Sadhuá’¡putraá’¡hiranyayam.
Terjemahannya:
‘Semoga kami memperoleh seorang putra yang mulia dan makmur
(Atharvaveda XX. 129. 5).
Memahami Teks:
Kehadiran seorang putra (anak yang baik) dalam kehidupan berumah-tangga sangat diharapkan. Dalam rumah tangga sebagai anak yang berbudi pekerti baik, akan selalu dituntut untuk dapat melaksanakan ajaran agama yang dianutnya secara baik dan benar. Melaksanakan ajaran-Nya berarti harus meninggalkan segala laranganNya. Sifat dan sikap yang demikian adalah merupakan wujud dari salah satu swadharma anak yang berbhakti kepada orang tuanya. Dalam arti luas anak-anak yang berbhakti kepada orang tuanya berarti berbuat sesuatu yang baik terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam sekitar kita. Sedangkan dalam arti sempit anak-anak yang berbhakti kepada orang tuanya dapat diartikan anak yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan petuah dan petunjuk-petunjuk orang tuanya.
Sa vahniá putraá pitroá pavitrav¢n,
pun¢ti dhiro bhuvanani mayaya.
Terjemahannya:
’Putra dari orang tua (ayah) yang mulia, saleh, gagah-berani, dan berseriseri bagaikan Sang Hyang AgnimembeRsihkan (menyucikan) dunia ini dengan perbuatan-perbuatannya yang hebat’ (Rgveda VI. 160.3)
Permasalahan yang sering dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah demikian adanya. Kadang-kadang seorang anak sulit untuk menghindarkan diri dari pengaruh teman, bahkan seringkali malah ikut-ikutan terbujuk untuk berbuat negatif. Sifat dan sikap munafik itu masih mewarnai anak-anak bangsa ini dalam hidup dan kehidupannya. Misalnya yang bersangkutan seolah-olah dengan sungguh-sungguh melaksanakan swadharma agamanya, namun sejatinya dalam kehidupan sehari-hari segala perbuatan dan tindak-tanduknya sangat bertentangan dengan ajaran Ketuhanan. Pengamatan sementara yang kita dapatkan melalui media baik cetak maupun elektronik ternyata masih ada anak-anak bangsa ini yang nampak rajin melakukan ibadah agamanya lalu bersikap anarkis yang nyata-nyata dapat menyesatkan dan menyengsarakan kelangsungan hidupnya di kemudian hari. Di mana hati nurani anak orang yang berprilaku demikian?
Ingatlah bahwa:
Kelahiran sebagai manusia ini adalah neraka bagi Dewa-dewa, neraka bagi manusia biasa ialah kelahiran menjadi binatang ternak, neraka bagi binatang ternak ialah kelahiran menjadi binatang hutan, neraka bagi binatang hutan/buas ialah kelahiran menjadi bangsa burung, neraka bagi bangsa burung ialah kelahiran menjadi binatang busuk, neraka bagi binatang busuk ialah kelahiran menjadi binatang penyengat, neraka binatang penyengat ialah kelahiran menjadi binatang berbisa, karena binatang berbisa ini sangat berbahaya dan kejam. (Slokantara -52-53 (13-14) hal. 80).
