Kepada
yang disucikan pinandita lanang istri
Kepada
yang saya hormati sesepuh pini sepuh umat
Kepada
yang saya banggakan umat sedharma sekalian.
Sebelumnya saya haturkan
panganjali
Om
Swastyastu
Om
Anubadrah Kratawoyantuwiswatah,
Umat
sedharma yang berbahagia
Terimakasih atas
kesempatan yang telah diberikan kepada saya, Pada kesempatan yang baik ini saya
akan menyampaikan pesan dharma, semoga pesan dharma ini dapat menambah wawasan
dan tentunya bermanfaat bagi kita semua.
Pertama-tama marilah
kita haturkan puja Asthungkare kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas Ashungkerta waranugraha beliaulah
kita dapat berkumpul bersama-sama di pura Aditya Jaya Rawamangun yang
suci ini dalam keadaan yang sehat, selamat, serta tanpa kekurangan suatu
apapun. Yang kedua tidak lupa juga kita marilah haturkan puja Astuti bhakti
kita kehadapan para leluhur, maha Rsi serta para guru yang telah membimbing
kita hingga pada kesempatan ini.
Sebelumnya pada penyampaian
pesan dharma ini saya tidak menggurui umat sedharma, melainkan saya menjadikan
kesempatan ini untuk membagi pengetahuan yang saya pahami. Dalam kesempatan ini
saya mengambil judul Menemukan Diri
Sejati.
Agama Hindu merupakan
agama yang tertua dengan ajaran-ajarannya yang bersumber dari Weda yang
merupakan wahyu Hyang Widhi melalui
para rsi, bila kita dapat mempelajari Weda secara mantap maka kita akan
memperoleh kententraman dan kesejahteraan hidup yang sejati yang disebut dengan
Moksartam jagadhita ya ca iti dharma.
Salah satu ajaran yang
penting sebagai dasar bagi umat Hindu untuk melaksanakan aktivitas keagamaan
adalah ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu yang disebut dengan tattwa,
susila dan acara. Ajaran ini merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat
dipisahkan, persembahyangan purnama tilem merupakan bagian dari implementasi
ajaran tri kerangka yang menjadi
landasan terpenting yakni bidang tattwa, filosofi
ketuhanan, dalam bidang susila etika
dalam perprilaku serta dalam bidang ritual keagamaan atau acara.
Dalam kehidupan ini kita
selalu diberikan kesehatan, keselamatan serta kesejahteraan. Sehingga sesuai
dengan anugrah yang diberikan oleh Sang hyang widhi kita harus bersyukur atas
apa yang telah kita dapatkan, salah satu caranya dengan melakukan
persembahyang pada saat hari purnama
ini.
Bulan yang terang
benderang kemudian berubah menjadi
gelap-gulita, itu disebut dengan gerhana bulan. Tanda -tanda alam
seperti ini sering dihubung-hubungkan akan terjadinya peristiwa di bumi. Misalnya
beberapa hari atau beberapa minggu di daerah tertentu terjadi bencana alam,
wabah penyakit, keributan atau bentrok antar masa dan sebagainya. Untuk
menggantisipasi hal tersebut, orang-orang yang bijaksana, orang-orang wikan,
para sesepuh, para rohaniawan dan yang mengetahui seluk-beluk kejadian
tanda-tanda alam, biasanya sepakat melakukan yoga semadhi dan mendoakan agar
bumi ini terhindar dari bencana.
Melalui pesan dharma ini
saya akan menyampaikan beberapa hal:
1. Bagaimanakah makna hari bulan
purnama?
2. Bagaimanakah implementasi
nilai-nilai purnama dalam kehidupan?
Umat
sedharma yang berbahagia
Purnama
tilem merupakan salah satu hari suci yang diperingati 15 hari sekali oleh Umat
Hindu, pada hari purnama bulan bersinar penuh Hari purnama merupakan saat beryoganya
Bhatara Parameswara Sanghyang Purusangkara, disertai para dewa,
bidadari-bidadari , turun kedunia untuk membersihkan diri dan menyucikan alam
semesta beserta isinya.
Penyucian
diri secara lahir dan batin dengan pemujaan dan persembahan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, para Dewa, Leluhur serta menyampaikan rasa terimakasih kita
kepada unsur kekuatan alam yang telah membantu dalam kehidupan kita, dengan
mempersembahkan canang sari, banten pejati dan banten sejenisnya.
Kisah
ini terjadi ketika para Raksasa dan para Dewa bekerja sama mengaduk lautan susu
untuk mencari “ Tirtha Amertha “ atau Tirtha Kamandalu. Konon siapa saja yang
meminum Tirtha itu maka dia akan abadi (tidak bisa mati ). Maka setelah tirtha itu
didapatkan kemudian dibagi rata. Tugas untuk membagi Tirtha itu tidak lain
adalah Dewa Wisnu yang menyamar menjadi gadis cantik, lemah gemulai.
Dalam
kesepakatan diatur bahwa para Dewa duduk di barisan depan sedangkan para
Raksasa di barisan belakang. Kemudian ada raksasa yang bernama “ Kala Rahu “
yang menyusup di barisan para Dewa, dengan cara merubah wujudnya menjadi Dewa.
