ASN dan Nilai-nilai Dharma Negara dalam Hindu

Gambar
        ASN adalah salah suatu pekerjaan yang didambakan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tak terkecuali generasi muda Hindu yang turut berpartisipasi dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Sehingga perlu untuk melampirkan tulisan ini sebagai bentuk syukur atas waranugraha dan kesempatan yang baik dalam melaksanakan karma dan bhakti sebagai manusia.        Dalam pandangan Hindu, konsep Dharma tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga memandang kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan administrasi negara. Dharma Negara, atau tata pemerintahan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika, menjadi landasan bagi ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Bagaimana pandangan Hindu menggambarkan ideal ASN sebagai penerapan nilai-nilai Dharma Negara?  (Dokumen Pribadi)           Dalam tradisi Hindu, Dharma mengacu pada kewajiban moral dan etika yang mengatur perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan. Dharma juga mencakup konsep tata tertib dan

Anak Berbhakti (Suputra) Kepada Orang Tua dalam Hindu

 Sadhuᒡputraᒡhiranyayam.

Terjemahannya:

‘Semoga  kami  memperoleh  seorang  putra  yang  mulia  dan  makmur 

(Atharvaveda XX. 129. 5).


Memahami Teks: 

Kehadiran  seorang  putra  (anak  yang baik)  dalam  kehidupan  berumah-tangga sangat  diharapkan.  Dalam  rumah  tangga sebagai anak yang berbudi pekerti baik, akan selalu  dituntut  untuk  dapat  melaksanakan ajaran  agama  yang  dianutnya  secara  baik dan  benar.  Melaksanakan  ajaran-Nya  berarti harus meninggalkan segala laranganNya.  Sifat  dan  sikap  yang  demikian  adalah  merupakan  wujud  dari  salah  satu swadharma anak yang berbhakti kepada orang tuanya. Dalam arti luas anak-anak yang berbhakti kepada orang tuanya berarti berbuat sesuatu yang baik terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam sekitar kita. Sedangkan dalam arti sempit anak-anak yang berbhakti kepada orang tuanya dapat diartikan anak yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan petuah dan petunjuk-petunjuk orang tuanya.

Sa vahniá putraá pitroá pavitrav¢n,

pun¢ti dhiro bhuvanani mayaya.

Terjemahannya:

’Putra dari orang tua (ayah) yang mulia, saleh, gagah-berani, dan berseriseri bagaikan Sang Hyang AgnimembeRsihkan (menyucikan) dunia ini dengan perbuatan-perbuatannya yang hebat’ (Rgveda VI. 160.3)

Permasalahan yang sering dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah demikian  adanya. Kadang-kadang  seorang  anak  sulit  untuk  menghindarkan diri dari pengaruh teman, bahkan seringkali malah ikut-ikutan terbujuk untuk berbuat negatif.  Sifat dan sikap munafik itu masih mewarnai anak-anak bangsa ini dalam hidup dan kehidupannya. Misalnya yang bersangkutan seolah-olah dengan sungguh-sungguh melaksanakan swadharma agamanya, namun sejatinya dalam kehidupan sehari-hari segala perbuatan dan tindak-tanduknya  sangat  bertentangan  dengan  ajaran  Ketuhanan.  Pengamatan sementara  yang  kita  dapatkan  melalui  media  baik  cetak  maupun  elektronik ternyata masih ada anak-anak bangsa ini yang nampak rajin melakukan ibadah agamanya  lalu  bersikap anarkis  yang  nyata-nyata  dapat  menyesatkan  dan menyengsarakan kelangsungan hidupnya di kemudian hari. Di mana hati nurani anak orang yang berprilaku demikian? 

Ingatlah bahwa:

Kelahiran sebagai manusia ini adalah neraka bagi Dewa-dewa, neraka bagi manusia biasa ialah kelahiran menjadi binatang ternak, neraka bagi binatang ternak ialah kelahiran menjadi binatang hutan, neraka bagi binatang hutan/buas ialah kelahiran menjadi bangsa burung, neraka bagi bangsa burung ialah kelahiran menjadi binatang busuk, neraka bagi binatang busuk ialah kelahiran menjadi binatang penyengat, neraka binatang penyengat ialah kelahiran menjadi binatang berbisa, karena binatang berbisa ini sangat berbahaya dan kejam. (Slokantara -52-53 (13-14) hal. 80).

