S
|
raddha
mengandung makna yang
sangat luas, yakni keyakinan
atau keimanan. Dalam memperluas
wawasan kita tentang
istilah ini, beberapa
pengertian istlah Sraddha akan
ditinjau dari beberapa pandangan, seperti diungkapkan Yaska dalam bukunya Nighantu (III.
10), yaitu: kata Sraddha berasal dari akar
kata srat yang berarti kebenaran.
Menurut
Lexicographer Amarasimha dalam
bukunya Amarakosa (III.
102), menyatakan bahwa sraddha
mengandung makna suatu
keyakinan atau keinginan (Seshagiri Rao,
1974: 6). Di dalam A
Sanskrit-English Dictionary, karya
Sir Monier Monierm Williams
(1990:1095) kata Sraddha
diterjemahkan sebagai suatu keimanan,
kepercayaan, keyakinan, penuh kepercayaan, penuh keimanan, dan loyal.
Sedangkan
di dalam The Practical Sanskrit-English Dictionary, karya VS. Apte (1978: 930), kata sraddha
diartikan sebagai suatu
kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan; kepercayaan kepada sabda
Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama; dan ketenangan jiwa,
kesabaran dalam pikiran;
akrab, intim, kekeluargaan; hormat, menaruh penghargaan;
kuat penuh semangat;
dan kandungan ibu
yang berumur lama.
Dari kata sraddha
ini lalu
mucul kata sraddhalu, yang artinya
kepercayaan, penuh keimanan; kerinduan,
dan keinginan terhadap
sesuatu. Manusia terbentuk oleh
keyakinannya dan keyakinannya itulah sesungguhnya dia (Bhagavadgita XVII.2-3).
Menurut Oka
Punia Atmaja (1971),
merumuskan sraddha ke dalam
lima jenis keyakinan, antara
lain:
1. Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha,
keimanan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya.
2. Atma Tattwa
atau Atma Sraddha, keimanan terhadap
Atma yang Menghidupkan semua makhluk.
3. Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha,
keimanan terdap kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari
perbuatan.
4. Samsara atau Punarbhawa Tattwa/Punarbhawa Sraddha,
keimanan terhadap kelahiran
kembali.
5. Moksa Tattwa
atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap
kebebasan yang tertinggi bersatunya Anna dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Bhagavadglta (III.31,
IV.39,40) menyatakan mengenai sraddha ini sebagai berikut: mereka yang
selalu mengikuti ajaran-Ku
dengan penuh keyakinan
(Sraddha) serta bebas dari
keinginan duniawi juga
akan bebas dari
keterikatan ia yang
memiliki keimanan yang mantap (Sraddha) memperoleh ilmu pengetahuan,
menguasai panca indrianya, setelah memiliki
ilmu pengetahuan dengan
segera mencapai kedamaian yang abadi; Tetapi mereka yang
dungu, yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak memiliki keimanan
dan diliputi keragu-raguan, orang
yang demikian ini
tidak memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan dunia lainnya (Pudja,
2003: 97).
Keyakinan atau
kepercayaan manusia itu
harus dilandasi juga
dengan bhakti, karena jika hanya
sraddha saja tanpa adanya bakti dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan
itu, maka tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Anda sebagai mahasiswa,
renungkanlah hal ini, terutama apa yang diungkap dalam Bhagavadgita (VI.37) seperti
berikut: seseorang yang
tidak mampu mengontrol
dirinya sendiri, walaupun ia
memiliki Sraddha, apabila pikirannya mengembara kemana-mana, jauh dari Yoga,
apakah yang akhirnya
akan diperoleh wahai
Krsna, tentunya gagal mencapai kesempurnaan
di dalam Yoga".
Demikian pula di
dalam Bhagavadgita VI.47, disebutkan: di antara
para Yogi, yang
memuja Aku dengan
penuh keimanan yang mantap, yang
hatinya menyatu kepada Aku, inilah menurut pendapat-Ku yogi yang paling
sempurna.
Hal
ini ditegaskan kembali dalam terjemahan Bhagavadgita VII.22, yang dinyatakan sebagai
berikut: berpegang teguh pada keyakinannya itu, mereka berbhakti melalui keyakinannya, daripadanya
memperoleh apa yang
diharapkan mereka, yang sebenarnya akan terkabulkan oleh-Ku.
Pernyataan terakhir ini menunjukkan bahwa betapa toleransi
atau penghargaan terhadap
keimanan atau keyakinan
seseorang sangat dihargai, karena
dengan kebhaktiannya itu akan
terkabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran
suci
diturunkan oleh Sang
Hyang Widhi, Tuhan
Yang Maha Esa
merupakan pegangan hidup dan
kehidupan umat manusia.
Seseorang yang memiliki sraddha dan pegangan yang kuat,
tidak akan khawatir
dalam meniti kehidupan.
Ajaran agama membimbing manusia
bagaimana seharusnya hidup,
bagaimana meniti hidup, apa
tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang
mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.
Dalam
kehidupan ini, banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia
menuju jurang kehancuran. Di
antara banyak hal yang
menjerumuskan diri manusia,
kitab suci Bhagavadglta menyatakan
adanya 3 sifat
atau dorongan, yaitu nafsu
(kama), emosi (krodha), dan ambisi
(lobha) yang digambarkan sebagai
tiga pintu gerbang menuju neraka.
Di dalam kitab
Bhagavadglta XVI.21, dinyatakan: Inilah tiga
pintu gerbang menuju neraka,
jalan menuju jurang
kehancuran diri, yaitu:
nafsu (Kama), amarah (Krodha),
dan ambisi/serakah (Lobha),
setiap orang harus
meninggalkan sifat ini.
Ketiga sifat-sifat
atau kecendrungan itu
sering menjerumuskan umat manusia pada kehancuran diri dan
lingkungannya. Untuk dapat mengatasi hal itu seseorang harus kembali
berpegang kepada ajaran agama yang
ditunjukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa/Sang
Hyang Widhi seperti tercantum dalam
kitab suci Veda
dan kesusastraan Hindu lainnya.
Dalam hal
ini pendidikan spiritual, moral,
dan etika, hendaknya
semakin ditingkatkan dan direalisasikan dalam
kehidupan nyata, sehari-hari
baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat,
baik dalam lingkungan keluarga,
lingkungan sosial maupun dalam
hubungannya dengan kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Referensi:
1. Pudja,
I Gde, Bhagawag Gita, Paramita, Surabaya, 2003.
2. Prabhupada, AC
Bhaktivedanta Swami,
Bhagavad-gita Menurut Aslinya.
Hanuman Sakti, Lisensi The Bhaktivedanta Book Trust International, Inc,
Jakarta, 2006.
Komentar
Posting Komentar