Namun penyamarannya ini segera diketahui oleh Dewa Chandra / Bulan. Maka ketika
tiba giliran raksasa Kala Rahu mendapatkan “ Tirtha Keabadian “.
Disitulah
Dewa Candra berteriak “ Dia bukan Dewa, dia adalah raksasa Kala Rahu “ namun
sayang Tirtha tersebut sudah terlanjur diminum. Maka tak ayal lagi Cakra Dewa
Wisnu menebas leher Sang Kala Rahu. Tetapi karena lehernya sudah tersentuh oleh
Tirtha Keabadian sehingga tidak bisa mati, wajahnya tetap abadi dan melayang-layang di angkasa, sedangkan
tubuhnya mati karena belum sempat tersentuh oleh Tirtha Kamandalu.
Sejak
saat itu dendamnya terhadap Dewa Bulan tak pernah putus-putus. Dia selalu mengincar
dan menelan Dewa Chandra pada waktu Purnama. Tapi karena tubuhnya tidak ada
maka sang rembulan muncul kembali ke permukaan. Begitulah setiap Sang Kala Rahu
menelan Dewa Bulan, terjadilah gerhana.
Umat sedharma yang mulia
Makna
yang terkandung dalam mitologi tersebut adalah jika seseorang belum bisa
melepaskan sifat-sifat keraksaannya maka dia belum boleh mendapatkan
keabadiaan. Sang Kala Rahu yang tidak sabar menunggu giliran akhirnya
kehilangan tubuhnya. Sedangkan Dewa Chandra yang menjadi sasaran kemarahan sang
Kala Rahu harus menanggung akibatnya. Dimana jika terjadi gerhana, maka dunia
akan mengalami bencana atau musibah.
Dalam
ajaran Hindu disebutkan bahwa musuh yang paling berbahaya berada dalam diri
manusia yang terletak dalam hatinya. Musuh ini tidak terlihat tetapi mampu
mendatangkan bahaya besar seperti perkelahian bahkan perang antar manusia pun
dapat terjadi. Musuh itu tidak dapat dibunuh, namun musuh itu dapat
dikendalikan. Apabila manusia mampu menguasai dan mengendalikan sadripu itu,
maka mereka akan hidup damai dan bahagia. sebaliknya jika sadripu itu dibiarkan
mengendalikan dan menguasai dirinya, maka malapetaka akan terjadi, musuh-musuh
yang termasuk sadripu yakni: Kama, Loba, Kroda, Mada, Moha dan Matsarya.
Implementasi
bulan purnama dalam kehidupan dengan melaksanakan persembhyangan purnama itu
merupakan bentuk bhati kita kepada Hyang widhi sebagai penguasa alam semesta
beserta isinya, kita diharapkan mampu mengendalikan sad dripu yang ada dalam
diri kita, Selain persembahan bakti kepada tuhan yang maha esa persembahyangan
purnama tilem juga mengandung nilai-nilai pendidikan luhur yang mencakup
beberapa aspek sosial seperti sosial religius, sosial budaya dan sosial ekonomi
dijelaskan sebagai berikut:
1. Sosial religius adalah nilai
keagamaan yang mengutamakan keyakinan kita kepada Hyang widhi, memantapkan
sradha atau 5 kepercayaan yang disebut dengan panca sradha yakni percaya dan
yakin terhadap adanya Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan untuk mencapai
Moksa dalam melaksanakan bakti.
2. Sosial budaya itu berlandasakan
agama itu sendiri, dengan demikian budaya itu erat kaitanya dengan desa, kala
dan patra sebab sistem pelaksanaan agama, adat dan budaya selalu berlandaskan
tradisi yang ada didesa setempat.
3. Sosial ekonomi itu pada intinya melaksanakan
yajna dengan ketulus iklasan tanpa pamrih.
Umat
sedharma yang penuh waranugraha
Dengan
demikian dari penyampaian yang telah saya sampaikan tadi pada intinya adalah
pemahaman agama yang kita pelajari dari proses belajar disekolah maupun dari alam
itu dapat kita terapkan dalam kehidupan kita, tentunya selaras dengan apa yang
telah tertulis dalam weda. Melalui kisah mitologi para dewa yang menegaskan
bahwa kita harus mampu mengendalikan sadripu dalam diri kita agar malapetaka
tidak terjadi pada kita. Apa yang telah dilakukan kala rahu sudah pasti salah
maka oleh sebab itu dia pantas mendapat balasan dari perbuatannya.
Implementasi
nilai purnama dalam kehidupan ini salah satunya ditegaskan dalam weda yakni:
Akamasya
krya kacid drasyate neha karnicid,
yadyadhi
karu te kimcit tattat kamasya cestinam.
(Manawa Dharmasastra, II.4)
Terjemahannya:
Tidak ada satu perbuatan di dunia
nampaknya dilaksanakan oleh seseorang itu bebas dari keinginan, karena apa pun
yang dilakukan manusia adalah didorong oleh keinginan.
Begitulah
penegasan dalam weda, sehingga mari kita bersama-sama melakukan apa yang kita
mampu dengan lascarya keinginan yang
baik, biarkan hyang widhi yang memberikan hasil yang sesuai dengan kerja kita.
Itu sudah menjadi hukum alam.
Sekian
dalam penyampaian pesan dharma ini, saya akhiri dengan parama santih.
Om
santih,santih,santih Om
Komentar
Posting Komentar