Bila  perbuatan  seperti  itu  yang  dilakukan,  maka  sudah  jelas  anak  yang bersangkutan tidak dapat lagi disebut taat dan patuh dengan ajaran agamanya dan berbhakti kepada orang tuanya. Agar sikap taat dan kepatuhan itu tertanam dalam diri seorang anak serta dapat terus-menerus bersikap bhakti kepada orang tuanya  maka  perlu  ada  upaya  yang  harus  dilakukan.  Upaya  yang  dimaksud adalah dengan meningkatkan swadharma hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.  Agama  yang  kita  pelajari  bukan  hanya  sebagai  pengetahuan, namun harus disertai keyakinan dan keimanan untuk mengamalkannya. Semakin banyak  mempelajari  agama,  semakin  bertambahlah  pengetahuan  keagamaan kita. Oleh sebab itu, hendaknya semakin meningkat swadharmaatau ibadahnya dan rasa sosial serta kesetia-kawanannya. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran agama mendorong manusia dan masyarakat untuk berbuat baik dan  benar.  Kebaikan  dan  kebenaran  adalah  anugrah  Tuhan  yang  wajib  kita jalankan. Beribadah kepada Tuhan merupakan kewajiban kita sebagai makhluk, insan,  dan  hamba  Tuhan.  Ikut  serta  dalam  berbagai  kegiatan-kegiatan  sosioal merupakan kepedulian kita sebagai pencerminan orang yang taat melaksanakan swadharma.  Perbuatan  yang  dapat  dikatakan  sebagai  pencerminan  seorang anak yang berbhakti kepada orang tuanya dan taat serta patuh terhadap ajaran agamanya, meliputi;

a.  Bhakti dan Taat Kepada Orang Tua, Guru, dan Orang yang Lebih Tua

Berbhakti kepada orang tua, guru, dan orang yang dituakan berarti kita mau mendengarkan  dan  mampu  melaksanakan  nasehat-nasehatnya,  menghormati, menyayangi,  dan  tidak  pernah  berpikir,  berkata  serta  berperilaku  menyakiti perasaan mereka. Hal semacam ini penting dilakukan kepada mereka yang patut kita hormati.

b.  Membiasakan  Diri  Mengoreksi  Diri  Sendiri  serta  Perbuatan  yang Selaras dengan Ketentuan-ketentuan Agama dan Negara 

Selalu mengusahakan dan mengupayakan mawas diri serta koreksi diri adalah perbuatan  yang  terpuji.  Mawas  diri  dimaksudkan  agar  kita  tidak  terpengaruh oleh berbagai desas-desus yang membawa ke arah kehancuran. Kita tidak boleh gegabah  dalam  bertindak  sebelum  tahu  betul  sesuatu  apa  yang  seharusnya diperbuat. Koreksilah diri kita terlebih dahulu apakah perbuatan-perbuatan kita sudah sesuai dengan ketentuan agama maupun ketentuan negara. Untuk dapat mengoreksi  diri  diperlukan  kejujuran  dan  keberanian.  Apabila  tingkah  laku kita memang belum sesuai dengan ketentuan itu, maka segeralah kita berusaha memperbaikinya.  Dengan  mawas  diri  dan  koreksi  diri  dapat  membawa  kita selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari perbuatan tercela.

c.  Membiasakan  Diri  untuk  Selalu  Berpikir,  Berucap  dan  Berprilaku yang Baik 

Dalam kehidupan sehari-hari kita harus berpikir, berucap dan berprilaku yang baik. Merendahkan diri kepada orang lain, tidak suka membanggakan diri sendiri, sabar dalam menghadapi gangguan dan cobaan serta tidak marah, mengeluh serta berputus asa. Hindarkan diri dari perbuatan memutus tali persahabatan sesama teman. Tidak suka bertengkar apalagi berkelahi atau tawuran. Setiap orang harus merasa malu untuk melakukan perbuatan yang buruk walaupun tidak ada yang melihatnya. Ajaran agama mengajarkan bahwa Tuhan maha melihat.

d.  Menyelenggarakan  Kegiatan  Keagamaan  dalam  Berbagai  Macam Kehidupan 

Kegiatan keagamaan bukan hanya dapat dilaksanakan dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan, tetapi dapat juga dilakukan dengan selalu mawas diri atau mulat sarira.

e.  Melakukan Bhakti Sosial 

Bhakti sosial adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar sukarela dan penuh keihklasan untuk kepentingan bersama maupun untuk menolong orang lain. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan material maupun spiritual ke panti-panti asuhan, panti jompo maupun tempat-tempat penampungan korban  bencana  alam.  Bhakti  sosial  bersama  masyarakat  dapat  diwujudkan dengan  kerja  bhakti  bersama  membersihkan  lingkungan,  memperbaiki  jalanjalan  kampung  yang  rusak,  dan  ikut  mendirikan  rumah  bagi  penduduk  yang sedang ditimpa bencana alam. Dalam kehidupan ini, kita diharapkan dapat bekerja-sama, saling menyayangi, saling  memberi  dan  menerima,  serta  saling  mengingatkan  dan  menasehati. Terkadang kita berbuat suatu kesalahan atau berbuat yang merugikan berbagai pihak tanpa kita sadari. Kita harus siap menerima teguran dari kawan atau siapa saja. Kawan yang baik adalah kawan yang mau menunjukkan kesalahan kita, bukan kawan yang selalu memuji-muji kita saja.

Bulan itu lampu di malam hari, Surya atau matahari lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga. (Slokantara -24 (52) hal. 44).

Demikianlah  setiap  anak  hendaknya  dapat  berbhakti  kepada  orang  tua sebagai wujud nyata mematuhi dan menaati agamanya masing-masing. Di antara mereka yang sudah mematuhi dan menaati ajaran agama sesungguhnya adalah orang-orang yang berbudi pekerti luhur dengan pahala yang baik.