Bila perbuatan seperti itu yang dilakukan, maka sudah jelas anak yang bersangkutan tidak dapat lagi disebut taat dan patuh dengan ajaran agamanya dan berbhakti kepada orang tuanya. Agar sikap taat dan kepatuhan itu tertanam dalam diri seorang anak serta dapat terus-menerus bersikap bhakti kepada orang tuanya maka perlu ada upaya yang harus dilakukan. Upaya yang dimaksud adalah dengan meningkatkan swadharma hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Agama yang kita pelajari bukan hanya sebagai pengetahuan, namun harus disertai keyakinan dan keimanan untuk mengamalkannya. Semakin banyak mempelajari agama, semakin bertambahlah pengetahuan keagamaan kita. Oleh sebab itu, hendaknya semakin meningkat swadharmaatau ibadahnya dan rasa sosial serta kesetia-kawanannya. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran agama mendorong manusia dan masyarakat untuk berbuat baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran adalah anugrah Tuhan yang wajib kita jalankan. Beribadah kepada Tuhan merupakan kewajiban kita sebagai makhluk, insan, dan hamba Tuhan. Ikut serta dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosioal merupakan kepedulian kita sebagai pencerminan orang yang taat melaksanakan swadharma. Perbuatan yang dapat dikatakan sebagai pencerminan seorang anak yang berbhakti kepada orang tuanya dan taat serta patuh terhadap ajaran agamanya, meliputi;
a. Bhakti dan Taat Kepada Orang Tua, Guru, dan Orang yang Lebih Tua
Berbhakti kepada orang tua, guru, dan orang yang dituakan berarti kita mau mendengarkan dan mampu melaksanakan nasehat-nasehatnya, menghormati, menyayangi, dan tidak pernah berpikir, berkata serta berperilaku menyakiti perasaan mereka. Hal semacam ini penting dilakukan kepada mereka yang patut kita hormati.
b. Membiasakan Diri Mengoreksi Diri Sendiri serta Perbuatan yang Selaras dengan Ketentuan-ketentuan Agama dan Negara
Selalu mengusahakan dan mengupayakan mawas diri serta koreksi diri adalah perbuatan yang terpuji. Mawas diri dimaksudkan agar kita tidak terpengaruh oleh berbagai desas-desus yang membawa ke arah kehancuran. Kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebelum tahu betul sesuatu apa yang seharusnya diperbuat. Koreksilah diri kita terlebih dahulu apakah perbuatan-perbuatan kita sudah sesuai dengan ketentuan agama maupun ketentuan negara. Untuk dapat mengoreksi diri diperlukan kejujuran dan keberanian. Apabila tingkah laku kita memang belum sesuai dengan ketentuan itu, maka segeralah kita berusaha memperbaikinya. Dengan mawas diri dan koreksi diri dapat membawa kita selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari perbuatan tercela.
c. Membiasakan Diri untuk Selalu Berpikir, Berucap dan Berprilaku yang Baik
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus berpikir, berucap dan berprilaku yang baik. Merendahkan diri kepada orang lain, tidak suka membanggakan diri sendiri, sabar dalam menghadapi gangguan dan cobaan serta tidak marah, mengeluh serta berputus asa. Hindarkan diri dari perbuatan memutus tali persahabatan sesama teman. Tidak suka bertengkar apalagi berkelahi atau tawuran. Setiap orang harus merasa malu untuk melakukan perbuatan yang buruk walaupun tidak ada yang melihatnya. Ajaran agama mengajarkan bahwa Tuhan maha melihat.
d. Menyelenggarakan Kegiatan Keagamaan dalam Berbagai Macam Kehidupan
Kegiatan keagamaan bukan hanya dapat dilaksanakan dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan, tetapi dapat juga dilakukan dengan selalu mawas diri atau mulat sarira.
e. Melakukan Bhakti Sosial
Bhakti sosial adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar sukarela dan penuh keihklasan untuk kepentingan bersama maupun untuk menolong orang lain. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan material maupun spiritual ke panti-panti asuhan, panti jompo maupun tempat-tempat penampungan korban bencana alam. Bhakti sosial bersama masyarakat dapat diwujudkan dengan kerja bhakti bersama membersihkan lingkungan, memperbaiki jalanjalan kampung yang rusak, dan ikut mendirikan rumah bagi penduduk yang sedang ditimpa bencana alam. Dalam kehidupan ini, kita diharapkan dapat bekerja-sama, saling menyayangi, saling memberi dan menerima, serta saling mengingatkan dan menasehati. Terkadang kita berbuat suatu kesalahan atau berbuat yang merugikan berbagai pihak tanpa kita sadari. Kita harus siap menerima teguran dari kawan atau siapa saja. Kawan yang baik adalah kawan yang mau menunjukkan kesalahan kita, bukan kawan yang selalu memuji-muji kita saja.
Bulan itu lampu di malam hari, Surya atau matahari lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga. (Slokantara -24 (52) hal. 44).
