam menjalankan nilai-nilai agama di tengah tantangan zaman modern," ujar Dr. I Wayan Kantun Mandara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sam...