Terjemahannya:

Seorang  anak  harus  melakukan  apa  yang  disetujui  oleh  kedua  orang tuanya dan apa yang menyenangkan gurunya; kalau ke tiga orang itu senang ia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya (Manawa Dharmasastra, II.228).

Dalam kitab Taittiriya Upanisad disebutkan bahwa ayah dan ibu itu adalah ibarat perwujudan Deva dalam keluarga: “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. Vana Parva 27, 214 menyebutkan bahwa ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi.

Di Bali ayah dan ibu disebut sebagai Guru Rupaka di samping Hyang Widhi sebagai  Guru  Svadyaya,  pemerintah  sebagai  Guru  Visesa,  dan  para  pengajar sebagai  Guru  Pengajian.  Ada  lima  hal  yang  menyebabkan  anak-anak  harus berbakti kepada ayah dan ibunya, yang dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebut sebagai Panca Vida, yaitu:

1.  Sang Ametwaken, karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibu, maka  lahirlah  anak-anak  dari  kandungan  ibu.  Perjalanan  hidup  ayah  dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Gryahasta, sampai  mengandung  bayi  dan  selanjutnya  melahirkan,  dipenuhi  dengan pengorbanan-pengorbanan.

2.  Sang Nitya Maweh Bhinojana, ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.

3.  Sang  Mangu  Padyaya,  ayah  dan  ibu  menjadi  pendidik  dan  pengajar utama.  Sejak  bayi  anak-anak  diajari  menyuap  nasi,  merangkak,  berdiri, berbicara,  sampai  menyekolahkan.  Pendidikan  dan  pengajaran  oleh  aya dan ibu merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.

4.  Sang  Anyangaskara,  ayah  dan  ibu  melakukan  upacara-upacara  manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan mensucikan atma dan stula sarira. Upacara-upacara itu sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.

5.  Sang  Matulung  Urip  Rikalaning  Baya,  ayah  dan  ibulah  pembela  anakanaknya  bila  menghadapi  bahaya,  menghindarkan  serangan  penyakit  dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya. 

Oleh karena itu, pahala bagi anak-anak yang berbahakti kepada orang tua seperti yang dijelaskan dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan ada empat pahala yang diterima oleh anak-anak yang berbakti kepada orang tua:

1.  Kirti

Selalu  dipuji  dan  didoakan  untuk  mendapatkan  kerahayuan  oleh  sanak keluarga dan orang-orang lain keluarga, karena dipandang terhormat. Puji  dan  doa  yang  positif  seperti  itu  akan  mendorong  aktivitas  dan gairah  kehidupan  sehingga  anak-anak  akan  menjadi  lebih  meningkat  kualitas kehidupannya.

2.  Ayusa. 

Berumur panjang dan sehat Umur panjang dan sehat sangat diperlukan agar manusia dapat menempuh tahapan-tahapan kehidupannya dengan sempurnya, yaitu melalui Catur ashrama: Brahmacarya,  gryahasta,  wanaprastha,  dan  bhiksuka.  Brahmacarya  adalah masa  menempuh  pendidikan,  gryahastha  adalah  masa  berumah  tangga  dan mengembangkan keturunan, wanaprastha adalah masa menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih suci, dan bhiksuka adalah masa kehidupan yang suci, lepas dari ikatan-ikatan keduniawian.

3.  Bala

Mempunyai  kekuatan  yang  tangguh  dalam  menempuh  kehidupan  baik ketangguhan  yang  berupa  pemenuhan  kebutuhan  hidup,  kemampuan  untuk memecahkan  masalah-masalah  kehidupan,  dan  juga  ketangguhan  dalam  arti menguatkan kesucian mental/ rohani.

4.  Yasa Pattinggal Rahayu

Kebaktian pada orang tua akan menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya dan akan dilanjutkan, sehingga bila anak-anak sudah menjadi tua atau meninggal dunia, secara sambung menyambung para keturunannya-pun akan menghormati dan berbakti kepadanya, karena kebaktian itu sudah menjadi tradisi yang baik di dalam keluarganya.

Guru  tidak  terpaku  mengajarkan  siswa  dari  buku  siswa  tetapi  dapat mengembangkan  materi  dari  sumber  lain  yang  ada  dimasyarakat  terutama dari  pengalaman  langsung  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Dapat  juga  melalui dalam  kegiatan  ekstrakurikuler.  memberikan  motivasi  kepada  siswanya  untuk bertanya, mengerjakan soal-soal latihan, memberikan evaluasi, dan setiap akhir pembelajaran memberikan tugas-tugas baik mandiri maupun tugas berkelompok untuk mendapatkan imformasi kompetensi peserta didik berkaitan dengan materi Wiwaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stah Dharma Nusantara Jakarta Melaksanakan Kegiatan Pembinaan Pasraman

Kegiatan KKG dan MGMP di DKI Jakarta

Sejarah Singkat Desa Balinuraga, Kec. Way Panji, Kalianda, Lampung Selatan.