Demikianlah setiap anak hendaknya dapat berbhakti kepada orang tua sebagai wujud nyata mematuhi dan menaati agamanya masing-masing. Di antara mereka yang sudah mematuhi dan menaati ajaran agama sesungguhnya adalah orang-orang yang berbudi pekerti luhur dengan pahala yang baik.
Terjemahannya:
Seorang anak harus melakukan apa yang disetujui oleh kedua orang tuanya dan apa yang menyenangkan gurunya; kalau ke tiga orang itu senang ia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya (Manawa Dharmasastra, II.228).
Dalam kitab Taittiriya Upanisad disebutkan bahwa ayah dan ibu itu adalah ibarat perwujudan Deva dalam keluarga: “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. Vana Parva 27, 214 menyebutkan bahwa ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi.
Di Bali ayah dan ibu disebut sebagai Guru Rupaka di samping Hyang Widhi sebagai Guru Svadyaya, pemerintah sebagai Guru Visesa, dan para pengajar sebagai Guru Pengajian. Ada lima hal yang menyebabkan anak-anak harus berbakti kepada ayah dan ibunya, yang dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebut sebagai Panca Vida, yaitu:
1. Sang Ametwaken, karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibu, maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu. Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Gryahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
2. Sang Nitya Maweh Bhinojana, ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
3. Sang Mangu Padyaya, ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama. Sejak bayi anak-anak diajari menyuap nasi, merangkak, berdiri, berbicara, sampai menyekolahkan. Pendidikan dan pengajaran oleh aya dan ibu merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
4. Sang Anyangaskara, ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan mensucikan atma dan stula sarira. Upacara-upacara itu sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
5. Sang Matulung Urip Rikalaning Baya, ayah dan ibulah pembela anakanaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.
Oleh karena itu, pahala bagi anak-anak yang berbahakti kepada orang tua seperti yang dijelaskan dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan ada empat pahala yang diterima oleh anak-anak yang berbakti kepada orang tua:
1. Kirti
Selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan oleh sanak keluarga dan orang-orang lain keluarga, karena dipandang terhormat. Puji dan doa yang positif seperti itu akan mendorong aktivitas dan gairah kehidupan sehingga anak-anak akan menjadi lebih meningkat kualitas kehidupannya.
2. Ayusa.
Berumur panjang dan sehat Umur panjang dan sehat sangat diperlukan agar manusia dapat menempuh tahapan-tahapan kehidupannya dengan sempurnya, yaitu melalui Catur ashrama: Brahmacarya, gryahasta, wanaprastha, dan bhiksuka. Brahmacarya adalah masa menempuh pendidikan, gryahastha adalah masa berumah tangga dan mengembangkan keturunan, wanaprastha adalah masa menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih suci, dan bhiksuka adalah masa kehidupan yang suci, lepas dari ikatan-ikatan keduniawian.
3. Bala
Mempunyai kekuatan yang tangguh dalam menempuh kehidupan baik ketangguhan yang berupa pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan, dan juga ketangguhan dalam arti menguatkan kesucian mental/ rohani.
4. Yasa Pattinggal Rahayu
Kebaktian pada orang tua akan menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya dan akan dilanjutkan, sehingga bila anak-anak sudah menjadi tua atau meninggal dunia, secara sambung menyambung para keturunannya-pun akan menghormati dan berbakti kepadanya, karena kebaktian itu sudah menjadi tradisi yang baik di dalam keluarganya.
Guru tidak terpaku mengajarkan siswa dari buku siswa tetapi dapat mengembangkan materi dari sumber lain yang ada dimasyarakat terutama dari pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga melalui dalam kegiatan ekstrakurikuler. memberikan motivasi kepada siswanya untuk bertanya, mengerjakan soal-soal latihan, memberikan evaluasi, dan setiap akhir pembelajaran memberikan tugas-tugas baik mandiri maupun tugas berkelompok untuk mendapatkan imformasi kompetensi peserta didik berkaitan dengan materi Wiwaha.
Komentar
Posting Komentar